Kisahnya berawal pada 1614, koloni Inggris berlayar pulang ke kampung halaman sambil membawa orang-orang dari suku Patuxet (penduduk asli Amerika yang kemudian disebut "Indian") sebagai budak.
Di saat yang sama, koloni tersebut meninggalkan 'warisan' berupa cacar air pada penduduk Patuxet di tanah air mereka, Amerika. Hanya tersisa satu orang yang selamat, Squanto. Pria Indian yang bisa bahasa Inggris ini akhirnya mengajarkan cara menanam jagung dan menangkap ikan pada koloni yang datang lagi ke wilayahnya (sekarang di Massachussets Bay). Squanto pula yang jadi negosiator perdamaian antara koloni Inggris dengan suku Wampanoag. Mereka semua mengadakan pesta makan besar untuk menghormati Squanto dan Wampanoags - dasar inilah yang dipakai pelajaran sejarah Amerika Serikat soal hari raya Thanksgiving.
Apa yang terjadi kemudian? Kabar soal benua baru bagaikan surga menyebar di seantero Inggris, akibatnya makin banyak rombongan koloni datang ke Amerika. Mereka melihat tak ada pagar atau benteng pembatas wilayah sehingga menganggap tempat baru ini jadi milik umum. Para koloni itu merampas tanah milik penduduk asli serta memperbudak mereka.
Hal ini menimbulkan kemarahan suku Pequot yang tidak mau menerima keputusan damai yang telah dibuat Squanto sebelumnya. Meletuslah perang besar pertama antara Indian dan para koboi sekaligus menjadi perang paling berdarah dalam sejarah pendudukan Amerika.
Di tahun 1637 lebih dari 700 pria, wanita, dan anak-anak suku Pequot berkumpul merayakan Festival Green Corn (kemungkinan sekitar akhir November, tanggal yang dipakai sekarang sebagai hari Thanksgiving). Ketika mereka kelelahan usai pesta dan tertidur, pasukan Inggris dan tentara bayaran dari Belanda mengepung suku Pequot.
Semua lelaki ditembak dan dipukul sampai mati, sementara wanita dan anak-anak bersembunyi ketakutan dalam rumah mereka. Tanpa kenal kasihan, mereka dibakar hidup-hidup.
Keesokan harinya, Gubernur Massachusetts Bay Colony menyatakan "A Day Of Thanksgiving" karena 700 pria bersenjata, perempuan dan anak-anak telah dibunuh.
Sejak itu, pembantian terhadap Indian terus berlanjut di berbagai tempat. Setiap berhasil membantai sebuah perkampungan, gereja-gereja di tempat koloni mengumumkan untuk merayakan "Thanksgiving". Selama hari pesta, kepala orang Indian yang dipenggal ditendang-tendang di jalanan seperti bola sepak.
Penghianatan juga diberlakukan pada suku Wampanoags, mereka semua dipenggal dengan kepalanya tertancap di tiang-tiang Plymouth, Massachusetts. Bahkan dipamerkan terus selama 24 tahun.
Pembantaian suku-suku Indian semakin menggila di berbagai tempat, berbarengan dengan perayaan Thanksgiving sesudahnya. Hingga akhirnya George Washington menyarankan hanya satu tanggal saja dipakai untuk merayakannya. Kemudian Abraham Lincoln memutuskan Hari Thanksgiving menjadi hari libur nasional selama Perang Saudara - pada hari yang sama ia memerintahkan pasukan membantai suku Sioux yang kelaparan di Minnesota (lihat film "Dances With Wolves").
Demikianlah asal-muasal Thanksgiving yang sebenarnya. Karenanya begitu media-media sekarang begitu gencar mengumumkan hari tersebut, atau kenalan-kenalan di jejaring sosial berkicau, "Happy Thanksgiving Day!" sebaliknya muncul keresahan beberapa guru sejarah di Amerika, betapa sulitnya membuka tabir ini sambil melihat kesedihan terpancar jelas dari wajah murid-murid yang asli atau keturunan Indian-Amerika. Inilah sebuah perayaan pembasmian penduduk asli Amerika.
[Apakabardunia.com - Dari berbagai sumber]
0 Response to "Thanksgiving, Sebuah Hari Raya Pembantaian "
Post a Comment