1. Fakta-fakta sejarah
Hadits-hadits
yang shahih (valid) menunjukkan kepada kita tentang kehidupan
Rasulullah saw. sebelum beliau di utus menjadi seorang rasul, sesuai
dengan kebenaran-kebenaran berikut ini:
1. Rasulullah saw. terlahir dari rumah keluarga yang terhormat
dari kalangan orang arab, beliau saw. termasuk keluaraga terpandang
dalam kaum Quraisy, mereka dari Bani Hasyim, dan Quraisy adalah kabilah
terpandang di kalangan orang arab, nasabnya paling berkembang dan
posisinya paling tertinggi, telah di riwayatkan dari Ibn Abbas Ra. Dari
Rasulullah saw., ia berkata:
“kami
di ceritakan oleh Yusuf bin Musa al Bugdady, kami di ceritakan oleh
Ubaidillah bin Musa, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Yazid bin Abi
ziyad, dari Abdillah bin al Harits dari Abbas bin Abdul mutthalib, ia
berkata: aku berkata: wahai Rasulullah! Orang-orang Quraisy sedang duduk
lalu mereka saling membicarakan kemuliaan mereka di antara mereka,
kemudian mereka menjadikan anda seperti pohon kurma fi kabwaten dari
permukaan bumi, lalu Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah
menciptakan ciptaan-(Nya) maka Dia menjadikan aku sebaik-baik dari
mereka, sebaik-baik dari golongan mereka, sebaik-baik dari dua golongan,
kemudian di pilih dari kabilah-kabilah yang ada kemudian Dia menjadikan
aku sebaik-baik kabilah, kemudian Dia memilih rumah-rumah kemudian Dia
menjadikan rumahku sebaik-baik dari rumah-rumah mereka, maka saya adalah
sebaik-baik di bandingkan mereka dari segi jiwa dan rumah (keluarga)”.
(Sunan Tirmidzi, Jilid 5, Hal. 584, Hadits Hasan).
Karena
posisi nasab/keluarga beliau saw. yang sangat terhormat ini di kalangan
orang-orang Quraisy, maka kita tidak pernah mendapati orang-orang
Quraisy menjelek-jelekkan nasab beliau yang terhormat, sebagaimana
mereka membuat kebohongan dengan menjelek-jelekkan hal-hal yang lain
dari beliau, hal ini karena mereka mengetahui bahwa beliau saw. terlahir
dari nasab/keturunan yang terhormat.
2. Rasulullah
saw. adalah seorang anak Yatim, ayahnya yaitu Abdullah meninggal ketika
beliau masih berada dalam kandungan ibunya yang sementara berjalan dua
bulan, dan ketika beliau saw. berumur enam tahun ibunya yaitu Aminah
meninggal, maka Rasulullah saw. di masa kecilnya telah merasakan
pahitnya hidup, karena beliau saw. tidak sempat merasakan kasih sayang
kedua orang tuanya, kemudian setelah itu beliau saw. di pelihara oleh
pamannya Abu Thalib sampai beliau tumbuh dengan dewasa, Al Qur’an telah
mengisyaratkan bahwa beliau saw. adalah seorang anak yatim: “Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang anak yatim, lalu melindungimu”. (QS. Ad
Dhuha: 6).
3. Rasulullah
saw. melewati empat tahun pertama di masa kecilnya di padang pasir di
Bani Sa’ad, maka beliau saw. tumbuh dengan kuat, badannya sehat, fasih
bahasanya, dan pintar menunggangi kuda, pada waktu beliau saw. masih
kecil telah terlihat bakatnya (kepintarannya) di atas padang pasir yang
bersih dan tenang, dan di bawah sinar matahari dan dengan udaranya yang
segar.
4. Kecerdasannya
sudah di ketahui pada waktu beliau saw. masih kecil, kepintarannya
berkilau dalam kehidupannya yang membuat suka setiap orang yang
melihatnya, pada waktu beliau saw. masih kecil beliau duduk di atas
tempat tidur kakeknya, jika beliau saw. sedang duduk diatasnya maka
tidak seorangpun dari paman-pamanya yang duduk di tempat tersebut
bersamanya, maka paman-pamannya mencoba untuk menurunkannya dari tempat
tersebut, kemudian Abdul Mutthalib (kakek beliau saw.) berkata kepada
mereka: biarkan dia! Karena demi Allah sesungguhnya ia mempunyai
karakter tersendiri.
5. Ketika
Rasulullah saw. masih remaja beliau mengembala kambing untuk penduduk
mekkah dengan mengambil beberap upah dari kerjanya tersebut. aku di
ceritakan oleh Imam Malik, bahwasanya di sampaikan kepadanya bahwasanya
Rasulullah saw. telah bersabda: bahwa tidak seorangpun dari seorang Nabi
kecuali ia telah mengembala kambing, kemudian beliau saw. di Tanya: dan
anda bagaimang wahai Rasulullah? Beliau saw. menjawab: saya juga”.
(Muwattha’ oleh Imam Malik, Jilid: 2, Hal: 971, “hal ini adalah termasuk al Balaghat”.).
Kemudian
setelah beliau saw. berumur 25 tahun, beliau bekerja kepada Khadijah
binti Khuwailid Ra. Dengan memperdagangkan hartanya dan dia memberikan
upah kepada beliau saw.
6. Rasulullah
saw. tidak pernah ikut berkumpul dengan pemuda-pemuda mekkah yang
sebaya dengannya untuk melakukan permainan-permainan yang tidak
bermanfaat, karena Allah swt. telah menjaga beliau saw. dari hal
tersebut. dalam kitab-kitab mengenai sejarah beliau saw. telah di tulis
bahwa ketika beliau berusia remaja, beliau mendengarkan
nyanyian yang di adakan di Mekkah pada suatu acara pernikahan, maka
beliau saw. ingin menyaksikannya, kemudian Allah Swt. membuatnya
tertidur, dan beliau tidak terbangun kecuali setelah matahari bersinar
dengan terang.
Rasulullah
saw. tidak pernah menyembah berhala sebagaimana yang di lakukan oleh
kaumnya, tidak pernah memakan Sembelihan yang di sembelih untuk
patung-patung, tidak pernah meminum Khamar (arak), tidak pernah bermain
judi, dan Rasulullah saw. tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor.
(Mustadrak al Hakim, Jilid 4, Hal: 273, no hadits: 7619).
7. Di
usia beliau saw. yang sudah matang, maka kepintaran dan jiwa
kebijaksanaannya makin terlihat, hal ini dapat terlihat pada peristiwa
peletakan batu hitam (Hajar aswad) pada tempatnya di Kabbah, dan hal ini
adalah bukti yang sangat jelas terhadap kecerdasan Rasulullah saw.,
bangunan kabbah di rubuhkan kemudian bangunannya di perbaharui kembali,
dan mereka melakukan hal tersebut, namun ketika mereka telah sampai ke
tempat Hajar Aswad mereka saling berselisih pendapat mengenai siapa yang
paling terhormat dan dapat meletakkan hajar aswad pada tempatnya, dan
setiap dari para kabilah yang ada ingin mendapatkan kehormatan tersebut,
kemudian pertentangan semakin keras sehingga hampir saja peperangan
terjadi di antara mereka, kemudian mereka memutuskan bahwa yang berhak
memutuskan perkara ini untuk mereka adalah orang yang paling pertama
masuk dari pintu Bani Syaibah, dan orang tersebut adalah Rasulullah
saw., ketika mereka melihatnya mereka mengatakan: dia adalah orang yang
terpercaya dan jujur, kami rela dengan keputusannya, dan ketika beliau
saw. memutuskan hal tersebut, keputusannya menjadi sebuah solusi yang di
ridhai oleh seluruh pihak yang bertikai, kemudian beliau saw.
membentangkan kainnya, dan beliau saw. mengambil hajar aswad dan
meletakkannya di atas kainnya, kemudian beliau saw. memerintahkan kepada
setiap (ketua) kabilah untuk memegang ujung kain tersebut, ketika
mereka telah mengangkatnya, dan telah sampai ketempatnya, beliau saw.
mengambil hajar aswad dan meletakkan di tempatnya, merekapun rela dengan
hal tersebut, Allah Swt. telah menjaga darah orang arab dari
pertumpahan darah dengan kematangan akal dan kebijaksanaannya.
8. Rasulullah
saw. di usia remajanya terkenal di kalangan kaumnya sebagai orang yang
terpercaya dan jujur, terkenal di kalangan mereka dengan bagusnya
interaksi beliau saw., seorang yang menepati janji, sejarah hidupnya
lurus, reputasinya baik, hal ini membuat Khadijah Ra. Untuk menawarkan
kepada beliau untuk berdagang dengan hartanya pada kafilah yang pergi ke
kota basrah pada setiap tahun, dengan memberikan upah yang berlipat
ganda yang melebihi orang lain, dan ketika beliau kembali ke mekkah
pembantunya yang bernama Maisarah mengabarkan tentang sifat amanah
Rasulullah saw. dan keikhlasannya, dan Khadijah Ra. Mendapatkan
keuntungan besar pada perjalanannya tersebut, maka ia melipat gandakan
upah untuk Muhammad Saw., kemudian ia tertarik untuk menjadikan Muhammad
saw. sebagai suaminya, dalam suatu riwayat di katakan bahwa Muhammad
saw. menikahi Khadijah Ra. Sementara umurnya lebih muda darinya 15
tahun, sebaik-baik bukti tentang akhlaknya yang bagus sebelum beliau
saw. diangkat menjadi seorang Nabi ialah perkataan Khadijah Ra. Setelah
wahyu turun kepada beliau saw. sewaktu berada di gua Hira dan beliau
kembali dalam keadaan bergetar: “sekali-kali tidak! Demi Allah! Allah
pasti tidak akan menghinakanmu, karena engkau orang yang menyambung
silaturrahim, menolong orang yang lemah, membantu orang yang tidak
mampu, memuliakan tamu…”.
9. Rasulullah
saw. melakukan perjalanan dua kali ke luar dari mekkah, yang pertama
bersama dengan pamannya Abi Thalib ketika beliau saw. berumur 12 tahun,
perjalanan yang ke dua ketika beliau berumur 25 tahun untuk melakukan
perdagangan dengan harta Khadijah Ra., ke dua perjalanan tersebut ke
kota Bashrah di Syam, dalam kedua perjalanan tersebut beliau saw.
mendengarkan percakapan yang di lakukan para pedagang, dan beliau saw.
menyaksikan peninggalan-peninggalan negeri yang di lewatinya begitupun
adat istiadat (kebiasaan) yang di lakukan oleh para penduduknya.
10. Beberapa
tahun sebelum beliau saw. di utus menjadi seorang Rasul, Allah Swt.
menjadikan beliau saw. senang untuk berkhalwat(menyepi untuk beribadah)
di Gua Hira (sebuah gunung yang terletak di sebelah barat laut di
Mekkah), beliau berkhalwat di tempat tersebut sekitar sebulan lamanya,
dan hal tersebut beliau lakukan di bulan ramadhan, untuk memikirkan
karunia-karunia Allah Swt. dan ke-Maha Sanggupan-Nya, Rasulullah saw.
senantiasa melakukan hal tersebut sampai wahyu datang kepadanya, dan al
Qur’an turun kepadanya.
Pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat:
Dengan
mempelajari kejadian-kejadian yang terdapat dalam sejarah Rasulullah
saw. seorang peniliti dapat mengeluarkan beberapa pelajaran, sebagai
berikut:
1. Jika
seorang yang mendakwahkan agama Allah Swt. atau yang mengajak kepada
kemaslahatan masyarakat adalah berasal dari keluarga yang terpandang
atau terhormat, hal tersebut akan menjadi salah satu faktor pendukung
yang membuat orang-orang akan mendengarkan perkataannya, karena diantara
kebiasaan orang-orang ialah memandang rendah dan hina terhadap
orang-orang yang menyeru kepada suatu kemaslahatan jika mereka berasal
dari keluarga yang tidak terkenal atau tidak terhormat, oleh karena itu
hal yang pertama sekali di tanyakan oleh Hiraclius kepada Abu sufyan,
setelah Rasulullah saw. mengirimkan surat kepadanya untuk mengajak dia
dan kaumnya untuk memeluk agama islam: bagaimana nasabnya
(keturunannya)? Abu Sufyan yang pada waktu itu masih dalam keadaan
musyrik menjawab: dia berasal dari keturunan yang terpandang atau
terhormat di kalangan kami, dan ketika Hiraclius selesai dari
pertanyaannya dan mendengarkan jawaban Abu Sufyan tentang Rasulullah
saw., maka Hiraclius menjelaskan makna pertanyaan-pertanyaan rahasia
yang di tujukan kepada Abu Sufayan mengenai Muhammad Rasululullah saw.
Hiraclius berkata kepadanya: aku bertanya bagaimana nasabnya di kalangan
kalian? Lalu kamu menjawab bahwa beliau saw. berasal dari keturunan
yang terhormat, demikianlah Allah Swt. tidak memilih seorang Nabi
kecuali dari kaum yang terhormat, dan nasab yang terpandang.
Benar!
Bahwasanya islam tidak menjadikan keturunan yang terpandang sebagai
ukuran sebuah perbuatan, akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan
bahwasanya orang yang berasal dari keluarga yang terhormat dan melakukan
pekerjaan yang mulia, adalah lebih mulia dan lebih tinggi posisinya
serta lebih optimis akan berhasil, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
dalam sebuah hadits: “sebaik-baik kalian pada masa jahiliyah ialah
sebaik-baik dalam islam jika mereka paham”.
2. Ketika
seorang da’I telah merasakan kesedihan hidup sewaktu ia masih kecil,
maka hal ini akan menjadikan ia lebih memahami arti-arti kemanusiaan,
yang menjadikan ia merasakan penderitaan orang-orang yang lemah dan yang
tidak beruntung.
3. Selama
seorang da’I hidup dalam lingkungan yang dekat dengan fitrah, maka hal
tersebut akan menjadi faktor bersihnya fikirannya, kuat akalnya,
fisiknya dan jiwanya, sehat cara berfikirnya, oleh karena itu Allah swt.
tidak memilih orang arab untuk melaksanakan risalah islam adalah suatu
kebetulan atau sia-sia, akan tetapi mereka di bandingkan dengan
orang-orang yang yang berada di sekitar mereka dari umat-umat yang
berbudaya, mereka lebih bersih jiwanya, lebih sehat fikirannya, serta
lebih bagus akhlaknya.
4. Tidak
ada yang dapat memegang pusat komando dakwah kecuali orang yang pintar,
adapun orang-orang yang bodoh dan di bawah rata-rata keunggulannya
adalah orang-orang yang sangat jauh dari peranan kepemimpinan.
5. Sepantasnya
bagi seorang da’I untuk berusaha dengan kemampuannya dalam menghidupi
dirinya atau dengan sumber-sumber yang baik, bukan dengan meminta-minta,
atau dengan cara yang hina.
6. Sesungguhnya
da’I yang jujur, ikhlas dan mulia adalah para da’I yang tidak
menghinakan dirinya dengan meminta-minta sedekah dari orang lain,
kehormatan apa lagi yang dapat tertanam di dalam jiwa masyarakat setelah
ia meminta-minta sekalipun tidak dengan secara terang-terangan, jika
kita mendapati seorang da’I yang mengajak kepada Islam, sementara ia
mengumpulkan harta masyarakat dengan berbagai macam tipuan, maka kita
bisa memastikan bahwa ia hina di mata dirinya sendiri, apalagi di mata
para masyarakat, dan barangsiapa yang rela menghinakan dirinya, maka
bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada akhlak yang mulia, menghadapi orang yang berbuat sewenang-wenang, memerangi kejahatan, dan memberi kepada umat perasaan kemulian dan kejujuran?
7. Sesungguhnya
da’I yang jujur di masa mudanya dan baik tingkah lakunya, hal itu bisa
menjadi faktor keberhasilan dia dalam berdakwah di jalan Allah Swt.,
pembaharu yang ikhlas, dan memerangi kemungkaran, karena tidak ada orang
yang membicarakan mengenai akhlaknya sebelum ia menjadi seorang da’I,
pada umumnya kita melihat orang-orang melakukan dakwah untuk perbaikan,
khususnya untuk perbaikan akhlak, dan faktor yang sangat besar yang
membuat orang-orang tidak mendengarkan dakwahnya ialah karena mereka
mengingat terhadap tingkah laku da’I tersebut sebelum ia menjadi seorang
da’I, atau akhlaknya yang tidak baik, bahkan tingkah lakunya yang buruk
tersebut yang telah lalu membuat orang-orang ragu tentang kejujuran
para da’I tersebut, mungkin saja mereka menuduhnya bahwa ia melakukan
hal tersebut karena ia mempunyai maksud-maksud tertentu di balik
dakwahnya tersebut, atau mereka menuduhnya bahwa ia melakukan dakwah
perbaikan tersebut setelah ia puas melakukan hal-hal yang ia inginkan.
Adapun
seorang da’I yang baik akhlaknya ketika ia masih muda, maka ia akan
senantiasa mengangkat kepalanya tanpa takut dengan segala macam gossip,
dan tidak ada peluang bagi para musuh-musuh Allah Swt. untuk
menfitnahnya baik pada waktu yang lalu atau yang akan datang.
Benar,
Allah swt. akan menerima taubatnya orang yang bertaubat dengan benar
dan ikhlas, dan Allah swt. akan menghapus segala dosa-dosanya yang telah
lalu dengan kebaikannya yang sekarang, akan tetapi hal ini bukan
menjadi penunjang atau faktor di terimanya dakwahnya, di bandingkan jika
sejarah hidupnya baik, dan baik reputasinya pada masa lalu.
8. Dengan
seringnya seorang da’I melakukan perjalanan, bergaul dengan masyarakat,
dan mengenal kebiasaan-kebiasaan mereka serta segala permasalahan
mereka, hal ini adalah sebuah faktor pendukung dalam keberhasilan
dakwahnya, maka orang-orang yang bergaul (mengenal) dengan orang lain
melalui buku-buku dan makalah-makalah, tanpa bergaul dengan mereka dalam
berbagai aspeknya, mereka itu adalah manusia yang gagal dalam melakukan
pembaharuan, orang-orang tidak akan mendengarkan kepada mereka, dan
akal mereka tidak menerima dakhwahnya, karena orang-orang berpendapat
bahwa mereka tidak mampu untuk memberikan solusi terhadap segala permasalahan yang mereka hadapi.
Maka
barangsiapa yang ingin membuat suatu pembaharuan terhadap orang-orang
wara’ misalnya, ia harus bergaul dengan mereka di mesjid-mesjidnya, di
majlis-majlis mereka, dan pada masyarakat mereka, dan barangsiapa yang
ingin membuat suatu pembaharuan terhadap para buruh dan petani, maka ia
harus hidup bersama dengan mereka di kampung mereka, di tempat kerja
mereka, makan dengan mereka, ngobrol dengan mereka di lingkungan mereka,
dan barangsiapa yang ingin memperbaiki interaksi yang berlansung di
antara manusia, maka ia harus bergaul dengan mereka di pasar-pasar
mereka, perdagangan mereka, pabrik mereka, klub-klub mereka, dan di
majlis-majlis mereka, dan barangsiapa yang memberikan pembaharuan
terhadap politik yang ada, maka ia harus bergaul dengan para ahli
politik, mengenal aturan-aturan mereka, mendengar pidato mereka,
mengenal lingkungan yang mereka tinggali, mengenal budaya mereka, dan
hal-hal yang lain, agar ia dapat mengetahui bagaimana caranya supaya
mendakwahi mereka, supaya mereka tidak menghindar darinya.
Demikianlah,
sudah sepantasnya seorang da’I untuk mengenal berbagai macam bentuk
lingkungan, mengenal segala aspek kehidupan manusia, agar ia dapat
menerapkan firman Allah Swt., yang artinya:
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan jalan hikmah dan pelajaran yang baik”.(QS. An Nahl: 125).
Alangkah
indahnya perkataan yang berbunyi: “dakwahilah manusia sesuai dengan
kemampuan akal mereka, apakah kamu ingin berdusta atas Allah Swt. dan
Rasul-Nya?”.
9. Semestinya
seorang da’i dari tahun ke tahun mempunyai waktu-waktu untuk berkhalwat
(bertafakur) dengan seorang diri, hal ini untuk bermunajat dengan Allah
swt., untuk membersihkan jiwanya dari akhlak-akhlak yang tidak terpuji,
dan menentramkan jiwanya dari ketidak tentraman hidup. Praktek khalwat
(bersunyi-sunyi sambil bertafakur) membuat seorang da’I akan memuhasabah
(introspeksi) dirinya bahwa kebaikannya hanya sedikit, melenceng dari
tujuannya, atau tidak menyampaikan dakwahnya dengan cara yang penuh
dengan hikmah, atau tersalah dalam menggunakan cara atau metode dakwah,
atau berdebat dengan seseorang sehingga lupa mengingat Allah Swt. dan
bersikap ramah, lupa mengingat akhirat begitupun surga dan nerakanya,
dan lupa mengingat mati dan kepedihannya.
Oleh
karena itu shalat tahajjud atau shalat malam adalah wajib bagi
Rasulullah saw. dan sunnah bagi umatnya, dan yang paling pantas untuk
menjaga atau melestarikan shalat sunnah ini (tahajjud) adalah mereka
yang berperan sebagai da’I ke jalan Allah swt., bersunyi-sunyi
bertahajjud atau melaksanakan ibadah karena Allah di setiap malam hari
adalah suatu kenikmatan yang tidak dapat di rasakan kecuali bagi orang
yang di muliakan oleh Allah Swt. dengan hal tersebut.
Ibrahim
bin Adham mengatakan dalam shalat tahajjudnya dan ibadahnya yang beliau
laksanakan di setiap malam: “kami berada dalam suatu kenikmatan dan
seandainya hal ini di ketahui oleh para raja maka mereka akan bersaing
dengan kami dalam mengerjakan hal tersebut”,
Allah swt. berfirman menyeru kepada Nabi-Nya Muhammad saw. yang artinya:
“Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam
hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan
bacalah al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan
menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu
malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan”. (QS. Al Muzzammil: 1-7).
0 Response to "Kehidupan Rasulullah saw. Sebelum di utus menjadi seorang Rasul."
Post a Comment