Teknologi Dirgantara, Mesin Turbin Gas dari Teknologi Kumbang


Pernahkah kita membayangkan saat sedang naik pesawat dan menikmati perjalanan di udara, tiba-tiba pilot mengumumkan bahwa salah satu mesin pesawatnya mati? Awak pesawat pun kemudian diketahui mengalami kesulitan menyalakan mesin kembali karena suhu udara luar terlalu dingin.

Hal ini tentu saja akan membuat para penumpang ketakutan karena mungkin yang terbayang adalah jatuhnya pesawat yang tak lama lagi. Padahal, barangkali kita tengah berada pada ketinggian tak kurang dari 9.000 meter dari permukaan laut. Menakutkan bukan?

Namun, jika kita mengikuti perkembangan teknologi kedirgantaraan, ketakutan itu mungkin takkan lagi berlebihan. Sebab, berkat keberadaan sejenis kumbang kecil yang berukuran sekitar 1,2 sentimeter, para peneliti teknologi mesin turbin gas pesawat kini terilhami untuk menghadapi keadaan sulit tersebut.

Terkait dengan hal di atas, para ilmuwan dari Universitas Leeds Inggris yang didukung The Engineering and Physical Sciences Research Council, EPSRC (Badan Penelitian Ilmu Rekayasa dan Fisika, Inggris), mempelajari mekanisme pertahanan diri menggunakan teknik jet, yakni semburan atau pancaran gas kimia panas dari makhluk kecil bernama kumbang bombardier (bombardier berarti pengebom atau juru bom).

Andy McIntosh, Profesor Termodinamika dan Teori Pembakaran di Institut Energi dan Sumber Daya, Universitas Leeds, Inggris, merupakan ketua kelompok penelitian yang baru dimulai ini. Dalam edisi terkini, Maret 2004, jurnal Aerospace Engineering (Teknik Penerbangan), Profesor McIntosh, yang juga anggota Royal Aeronautical Society, berkata seputar kajian yang direncanakan akan berlangsung tiga tahun ini:

“Mekanisme pertahanan diri kumbang bombardier menggambarkan bentuk pembakaran yang sangat efektif dan alamiah. Meniru mekanisme alamiah seperti itu merupakan bagian bidang biomimetika yang sedang berkembang, yang dengannya para ilmuwan belajar banyak dari seluk-beluk rancangan rumit yang sudah ada di alam. Memahami dengan lebih baik cara-kerja kumbang ini dapat mengarahkan kita pada pencapaian yang berarti dalam penelitian di bidang pembakaran”.

Berawal dari Kumbang
Kumbang bombardier mempertahankan diri dari musuh-musuhnya, yakni semut, katak, dan laba-laba, dengan menyemprotkan cairan panas mendidih yang bertekanan tinggi. Lantas, apa yang mendorong para ilmuwan untuk meneliti makhluk kecil ini?

Menurut penemuan Profesor Tom Eisner dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, dua zat kimia: hidroquinon dan hidrogen peroksida masing-masing dihasilkan oleh dua kelenjar terpisah pada tubuh sang kumbang, dan kemudian disimpan dalam sebuah tangki yang ada pada bagian perutnya.

Ketika si kumbang merasa terancam musuh, otot-otot di sekitar tangki tadi akan menegang (berkontraksi) sehingga mendorong campuran bahan kimia keluar melewati katup pengendali otot, dan mengalir masuk ke dalam ruang reaksi yang berbentuk hati. Ruang reaksi yang juga disebut ruang ledakan ini merupakan kantung penyemprot dengan dinding yang tersusun atas sel-sel penghasil enzim katalase dan peroksidase.

Di ruangan ini, reaksi kimia yang menghasilkan panas terjadi. Akibatnya, dihasilkanlah campuran panas mendidih berupa uap air dan zat kimia pedih beracun p-benzoquinon, dengan perantara enzim katalase dan peroksidase. Campuran ini keluar memancar dari tubuh kumbang bombardier dengan suhu mencapai 100 derajat celcius dan kecepatan semprot sekitar 500 denyut per detik.

Uniknya, cairan yang membahayakan musuh ini tidaklah mencederai kumbang itu sendiri, karena bagian tubuh kumbang dilapisi dengan bahan anti-panas. Para ilmuwan termodinamika menjuluki perilaku pertahanan diri luar biasa ini sebagai pembakaran berdenyut. Dalam tulisan berjudul “Semprotan Pertahanan-Diri Kumbang Bombardier: Sebuah Jet Berdenyut Biologis” yang dimuat jurnal ilmiah Science, Jeffrey Dean dkk. memaparkan:

Semprotan pertahanan-diri dari kumbang bombardier Stenaptinus insignis disemburkan melalui denyutan cepat (sekitar 500 denyut per detik) dan bukan pancaran yang terus-menerus… Perangkat penyemprotan kumbang ini memperlihatkan kesamaan mendasar dengan cara-kerja pendorong jet berdenyut dari bom “dengung” milik Jerman pada Perang Dunia II… Moncong perut kumbang berperan sebagai menara-meriam yang dapat berputar, yang memungkinkan kumbang membidikkan semprotan ke segala arah… (Dean, J. et al (1990), Science, 248:1219-1221.)

Kemampuan kumbang bombardier yang mengilhami para pakar penerbangan adalah bentuk moncong penyemprotnya yang memungkinkan cairan dibidikkan secara tepat ke arah musuh. Para ilmuwan berharap dapat menerapkan prinsip tersebut untuk menyalakan kembali mesin turbin gas pesawat ketika suhu udara luar telah mencapai 50 derajat celcius di bawah nol.

Perlu diketahui bahwa semakin tinggi suatu pesawat terbang, maka udara akan memiliki kerapatan dan tekanan yang semakin rendah serta suhu yang semakin dingin. Hal inilah yang mengganggu kinerja mesin turbin gas pesawat terbang, padahal kerja suatu mesin turbin gas amat bergantung pada campuran udara dan bahan bakarnya.

Jika udara terlalu dingin, maka kondisi ideal pembakaran yang terjadi pada ruang bakar mesin akan terganggu bahkan mati sama sekali.

Turbin-Pesawat Berteknologi Kumbang
Keistimewaan cara-kerja perangkat pertahanan diri kumbang bombardier nampaknya merupakan jawaban atas permasalahan mesin turbin gas pesawat di atas. Proyek penelitian Profesor McIntosh dkk. dijadwalkan mulai sejak Februari 2004, dengan judul “Belajar dari ledakan-ledakan terkendali di alam - Meniru perangkat ledakan katalitis dari kumbang bombardier”.

Dengan dana sekitar 135 ribu poundsterling Inggris atau sekitar 1,35 miliar rupiah dari EPSRC, proyek ini bertujuan utama membuat tiruan teknologi penyala-ulang mesin, yang berupa proses pelewatan arus listrik kuat sepanjang celah kecil yang akan memicu ionisasi air dan uap air, sehingga terbentuklah gas panas (plasma).

Gas panas yang memuai ini kemudian akan ditembakkan ke arah dalam, ke bagian mesin tempat dilakukannya penyalaan-ulang yang dapat terpicu karena keberadaan ion-ion gas tersebut (molekul-molekul radikal bermuatan listrik). Bagaimana caranya agar semprotan gas panas bisa menyembur cukup kuat dan tepat membidik sasaran sehingga penyalaan-ulang mesin turbin dapat berhasil?

Menurut Profesor McIntosh, bentuk ruang pembakaran kumbang bombardier mungkin merupakan jawaban tepat untuk melakukan hal tersebut. Proyek penelitian ini melibatkan pemodelan numerik dan matematis menggunakan komputer, serta ditujukan awalnya untuk memahami ruang bakar kumbang bombardier yang panjangnya kurang dari 1 milimeter, termasuk bentuk dan ukuran moncong penyemprot senjata kimianya.

Teknologi siapakah yang paling hebat?
Sekilas dalam pandangan manusia, serangan balik kumbang bombardier saat mempertahankan diri dari para musuhnya hanya terlihat sebagai sekepul asap kecil dengan suara ledakan yang tidak seberapa.

Tapi bagi para musuh kumbang bombardier, sekepul asap itu bisa berarti senjata ampuh yang menghalangi mereka memangsa kumbang bombardier. Sedangkan bagi manusia yang menelitinya, hal ini adalah jawaban atas permasalahan yang dihadapinya, yang telah Allah siapkan bahkan tatkala manusia belum mampu memahaminya.

Saat kita memikirkan secara mendalam fenomena alam yang nampak biasa saja di mata kita, di sanalah Allah akan mengajarkan kepada kita betapa sempurna ilmu dan ciptaan-Nya. Akan kita pahami bahwa teknologi Allahlah yang paling canggih, tak ada satu pun yang dapat menandingi-Nya. (insight-magazine/dari berbagai sumber)

Ratna Surfitasari/mahasiswi Program D4 Politeknik Negeri Bandung, Jurusan Teknik Mesin

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teknologi Dirgantara, Mesin Turbin Gas dari Teknologi Kumbang"

Post a Comment