Omar Khayyam, Meniti Jalan Mendaki

Setiap keadaan memberikan hikmah tersendiri. Ia memberi kesempatan bagi seseorang untuk berpikir menghadapi keadaan tersebut, membuatnya mampu mendayagunakan potensi yang ada dalam dirinya. Itulah yang dialami Omar Khayyam. Kedaanlah yang membuatnya memiliki nama besar. Ia tak hanya besar sebagai ahli matematika maupun astronom. Ia pun memiliki nama besar dalam karya sastra. Ia memiliki keahlian dalam menuliskan bait-bait puisi. Bahkan ia pun memiliki karya monumentalnya, Rubaiyat. Omar Khayyam yang bernama lengkap Ghiyath al-Din Abu'l-Fath Umar ibn Ibrahim Al-Nisaburi
al-Khayyami. Ia lahir di Khorassan, Iran pada pertengahan abad ke-11. Dan, keadaanlah yang membuatnya mampu mendayagunakan segala potensinya. Terlatih berpikir


Peristiwa-peristiwa politik pada abad kesebelas memainkan peran penting dalam kehidupan Khayyam. Dinasti yang berkuasa di Iran kala itu, Dinasti Saljuk, sedang gencar berinvasi ke bagian barat daya Asia. Pada akhirnya membangun imperium yang mencakup Mesopotamia, Suriah, Palestina. Semula memang Saljuk menguasai Khorassan, dan antara 1038 dan 1040 mereka hampir menguasai seluruh bagian Iran.
Dalam situasi politik yang tak stabil itulah Khayyam menjalani hidupnya. Hidup yang begitu susah, kecuali mereka yang memiliki hubungan dekat penguasa. Mereka yang memiliki kekuasaan akan memiliki kehidupan yang lebih baik. Namun, tampaknya kondisi ini memberikan sebuah berkah bagi Khayyam. Ia menelaah setiap peristiwa yang ada di hadapannya. Bahkan ia terlatih untuk berpikir. Pada periode itu, ia bahkan mengenalkan sebuah karya yang menyangkut kajian Aljabar. Meski mengaku tak dapat sepenuhnya mengkaji Aljabar karena banyak kendala yang ia jumpai, bagaimanapun Khayyam merupakan pakar matematika yang mumpuni.
Kemampuan Khayyam tak sampai di situ. Ternyata ia pun memiliki kemampuan dalam kajian astronomi. Sayang kemampuan ini belum tergali sempurna akibat keadaan politik yang tak menentu. Maka pada 1070 ia meninggalkan Khorassan menuju Samarkan di Uzbekistan. Samarkan merupakan kota tertua di Asia Tengah. Di tanah rantau ini, Khayyam beruntung memiliki hubungan erat dengan seorang petinggi. Seorang hakim yang bernama Abu Tahir. Berkat pertemanan ini, ia mampu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Tak lama berselang, lahirlah karya monumental di bidang aljabar, Treatise on Demonstration of Problems of Algebra. Ini merupakan penyempurnaan kajian aljabarnya ketika masih di Khorassan. Waktu itu ia belumlah mencapai umur 25 tahun.
Kembali ke Iran
Sementara di tanah airnya, Iran, pendiri Dinasti Saljuk, Toghril Beg, menjadikan Isfahan menjadi ibu kota pemerintahan. Ini terjadi pada 1073. Cucunya yang bernama Malik Syah dipercaya memegang tampuk kekuasaan di kota tersebut. Kemampuan Khayyam di negeri seberang terdengar pula oleh Malik Shah.Dan menginginkan Isfahan menjadi pusat kajian ilmiah. Maka Malik Shah pun mengirimkan undangan kepada Khayyam untuk kembali ke Isfahan. Ia meminta Khayyam mendirikan pusat observatori di Isfahan. Selama 18 tahun Khayyam mengaktulisasikan dirinya. Situasi politik yang amanlah yang membuatnya mampu berbuat banyak. Khayyam berhasil membuat tabel astronomi dan melakukan perubahan pada perhitungan kalender pada 1079. Khayyam menghitung masa satu tahun adalah 365.24219858156 hari. Banyak ilmuwan berkomentar atas kecemerlangan Khayyam ini.
Sebab, Khayyam mampu menghasilkan penghitungan yang memiliki tingkat akurasi tinggi. Sebab penghitungan pada masa sesudahnya ternyata tak banyak berbeda. Para astronom pada akhir abad ke-19 menyatakan bahwa satu tahun adalah 365.242196 hari. Sedangkan hitungan terkini satu tahun memiliki 365.242190 hari. Jadi tak berbeda jauh dengan hitungan yang telah dilakukan Khayyam berabad-abad sebelumnya. Sayang pergolakan politik terjadi kembali. Pada November 1092 Malik Syah yang memberikan keleluasaan pada Khayyam meninggal. Sebulan kemudian, putra Malik, Nizaam al-Mulk terbunuh saat menempuh perjalanan dari Isfahan ke Baghdad oleh gerakan pemberontak. Kemudian istri kedua Malik Shah mengambil alih kekuasaan.
Diserang teman sendiri
Penguasa baru di Iran ini tak memberikan sokongan yang berarti bagi pencapaian Khayyam dan rekan saintisnya. Perubahan perhitungan kalender juga tak berlanjut. Di sisi lain Khayyam diserang oleh kaum Muslim sendiri. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan Khayyam tak sejalan dengan keyakinan Islam. Lagi-lagi, keadaan memberikan keuntungan tersendiri bagi Khayyam.
Ia memiliki kemampuan lainnya, menuliskan puisi yang menggambarkan jalan hidup yang dilaluinya. Ia menuliskan perasaannya saat diserang oleh saudara seimannya sendiri. Dalam karyanya, Rubaiyat. Karyanya kini masih tersimpan di negeri kelahirannya, Iran. Melalui puisi pula ia mengingatkan pula kepada masyarakatnya bahwa para pendahulu di Iran merupakan orang-orang terhormat. Mereka selalu memberikan ruang luas bagi semua karya ilmiah. Tak lama memang Khayyam merasakan kungkungan dalam mengembangkan kemampuannya dalam bidang ilmiah. Seperti masa sebelumnya, Khayyam mencari tempat yang aman untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya. Ia meninggalkan Isfahan menuju Merv (Turkmenistan).
Di sana putra ketiga Malik Syah, Sanjar, menjadikan wilayah tersebut menjadi ibu kota baru bagi kekaisaran Saljuk. Sanjar membuat pusat kajian Islam di Merv dan memberikan kebebasan ilmiah bagi masyarakat islam. Lagi-lagi Khayyam mampu memanfaatkan kondisi itu untuk berkarya. Kajian matematika ternyata menjadi titik perhatiannya waktu itu. Ia menelurkan sebuah pemecahan mengenai persamaan kubik. Temuan itu membuat ia menjadi panutan para pakar matematika setelah masanya. Laiknya sebuah keadaan. Masa juga memiliki ujungnya. Khayyam pun secara alamiah memiliki akhir masa hidupnya. Allah SWT menentukan batas hidup Khayyam pada akhir abad keduabelas. Ia telah meninggalkan karya monumental yang patut dibanggakan.(rpb) www.suaramedia.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Omar Khayyam, Meniti Jalan Mendaki"

Post a Comment