Kita mengenal sebuah ungkapan bahwa, selalu ada sosok wanita hebat dibalik seorang laki-laki besar. Maka kisah ini adalah sebuah keteladanan bagi para muslimah. Kisah nyata tentang seorang istri dari amirul mukminin Abu Bakar Ash Shidiq ra, sekaligus ibunda dari Ummul Mukminin Aisyah ra. Seorang muslimah yang tidak hanya berperan sebagai istri yang hebat, tapi juga seorang ibunda yang bijak.
Beliau adalah putri dari Amir bin
Uwaimar bin Abdi Syams bin Itab bin Adzinah bin Subai’ bin Dahman bin
Haris bin Ghanam bin Malik bin Kinanah. Tentang nama asli beliau, ada
perbedaan pendapat; ada yang mengatakan Zainab, ada pula yang
mengatakan Da’ad.
Ummu Rumman tumbuh di
Jazirah Arab, di satu daerah yang disebut “As-Sarah”. Beliau adalah
seorang wantia yang cantik, memiliki adab, dan fasih lidahnya. Pada
mulanya, beliau dinikahi oleh seorang pemuda yang terpandang pada
kaumnya, yang bernama Al-Haris bin Sakhirah Al-Azdi, kemudian
melahirkan seorang anak yang bernama Thufail.
Suami beliau ingin tinggal menetap di
Mekkah maka dia melakukan perjalanan dengan beliau dan juga putranya
menuju ke sana. Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab bahwa Al-Haris
harus mengikuti perjanjian dengan salah satu orang yang terpandang yang
akan melindungi dirinya, maka dia mengikat perjanjian dengan Abdullah
bin Abi Quhafah (Abu bakar Ash-Shiddiq). Hal itu terjadi sebelum
datangnya Islam.
Setelah berlalu beberapa lama, wafatlah
Al-Haris bin Sakhirah, maka tiada yang dilakukan oleh Abu Bakar
melainkan melamar Ummu Rumman sebagaimana yang menjadi kebiasaan ketika
itu sebagai bukti memuliakan sahabatnya setelah kematiannya. Ummu
Rumman menerima lamaran Abu Bakar sebagai suami yang mulia yang mau
menjaganya setelah suaminya yang pertama wafat.
Sebelumnya, Abu Bakar telah menikah dan telah memiliki anak bernama Abdullah dan Asma’, kemudian pernikahannya dengan Ummu Rumman melahirkan dua orang anak yang bernama Abdurrahman dan Aisyah Ummul Mukminin.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
diutus, Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang beriman kepada beliau.
Selanjutnya, melalui perantaraan dakwahnya, berimanlah beberapa
laki-laki. Kemudian, beliau juga mendakwahi istrinya. Ummu Rumman yang
mana beliau berdialog dengannya dan mengajaknya kepada kebaikan yang
diinginkan pula oleh jiwanya, maka berimanlah Ummu Rumman bersama
beliau. Akan tetapi, beliau meminta agar Ummu Rumman merahasiakan
urusan tersebut hingga datangnya keputusan dari Allah tentang urusan
tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mondar-mandir ke rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq dari waktu ke waktu, maka Ummu Rumman
dapat menjumpainya dengan gembira dan senang hati, beliau menjamunya
dengan sebaik-baik jamuan dan menyediakan untuk beliau segala sarana
istirahat dan bersenang-senang.
Begitulah, rumah Abu Bakar menjadi tempat tinggal yang mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah yang islami dan baik. Adapun Ummu Rumman
adalah profil wanita salehah yang berdiri di samping suaminya untuk
meringankan penderitaannya, membantunya di saat-saat sulit, dan melewati
rintangan keras yang menimpa kaum muslimin pada permulaan. Bahkan,
beliau secara maksimal membantu suaminya dengan mendorong semangatnya
dan mendorong agar suaminya mencurahkan segenap kemampuannya di jalan
dakwah Islam untuk memenangkan kebenaran serta berjuang demi
memerdekakan kebanyakan kaum muslimin yang tertindas.
Dilihat dari sisi lain, Ummu Rumman adalah ibu yang penuh kasih dalam mendidik putra-putrinya, yakni Abdurrahman dan Aisyah, dengan didikan terbaik dan menjaga keduanya dengan sebaik-baiknya.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang untuk melamar Aisyah sebagai tanda ketaatan terhadap perintah
Allah ta’ala maka bergembiralah Ummu Rumman dengan kebahagiaan yang
tiada tara karena mendapatkan hubungan mertua dan menantu yang mulia,
dan tidak ada kemuliaan yang lebih darinya.
Bersamaan dengan semakin kerasnya
gangguan dari kaum musyrikin terhadap kaum muslimin dan memuncaknya
kekejaman serta kezhaliman mereka maka Allah subhanahu wa ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Lalu, tinggallah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama keluarga dan para sahabat serta Abu Bakar yang bersama
keluarganya yang menunggu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk
berhijrah.
Kemudian datanglah perintah dan kemudian berhijrahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan ditemani Abu Bakar. Setelah itu, yang masih tinggal di Mekkah di
antaranya adalah Ummu Rumman yang memikul tanggung jawab yang besar
dengan menanggung kesombongan orang-orang jahiliah yang juga mengancam
dan menakut-nakuti dirinya. Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Tatkala Abu
Jahal bin Hisyam keluar kemudian berdiri di depan pintu, aku pun keluar
menemui mereka. Mereka berkata, ‘Di manakah bapakmu, wahai anak Abu
bakar?’ Aku (Asma’) menjawab, ‘Aku tidak tahu keberadaan ayahku.’ Maka
Abu Jahal yang dikenal bengis dan kejam mengangkat tangannya kemudian
menampar pipiku hingga jatuhlah anting-antingku.”
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sahabatnya sampai dan menetap di Madinah, beliau mengutus Zaid bin
Haritsah bersama Abu Rafi’, dan Abu Bakar mengutus Abdullah bin
Uraiqath untuk menjemput keluarganya. Kebetulan, mereka berpapasan
dengan Thalhah yang hendak berhijrah. Akhirnya, mereka bersama-sama
hijrah ke Madinah. Mereka bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang-orang yang beriman di Madinah.
Di Madinah itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tinggal seatap dengan Aisyah. Adanya ikatan perkawinan yang baru
tersebut merupakan salah satu penyebab kuatnya hubungan antara dua rumah
tangga yang mulia, dan hal itu juga membesarkan hati Ummu Rumman
karena beliau melihat betapa sayang dan cintanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah, begitu pula menjadi leluasa bagi beliau untuk kembali ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menambah bekal dari mata air nubuwwah yang jernih.
Kesedihan Ummu Rumman atas putrinya
Hari-hari berputar hingga terjadilah
suatu peristiwa yang di luar perhitungan, yaitu tatkala Aisyah Ummul
Mukminin Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq dituduh dengan tuduhan dusta.
Fitnah tersebut –yang disebarkan oleh seorang pendusta dan pesuruh
munafik yang bernama Ibnul Salul– kemudian tersebar dari mulut ke mulut
hingga Ummu Rumman mendengar dusta yang mereka katakan dan berita yang
tersebat tersebut. Bahkan, beliau pingsan karena hebohnya isu yang
beliau dengar. Akan tetapi, tatkala beliau tersadar, beliau
merahasiakan kabar tentang putrinya tersebut karena kasih sayangnya dan
beliau memohon kepada Allah agar melepaskan tuduhan yang ditujukan
kepada putrinya.
Tatkala Allah menghendaki Aisyah
mengetahui isu yang telah tersebar dari mulut ke mulut –beliau
mendengar dari Ummu Masthah bin Atsatsah– beliau langsung kembali ke
rumah ayahnya untuk mengadukan dan menangis serta menyalahkan ibunya
karena menyembunyikan urusan itu.
Berkatalah Ummu Rumman, sedangkan di
pipinya menetes air mata, “Wahai putriku, ringankanlah urusan ini
bagimu …. Demi Allah, tiada seorang wanita pun yang bersuamikan
seseorang yang mencintainya sedangkan dia memiliki madu, melainkan
pastilah akan banyak cobaan dari manusia.”
Maka Allah menjawab suara hati dari seorang mukminah dan shadiqah tersebut, hingga turunlah ayat yang membebaskan Ash-Shiddiqah
Ummul Mukminin dari tuduhan dusta. Ayat yang senantiasa dibaca dan
bernilai ibadah bagi siapa saja yang membacanya hingga hari kiamat,
إِنَّ الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرّاً لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Sesungguhnya, orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah
kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah
baik bagi kamu ….” (Q.s. An-Nur:11)
Sungguh, masa tersebut adalah masa yang
paling pahit yang dialami oleh Ummu Rumman dalam hidupnya, sehingga hal
itu berpengaruh besar pada diri beliau yang menyebabkan beliau sakit,
maka Aisyah merawatnya selama beberapa waktu untuk berkhidmat kepada
beliau, hingga Allah subhanahu wa ta’ala melewatkannya.
Rasulullah mengunjungi kuburnya dan memohonkan ampun kepada Allah baginya kemudian berdoa,
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا لَقِيَتْ أُمُّ رُ وْمَانٍ فِيْك وَفِي رَسُولِك
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mahatahu apa yang telah dikerjakan oleh Ummu Rumman karena-Mu dan Rasul-Mu.”
Semoga Allah meridhai Ummu Rumman karena
beliau termasuk rombongan pertama yang masuk Islam, menegakkan seluruh
hal yang menjadi konsekuensi iman. bBeliau berhijrah, bersabar dan
menghadapi ujian dakwah karena Allah.
Sumber: Mereka adalah Para Shahabiyah, Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashir Asy-Syalabi, Pustaka At-Tibyan, Cetakan ke-10, 2009.
Maaf ya..saya mau ralat..manusia yang pertama beriman kepada Nabi Muhammad SAW adalah Sayyidina Imam Ali Karomahu Wajhah, dilanjut Sayyidah Siti Khadtijah RA..baru para sahabat..
ReplyDeleteKeluhuran Ummu Ruman ini perlu dijadikan teladan.
ReplyDelete