Kisah Perjalanan Tim JITU ke Suriah: Belajar Sederhana dari Khalid Misy’al

 HARI itu, Selasa 9 September 2014 menjadi hari yang sangat berkesan bagi kami, Tim JITU yang diberangkatkan ke Suriah. Kami berempat, Muhammad Pizaro (Islampos), M. U. Salman (Bumisyam.com/Salam-Online), Fajar Shadiq (Kiblat.net) dan Abu Harits (FIPS) mendapatkan momen berharga yang takkan terlupakan.

Sekitar pukul 14.00 waktu Doha, kami menaiki Qatar Airways nomor penerbangan 240 jurusan Istanbul. Kami diberi kursi yang letaknya berderetan di kursi no 26. Ketika kami belum lama duduk, tiba-tiba Pizaro yang duduk di sebelah kiri saya setengah berteriak, “Eh ada Ismail Haniyeh.” Kami pun lantas celingukan mencari siapa yang dimaksud Pizaro. Mungkin dia sedang bercanda. “Eh bukan Haniyeh, Khalid Misy’al.”

Sejurus, kami cukup terpana. Pizaro tidak sedang bercanda. Seorang pria berambut putih penampilan flamboyan itu memang Khalid Misy’al. Ia dikawal sekitar pria berbadan tegap dengan jenggot panjang. Mereka berjas dan berkemeja rapih. Subhanallah. Kami betul-betul tak menduga bahwa kami akan satu pesawat dengan tokoh sekaliber Ketua Biro Politik Hamas.

Khalid dan pengawalnya duduk di sisi kiri pesawat di kursi nomor 25A, tepat bersebelahan dengan kami di deretan no 26. Kami yang kegirangan bak dapat durian runtuh, lantas kasak-kusuk berdiskusi bagaimana caranya agar bisa mewawancarai sosok yang jadi target Zionis itu.Kami tak ingin melewatkan momen langka ini.

Misy’al ternyata pribadi yang cukup ramah. Saat ia akan duduk ia menyapa kami terlebih dahulu. Tapi pengawalnya tetap saja menatap kami dengan mata waspada. Para pengawalnya duduk di depan dan di belakang kursi yang diduduki Misy’al. Usia mereka sekitar 30-40 tahunan. Gerak gerik tubuhnya terlihat bahwa mereka cukup profesional. Sebagian di antara mereka menyelipkan pistol di pinggang kanannya.

Saat itu, kursi di sekitar kami cukup kosong. Abu Harits dan Ubay Salman segera pindah ke bangku depan agar sejajar dengan Misy’al. Salah seorang pengawal Misy’al berpindah mendekati Abu Harits dan Ubay sehingga ia menjadi batas antara Misyal dan keduanya. Saya dan Pizaro tetap di bangku kami masing-masing. Pengawal Misy’al yang mendekati Abu Harits lantas memperkenalkan dirinya. Ia mengaku bernama Abdul Aziz. Abdul Aziz nampaknya yang paling muda dari seluruh pengawal Misy’al. Tapi kami tak yakin juga, sebab muka orang Timur Tengah lebih ‘boros’ ketimbang wajah-wajah orang Asia. Abu Harits nampak mengobrol banyak dengan Abdul Aziz. Kami pun terus menekan Abu Harits agar bisa mencuri waktu dengan Khalid Misy’al supaya ia mau diwawancarai kami. Maklum, hanya Abu Harits yang paling fasih berbahasa Arab di antara kami.

Dari hasil obrolan Abu Harits dan Abdul Aziz, tampaknya kemungkinan untuk bisa mewawancarai Misy’al cukup terbuka. Tapi kami baru akan bisa mewawancarainya saat pesawat akan mendarat. Mungkin para pengawal Misy’al tak ingin ada ‘kehebohan’ yang tak perlu saat penerbangan berlangsung. Sebab, penerbangan dari Doha ke Istanbul memakan waktu yang cukup lama. Kurang lebih 4 jam 30 menit. Oke, kami bisa bersabar. Tapi mudah-mudahan itu bisa segera terjadi.

Khalid Misy’al dan Mushaf Al-Qur’an

Sepanjang perjalanan seluruh perhatian kami tersedot ke Khalid Misy’al dan para Mujahidin Hamas yang menjadi pengawalnya. Kami cukup terkejut, saat Misy’al lebih memilih kelas ekonomi sebagai tumpangannya menuju Istanbul. Dengan kedudukan yang dimiliki dan hubungan dekatnya dengan para petinggi Qatar, jika ia meminta duduk di kelas eksekutif atau pesawat jet pribadi sekalipun bukan permintaan yang sulit dikabulkan oleh para petinggi Qatar. Pengawalan yang tidak berlebihan pun menarik dalam pengamatan kami. Meski tidak berlebihan, para pengawal Misy’al ini bergerak sangat profesional. Mereka selalu awas dan siaga dan merespon secara cepat terhadap perubahan situasi.
Abdul Aziz, salah seorang pengawal Misyal yang duduk bersisian dengan Abu Harits menghabiskan waktunya dengan mendengarkan murottal Al-Quran dari layar multimedia. Dari kursi belakang, tempat saya duduk, saya melihat bibir Abdul aziz lamat-lamat bergerak mengikuti irama murottal. Sementara pengawalnya yang lain ada yang memakai headset (mungkin juga sedang mendengarkan murottal), ada yang hanya duduk saja, dan ada yang sibuk mondar-mandir di belakang.

Sedangkan Misy’al, tak lama setelah ia duduk ia membaca koran Asy-Syarq, yang berbahasa arab. Dalam lembaran koran yang ia baca, saya melihat ada satu kolom berita yang di dalamnya ada foto dirinya. Saya pikir mungkin ia ingin mengecek tulisan wartawan yang telah mewawancarainya. “Ah, mudah-mudahan kami juga mendapat keberuntungan itu,” batin saya.

Setelah lembar demi lembar koran habis ia baca, Khalid Misy’al memejamkan matanya. Ia istirahat sejenak. Saya pun segera mencari kesibukan sendiri, meski mata ini terus memantau aktivitas tokoh yang kepalanya paling dicari oleh Bangsa Yahudi ini. Tak lama Khalid terbangun. Ia lantas merogoh sakunya dan tampaknya mengambil sesuatu. Ternyata Mushaf Al-Qur’an. Ia lantas membacanya. Lagi-lagi saya terpukau. Berapa banyak tokoh politik di Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, yang menyempatkan diri membaca Al-Qur’an di pesawat? Atau di mobilnya? Atau di waktu-waktu senggang lainnya. Pemandangan ini membuat saya semakin kagum terhadap Mujahidin Hamas di Palestina. Tokoh politiknya pun tak pernah jauh dari Al-Qur’an. Semoga Allah memenangkan Hamas atas kebiadaban Zionis ‘Israel’.

Sejak itu, Misy’al memang banyak menghabiskan waktunya dengan mushaf Al-Qur’an. Kecuali saat ada pramugara/pramugari datang menawarkan makanan dan minuman. Saya masih ingat. Apa yang ia pesan sama dengan apa yang saya makan. Kari Domba dan Jus Jeruk. Mengingat Jus Jeruk pikiran saya jadi teringat Munir. “Ah lupakan!” Allah pasti akan menjaga para pejuangnya.

Setelah makan pun, Misy’al masih membaca mushaf. Hingga akhirnya kapten memberitahukan bahwa sekitar 20 menit lagi pesawat akan landing. Kami lagi-lagi mencolek Abu Harits. “Ayo dong Syekh, samperin,” ujar saya kepada Abu Harits. Sontak, Abu Harits ngobrol sebentar dengan Abdul Aziz dan langsung mendekati Khalid Misy’al. Bangku sebelahnya memang kosong. Pengawal yang tadinya duduk di situ pindah ke belakang sejak pesawat take off. Abu Harits lantas mengobrol berdua dengan Khalid Misy’al. Ia memperkenalkan diri bahwa kami dari tim jurnalis yang memiliki perhatian khusus terhadap Bumi Syam. Khalid sedikit menginterogasi Abu Harits. Abu Harits juga bercerita bahwa kami berempat akan melanjutkan perjalanan ke Suriah untuk melakukan kerja liputan di sana. Mendengar hal itu, Misy’al sangat senang dan mengapresiasi kami.

Sayang seribu sayang, permintaan wawancara kami tak dikabulkan Khalid Misy’al. Menurutnya, untuk langkah pertama kita berkenalan dulu. Tapi ia menawarkan korespondensi via telepon dan email. Abu Harits lantas menyodorkan nama website kami berempat, alamat email dan nomor telepon. Kami pun diberi nomor telepon dan emailnya. Khalid Misy’al meminta maaf tidak bisa memenuhi permintaan kami untuk diwawancara. Tapi ia menyodorkan dukungan dan penghargaannya atas upaya kami. Abu Harits pun dihadiahi sebotol minyak wangi dan titipan salam kepada rakyat Indonesia. “Sampaikan salam saya kepada seluruh rakyat Indonesia,” ujar Misy’al.

Meski tak bisa diwawancarai, Misy’al masih berbaik hati kepada kami. Ia membolehkan kami untuk mengambil kenang-kenangan berupa foto. Saat itu pesawat sudah landing di Istanbul dan penumpang lainnya bersiap-siap mau turun. Sejurus kemudian, para pengawal Misy’al menutup jalan dan mempersilakan kami berdiri untuk berfoto dengan Khalid Misy’al. “Sur’ah..sur’ah!” (Ayo cepat..cepat) ujar salah satu pengawal ketika saya mengambil foto kawan-kawan bersama Misy’al.

Pesawat pun berhenti. Sebagian penumpang turun. Khalid Misy’al pun nampak bersiap untuk turun. Kami berpelukan dan menjabat tangannya, tanda perpisahan akan segera dimulai. Ia menyalami kami lantas bergegas turun dari pesawat. Kami juga bersiap, mengambil tas di kabin dan mengikuti rombongan Misy’al. Turun dari pesawat, rombongan Misy’al belok kiri lantas turun di tangga darurat. Sementara kami berbelok ke kanan ke anjungan bandara. Saya baru menyadari, mungkin ini memang prosedur standar keamanan orang-orang penting dalam penerbangan. Mereka tidak turun ke lobi tapi langsung keluar via jalur emergency.

Pertemuan kami dengan Khalid Misy’al memang terbilang singkat. Tapi sangat berkesan mendalam bagi kami. Ternyata sosok yang sangat ditakuti di kancah politik Timur Tengah itu sangat sederhana, bersahaja dan figur pribadi yang ‘alimdansederhana.

(Fajar Shadiq, jurnalis JITU untuk misi Suriah)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Perjalanan Tim JITU ke Suriah: Belajar Sederhana dari Khalid Misy’al"

Post a Comment