Kisah Tragis Bertabur Hikmah: Ditelikung Dosa

 Rajin salat malam, gemar membaca Al-Qur’an, selalu salat berjamaah ke masjid. Majelis taklim baginya tak ubahnya rumah tinggal. Tak terhitung khatam Al-Qur’an, tak kurang 6 juz Al-Qur’an melekat di otaknya. Ia pemuda biasa, berusia 20-an tahun.

Satu kebiasaan yang tak pula pernah ia tinggalkan setiap hari: bergunjing.
Ia tak pernah membiarkan waktu seharian sepi tanpa mengobrolkan aib orang lain. Ia punya beberapa orang teman, pemuda-pemuda seusianya, yang rela berlama-lama dengannya semalam suntuk, hanya untuk membicarakan, menilai, dan mengukur-ukur amalan orang lain. Ghibah atau menggunjing sudah menjadi menu wajib dalam keseharian mereka.


Pemuda itu, sebut saja Teo, hidup di lingkungan para pemuda bergajulan. Jumlah anak-anak baik di kampung itu jauh lebih sedikit dari anak-anak berandalan. Teo mahir bela diri. Sering saat pergi mengaji atau ke mushalla, ia dicegah sebagian anak-anak nakal itu. Biasanya ia akan melawan, dan tak jarang ia berbaku hantam dengan mereka.

“Sabar, Teo. Gak usah dilayani,” nasehat temannya.

“Gak. Orang-orang gak benar seperti mereka harus diberi pelajaran…”

Di antara sebagian kelompok itu, ada enam sekawan yang dikenal sebagai GENG di kampung itu. Mereka adalah yang paling bergajul dari sekian anak-anak nakal yang ada di situ. Pernah seorang di antara mereka berkelahi dengan Teo, dan pulang benjut-benjut. Saat itu Teo dimintai uang secara paksa, padahal ia baru pulang dari pengajian. Tapi belum pernah Teo berkelahi dengan mereka semua. Teo menantang mereka untuk mengeroyoknya, tapi mereka menolak. Entah apa alasan mereka. Padahal bila mereka mau, mereka bisa mengeroyoki Teo dan dapat dijamin bahwa pemuda salih itu tak akan menang. Rata-rata mereka mengerti ilmu bela diri.

Suatu ketika, entah karena sebab apa, keenam anak-anak berandal itu tiba-tiba saja ada di pengajian, di mana Teo biasa duduk menimba ilmu.

“Eh, ada urusan apa anak-anak gak beres itu kemari?” tanya Teo sewot.

“Ahhh, Alhamdulillah, mereka sepertinya mau bertaubat, Teo. Mereka mulai mengaji bersama kita malam ini…”

“Ah, dari mana kamu yakin mereka ingin bertaubat sungguhan?”

“Tapi, apa kita berhak melarang mereka mengaji?”

Teo terdiam. Tapi hatinya tidak bisa menerima kenyataan itu. Mereka menyunggingkan senyum ke arahnya. Ia balas dengan cibiran.

Sebulan mereka mulai mengaji. Dan dalam sebulan itu pula, berangsur-angsur Teo mulai tak aktif lagi di pengajian. Sementara itu semakin menggebu-gebu semangat mereka untuk mengaji.

Teo sendiri kini sudah tak pernah lagi mengaji. Tak hanya itu, Teo juga sudah tak pernah terlihat di masjid. Bila ditanya, ia bilang bahwa ia salat berjamaah bersama ibu dan adik-kakaknya di rumah.

Siang itu Teo menantang keenam anak itu berantem. Keroyokan pun jadi, katanya ketus. Ia masih menyimpan dendam lama terhadap anak-anak itu. Uangnya pernah dirampas. Dompetnya dikembalikan, tapi sebagian uangnya hilang.

Keenam anak itu menolak melayani Teo. Saat masih bergajulan, mereka sudah tak mau melayani tantangannya, apalagi sekarang. Tapi Teo tetap memaksa. Suatu malam, Teo yang gantian mencegat mereka di jalan. Ia menantang berkelahi. Jarot yang melayaninya kali ini. Ia pimpinan GENG taubat itu. Tubuhnya kurus, hitam. Wajahnya kurang nyaman. Tapi kulitnya bersih.

“Kalau kamu memaksa, tak perlu keroyokan. Hadapi saja aku…”

Merekapun berkelahi. Tapi baru sebentar berlangsung, pertarungan usai. Kali ini Teo yang kalah. Ia terlalu ceroboh, sehingga terkena tendangan Jarot di bagian lambungnya. Ia tersungkur nyaris pingsan!

Teo pulang. Dan semenjak itu, mereka tak lagi melihat Teo berkeliaran. Di masjid, di pengajian, atau di jalan-jalan. Ternyata kini Teo sudah berubah. Ia sering nongkrong, begadang dan menghabiskan berbungkus-bungkus rokok semalaman bersama teman-teman barunya di kampung sebelah. Akhirnya juga terdengar bahwa Teo sudah mulai menenggak minuman keras. Ia tak lagi salat, apalagi membaca Al-Qur’an, dan apalagi berpuasa atau melakukan salat malam.

Teo makin terjerumus dalam maksiat. Ia mulai kecanduan minuman keras. Dan enam bulan setelah perkelahiannya melawan Jarot yang berakhir kekalahan pahit, Teo ditemukan di sebuah rumah kosong dalam kondisi sudah terbujur menjadi mayat. Perutnya membesar. Matanya merah. Di sebelahnya ditemukan beberapa botol minuman keras dan beberapa butir pil setan. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolk-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Hujurat: 11)


Penulis: Ustadz Abu Umar Basyier

*) Dikutip dari buku Ustadz Abu Umar Basyier berjudul “Aku Bukan… Ahli Maksiat”, hal. 65-70, cetakan pertama, Februari 2012, penerbit Shafa Publika.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Tragis Bertabur Hikmah: Ditelikung Dosa"

Post a Comment