Untuk menggali ilmu dan pengetahuan, Al-Amidi berhasil menciptakan sebuah sistem penulisan untuk kaum difabel. Dengan sistem penulisan yang diciptakannya, ilmuwan yang wafat pada 1314 M itu mampu membaca dan menulis buku. Penyandang tunanetra memang dikenal memiliki kemampuan meraba yang sangat luar biasa.
Berkah itu mampu dimanfaatkan Al-Amidi untuk menggali ilmu. Dengan kemampuan meraba dan menyentuh itu, dia tak hanya mampu menempatkan dan menyimpan buku pada rak, tetapi Al-Amidi juga mampu menentukan nomor halaman sebuah buku. Selain itu, ia juga mampu mengetahui nilai buku dengan menetapkan jarak baris buku.
Sayangnya, jasa dan dedikasi Al-Amidi dalam menciptakan sistem penulisan untuk kaum difabel itu seperti hilang ditelan zaman. Sejarah juga seakan melupakan kontribusi tak ternilai yang telah diberikan ilmuwan Muslim itu. Tak hanya adikaryanya yang terkubur zaman, sosok Al-Amidi juga nyaris tak pernah disebut-sebut dalam sejarah peradaban Islam.
Sungguh ironis memang. Bahkan dalam hampir seluruh buku sejarah, pun jejaknya sangat sulit untuk ditemukan. Tak heran jika warga dunia hanya mengenal Braille yang berkebangsaan Prancis sebagai penemu huruf Braille. Pada 1824, Braille menciptakan sejenis sistem tulisan sentuh yang khusus digunakan para penyandang tunanetra. Awalnya, sistem penulisan itu dirancang Braille ketika berusia 15 tahun untuk memudahkan tentara membaca di tempat gelap.
Sistem tulisan yang terdiri atas sel yang mempunyai enam titik timbul itu mulai populer dua tahun setelah Braille tutup usia. Sejak itulah, penyandang cacat tunanetra di seantero Prancis mulai menggunakan huruf Braille untuk membaca dan menulis. Huruf Braille terdiri atas 63 karakter. Setiap karakter atau sel terdiri atas enam titik--dua titik mendatar serta tiga titik lainnya menurun.
Titik-titik yang terdapat dalam sel itulah yang kemudian dapat dibaca oleh para tunanetra dengan menggunakan rabaan jari. Pada awalnya, huruf Braille tak mengenal huruf W. Setelah diadopsi sebagai sistem tulisan bagi kaum tunanetra yang universal dalam bahasa Inggris di London pada 1932, huruf Braille terus disempurnakan.
Kini, huruf Braille telah diperkaya dan dapat digunakan untuk membaca nota musik dan matematika. Bahkan, Alquran Braille pun sudah tersedia sejak lama. Kian kayanya fungsi huruf Braille terjadi setelah sistem penulisan itu ditambah dua titik lagi. Sehingga, setiap selnya terdiri atas delapan titik.
Dengan penambahan titik itu, penyandang tunanetra bisa membedakan huruf kapital dengan huruf kecil. Kombinasi delapan titik yang terdapat dalam setiap karakter huruf Braille itu, kini telah disusun dalam standar Unicode. Huruf Braille untuk bahasa Indonesia hampir sama dengan kode huruf Braille Inggris.
Sejarah Barat mencatat, sistem Braille pada mulanya dikembangkan Charles Barbier sebagai metode komunikasi. Adalah Kaisar Napoleon Bonaparte yang memerintahkan Barbier untuk membuat kode bagi para serdadunya untuk berkomunikasi dalam keadaan gelap gulita yang disebut tulisan malam. Namun, sistem yang dikembangkan Barbier itu terlalu kompleks untuk dipelajari tentara.
Sistem tulisan yang dikembangkan Barbier pun akhirnya ditolak militer. Hingga akhirnya pada 1824, Napoleon berkunjung ke Institut Nasional bagi orang tunanetra di Paris, Prancis, dan bertemu dengan Louis Braille. Lalu, Braille diminta untuk memodifikasi serta merancang sistem tulisan malam yang baru.
Ia lalu memodifikasi tulisan yang dibuat Barbier dengan menggunakan sistem sel yang terdiri atas enam titik. Dunia modern pun menganggap sistem tulisan Braille telah melahirkan semacam revolusi komunikasi bagi kalangan tunanetra.
Kesadaran untuk menghidupkan kembali sejarah hidup dan kontribusi Al-Amidi mulai muncul di Arab Saudi pada 1975 serta 1981 dan di Mesir pada 1961. Sejak tanggal 31 Maret 1975 dirayakan sebagai hari tunanetra dan pada 1981 dideklarasikan sebagai tahun internasional orang-orang cacat.
Tak jelas apa yang menyebabkan para sejarawan Muslim tak mencatat keberhasilan Al-Amidi yang begitu fenomenal. Boleh jadi, sistem tulisan yang dikembangkan Al-Amidi untuk kaum tunanetra serta tulisan tentang sejarah hidupnya musnah dalam huru-hara yang melanda wilayah Irak. Apalagi, Al-Amidi menetap di wilayah itu.
Pada 9 Juli 1401 M, Kota Baghdad dan wilayah Irak lainnya dihancurkan oleh pasukan Timur Lenk--penguasa Dinasti Timurid yang berpusat di Asia Tengah. Selain menghancurkan bangunan serta gedung-gedung penting, aksi invansi Timur Lenk yang masih keturunan Hulagu Khan itu juga menimbulkan korban jiwa belasan ribu jiwa.
Serangan Timur Lenk ke Baghdad merupakan invansi kedua yang dilakukan bangsa Mongol. Sebelumnya, pada 1258 M, Baghdad diluluhlantakan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan. Bait Al-Hikmah yang menyimpan jutaan judul buku dibakar. Bahkan, sungai-sungai pun berubah warnanya menjadi hitam, akibat tinta yang meleleh dari buku yang dibuang ke sungai.
Peradaban Islam modern tentunya memiliki tugas penting untuk melacak jejak karya dan sejarah hidup Al-Amidi. Bisa jadi pula, risalah tentang sejarah Al-Amidi digondol peradaban Eropa ketika menjajah negara-negara Muslim di Timur Tengah. Pun Sangat mungkin, berkat karya Al-Amidi-lah Braille terinspirasi untuk menciptakan tulisan bagi tunanetra. N heri ruslan
--------
Ulama dan Ilmuwan Muslim Tunanetra
Selain Al-Amidi, peradaban Islam di era keemasan juga mencatat kiprah sederet ilmuwan dan ulama Muslim yang menyandang tunanetra. Ada yang sejak lahir mengalami kebutaan dan ada pula yang mengalami kebutaan pada usia tua. Bahkan, ada pula yang ketika lahir tunanetra, namun penglihatannya bisa kembali normal, seperti Imam Bukhari. Berikut ini adalah beberapa ulama dan ilmuwan Muslim yang tunanetra:
Abdullah Ibnu Ummu Maktum
Abdullah adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyandang tunanetra. Namun, keterbatasan penglihatan tak menyurutkan daya juangnya untuk membela dan menyebarkan agama Allah SWT. Sejarah peradaban Islam mencatat, Abdullah sempat memainkan peranan penting dalam komunitas Muslim pada zamannya.
Tak hanya sekadar sahabat bagi Rasulullah SAW, Abdullah adalah keponakan Siti Khadijah--istri pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Qays ibnu Za'id dan ibunya Atikah binti Abdullah. Atikah dijuluki Ummu Maktum karena dia melahirkan seorang anak yang buta bernama Abdullah.
Abdullah merupakan salah seorang sahabat yang terbilang paling awal menerima kebenaran ajaran Islam. Dia pun menyaksikan bagaimana Islam berkembang pesat di Makkah dan Madinah. Meski pada awalnya mendapat tekanan dan siksaan dari kaum Quraisy, Abdullah yang tunanetra tetap memegang keyakinannya sebagai seorang Muslim.
Ia juga tetap berada di belakang Rasulullah SAW untuk membela agama Allah SWT. Salah satu kelebihan yang dimilikinya adalah daya ingat yang luar biasa. Tak heran, jika Abdullah menjadi salah seorang sahabat yang bertugas untuk menghapal Alquran.
'Abdur-Razzaq bin Humam
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar 'Abdur-Razzaq bin Humam bin Nafi' Al-Himyari. Dia adalah seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luar biasa. Ia juga merupakan seorang ahli hadis. Dari Abdu-Razzaq-lah, imam Ahmad, Ishak, Ibnu Ma'in, dan Adh-Dhuhli mendengar langsung hadis. Pada awalnya, penglihatan Abdur-Razzaq normal. Namun, memasuki usia tua, dia mengalami kebutaan. Meski begitu, dia tetap dikenal sebagai ahli hadis yang memiliki hapalan yang tajam. Ia meninggal pada 211 H pada usia 85 tahun.
Abu 'Iesa Muhammad bin 'Iesa bin Sura At-Tirmidzi
Ia dikenal sebagai ahli hadis yang termasyhur. Terlahir di Tirmiz, Uzbekistan, pada 209 H, murid Imam Bukhari ini dikenal dengan panggilan At-Tirmidzi. Salah satu kontribusinya bagi pengembangan agama Islam adalah kitab Al-Jami-- menghimpun 4.000 hadis Nabi Muhammad SAW. Kitab yang ditulisnya itu juga populer dengan julukan, Sunan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi juga berjasa dalam mengembangkan metodelogi hadis yang disusunnya dalam buku bertajuk, Al-'Ilal. Sang ahli hadis pun mengalami kebutaan. Ia tutup usia pada 13 Rajab 279 H. (rep) Dikutip oleh www.suaramedia.com
0 Response to "Al-Amidi, Pelopor Sistem Penulisan Bagi Tunanetra Sebelum Braille"
Post a Comment