Aku pernah diundang di malam Ramadhan dua tahun yang lalu untuk menjadi
pembicara dalam satu siaran live di salah satu siaran televisi. Siaran
kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu
dilakukan di Makkah al-Mukarramah pada satu kamar di salah satu hotel
yang bisa melongok di atas Masjidil al-Haram.
Kala itu, kami
berbicara tentang Ramadhan. Para pemirsa televisi bisa melihat dari
sela-sela jendela kamar di belakang kami pemandangan orang-orang yang
umrah dan thawaf secara langsung.
Kala itu pemandangannya
sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat pembicaraan pun semakin
berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis di
tengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, dan
tidak merusak suasana itu kecuali salah satu kameramen. Dia memegang
kamera dengan satu tangan, dan tangan yang kedua memegang “Tuhan
Sembilan Senti” menurut istilah Penyair Taufik Ismail, yaitu rokok.
Seakan-akan tidak ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan
Ramadhan kecuali dia kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok.
Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok itu benar-benar
mencekikku, tetapi harus bersabar, karena itu adalah siaran langsung,
dan tidak ada alasan, kecuali terpaksa melaluinya. Berlalulah satu jam
penuh, dan berakhirlah kajian itu dengan salam. Kameramen itu pun
mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya- sembari dia
mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman tanganku
dan kukatakan, ‘Anda juga, saya berterima kasih atas keikutsertaan Anda
dalam menyuting acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat,
barangkali Anda mau menerimanya.’ Dia pun menjawab, ‘Silahkan… silahkan.”
Kukatakan, ‘Rokok dan siga…” (maksudku sigaret), namun dia memutus
pembicaraanku seraya berkata, ‘Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak
ada faidahnya wahai syaikh.’ Kukatakan, ‘Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah berfirman…’
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi, ‘Wahai Syaikh, janganlah
menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah merokok selama 40 tahun… rokok
telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada faidah… selain Anda lebih
pandai lagi..!! Kukatakan, ‘Apa yang ada faidahnya?’ Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata, ‘Do’akanlah saya… do’akanlah saya.’
Maka akupun memegang tangannya seraya berkata, ‘Mari bersama saya..’ Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’
Maka kamipun berdiri di sisi jendela yang bisa melongok di atas
al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi dengan manusia. Antara
yang ruku’, sujud, yang sedang umrah, dan sedang menangis. Sungguh
pemandangan yang sangat mengesankan.
Kukatakan, ‘Apakah Anda melihat mereka?’ Dia menjawab, ‘Ya.’
Kukatakan, ‘Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang hitam…
orang Arab dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada
Allah agar menerima ibadah mereka dan mengampuni mereka…’ Dia menjawab, ‘Benar… benar…’ Kukatakan, ‘Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia berikan kepada mereka?’ Dia menjawab, ‘Ya… tentu saja.’ Kukatakan, ‘Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda… dan aminilah do’a saya.’
Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan, ‘Ya Allah, ampunilah dia…’ Dia berkata, ‘Aamiin.’
Aku berdo’a, ‘Ya Allah, angkatlah derajatnya, dan kumpulkanlah dia
bersama dengan orang-orang yang dikasihinya di dalam sorga… ya Allah…’
Dan tidak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis… seraya mengulang-ulang, ‘Aamiin… aamiin…’
Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan, ‘Ya Allah, jika dia
meninggalkan rokok, maka kabulkanlah do’a ini, jika tidak, maka haramkan
dia atas terkabulnya do’a ini.’ Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut.
Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi di studio televisi tersebut untuk melakukan siaran langsung.
Saat aku masuk ke bangunan tersebut, tiba-tiba ada seorang laki-laki
yang tampak taat beragama menemuiku, kemudian dia mengucapkan salam
dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku
untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan.
Kukatakan
kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah mensyukuri kelembutan dan adab Anda…
saya sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum
mengenal Anda…’
Maka dia berkata, ‘Apakah Anda masih ingat
dengan kameramen yang telah Anda nasihati untuk meninggalkan rokok dua
tahun yang lalu.’ Kujawab, ‘Ya…’
Dia berkata, ‘Sayalah dia…
demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah meletakkan rokok
di mulutku sejak saat itu.’ Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.(AR)*
0 Response to "Selamat Tinggal Rokok"
Post a Comment