Dunia Sophie. Merupakan sebuah novel filsafat besutan Jostein Gaarder yang menarik minat banyak orang. Filsafat dalam karya novelis kelahiran Oslo tahun 1952 ini begitu cair. Ia mengisahkannya lewat pengalaman seorang gadis berumur empat belas tahun, bernama Sophie. Ceritanya, hampir setiap hari Sophie mendapatkan surat misterius yang mempertanyakan asal
mula manusia, keberadaan dunia dan pertanyaan filosofis lainnya. Pertanyaan seperti itu memang tak pernah terlintas dalam benak Sophie sebelumnya. Meski semula kebingungan, akhirnya remaja itu menikmati petualangannya di dunia filsafat. Lewat pengalaman Sophie, pembaca juga memahami filsafat. Begitulah cara Gaarder membawa orang awam memahami filsafat.
Cara yang sama, telah dilakukan berabad-abad silam oleh filsuf Muslim Muhammad Abu Bakr Ibn Tufayl. Filosof kelahiran Guadix, Spanyol pada 1110 M ini mengemas pandangan filsafatnya dengan sebuah 'novel' pula, yang bertajuk Hayy Ibn Yaqzan (The Living Son of Vigilant). Karyanya memang terinspirasi oleh murid Ibn Sina yang bernama Hayy Ibn Yaqzan, Salaman serta Absal.
Tentang transformasi kehidupan
Kerangka karya Tufayl berasal dari cerita kuno di dunia timur, yaitu The Story of the Idol and of the King and His Daughter. Judulnya memang diambil dari karakter utama, Hayy Ibn Yaqzan. Melalui bukunya ini, Tufayl mengajak pembacanya untuk turut merasakan langsung dan memahami pandangan filsafatnya. Secara garis besar, ia menggambarkan tentang pengetahuan manusia, yang muncul dari sebuah kekosongan. Kemudian ia menemukan pengalaman mistik melalui hubungan dengan Tuhan. Dengan laku spiritual yang tak hanya dilakukan sebagai ritual an sich. Untuk mencapai pengalaman tersebut manusia juga mestinya 'mematikan' dirinya.
Kisah Hayy Ibn Yaqzan bermula dari sebuah pulau yang tak berpenghuni. Ia adalah anak dari seorang wanita yang tak ingin buah pernikahannya diketahui oleh saudaranya, Yaqzan. Ia juga tak mau diketahui kakak laki-lakinya, penguasa di pulau tetangga. Tak lama setelah kelahiran Hayy, perempuan itu pun menyusuinya agar si bayi merasa nyaman dan kenyang. Kemudian ia memasukkannya ke dalam sebuah peti dan menghanyutkannya. Bayi itu pun terbawa arus ke sebuah pulau yang tak berpenghuni. Kala itu, ada seekor rusa betina mendengar suara tangis Hayy. Rusa betina yang baru saja kehilangan anaknya ini, kemudian menghampiri Hayy.
Rusa betina itu memelihara Hayy sampai akhir hayatnya. Saat kematian 'ibu angkat'-nya, Hayy berumur tujuh tahun. Hidup di sekitar dunia hewan, Hayy pun berbicara dalam gaya mereka. Tak hanya itu. Ia pun menutupi tubuhnya dengan dedaunan setelah melihat banyak tubuh hewan yang tertutup oleh kulit maupun bulu yang lebat. Kematian rusa betina itu telah membuahkan transformasi kehidupan dari ketergantungan beralih pada eksplorasi dan penemuan. Itulah yang dilakukan Hayy. Ia pun memulai memikirkan bagaimana rusa betina itu bisa mati. Kenyataan itu ia cerminkan pula untuk mengetahui keberadaan dirinya. Ia mengamati tubuh rusa yang telah mati itu.
Hayy berpikir, semua organ tubuh berfungsi dengan baik. Meski tentunya ada organ vital yang mampu membuat rusa itu menjalani kehidupannya. Namun, setelah berpikir lebih dalam, hal terpenting adalah sebuah entitas tubuh. Bukan salah satu organ tubuh yang menjadi instrumen vital. Hayy melihat hakikat ini juga terjadi pada manusia seperti dirinya.
Setelah menemukan jawaban itu, pengamatan Hayy pun kemudian beralih ke objek-objek lain. Lewat perenungannya, Hayy dapat merumuskan konsep tentang benda, bentuk, sebab dan efek, kesatuan serta keberagaman. Juga konsep lainnya mengenai bumi dan surga. Ia memperoleh sebuah kesimpulan yang penting: semuanya diciptakan oleh pemilik eksistensi. Dan, mestinya selalu berhubungan dengan pemilik eksistensi tersebut, yaitu Tuhan.
Jalan mencapai kebahagiaan
Sementara itu, di pulau tetangga terdapat sekelompok orang termasuk Raja Salaman yang menjalankan sebuah agama. Agama itu dijalankan sesuai keterangan dalam kitab sucinya meski hanya sebatas ritual dan melalui perantaraan. Absal, teman Salaman, melakukan kajian terhadap ritual agama tersebut, yang langsung menuju kepada inti agama. Bukan literal seperti yang dilakukan oleh orang-orang lainnya.
Ia mencari apa yang sebenarnya ada di dalam kitab agama tersebut. Absal kemudian melakukan perjalanan menuju pulau tempat tinggal Hayy. Saat pertama kali bertemu Hayy, Absal merasakan takut. Namun, Hayy meyakinkan bahwa ia tak akan mengganggu. Absal kemudian mengajarkannya bahasa manusia.
Lewat penggunaan bahasa, Hayy mampu menjelaskan kepada Absal perkembangan pengetahuannya. Absal menyadari, apa yang dipahami Hayy adalah yang dijelaskan di dalam agamanya sendiri. Yaitu keberadaan tentang Tuhan, kitab suci, malaikat, nabi, kehidupan setelah kematian, dan lain sebagainya. Pada saat Absal mendiskusikan kebenaran tersebut seperti yang tersebut di dalam agamanya, Hayy juga menemukan peneguhan atas perenungannya selama ini. Hanya saja, Hayy tak dapat memahami mengapa agama Absal menggunakan simbol dan menggunakan perantara, lewat penyembahan benda.
Kemudian Hayy mengungkapkan ketertarikannya untuk mengunjungi pulau tetangganya itu. Ia ingin menyampaikan kebenaran dari keyakinannya kepada penghuni pulau itu. Absal kemudian menemaninya ke sana. Ia kemudian menyadari, sejumlah orang tak dapat menangkap kebenaran sejati. Ia pun menyadari bahwa agama mereka diperlukan bagi stabilitas dan perlindungan sosial.
Hayy berpikir, apa yang mereka lakukan bukanlah sumber kebahagiaan. Untuk melakukan perubahan tentunya harus lewat jalan panjang. Namun, ia menyadari upaya pencerahan ini akan menyebabkan stabilitas masyarakat tersebut goyah. Maka, ia pun memilih meninggalkan mereka. Absal dan Hayy kembali ke pulau semula. Mereka mempraktikkan laku spiritual yang melahirkan pengalaman mistisisme.
Dari pengalamannya, Hayy menemukan dua fakta ontologis yang penting. Pertama, di samping keberagaman benda terdapat sebuah kesatuan. Dan, selalu ada sesuatu yaitu jiwa yang selalu transenden. Ia pun akhirnya menyadari, mesti ada sebab awal terbentuknya dunia. Dunia tak terjadi tanpa adanya ruang dan waktu. Dan, penyebab semuanya adalah Tuhan.
Kesadaran lain juga ada dalam dirinya. Yakni, kesadaran merupakan alat investigasi untuk mengetahui keberadaan Tuhan. Lebih jauh, ia juga menyimpulkan, hanya ada satu jalan untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan dan setelah hidup. Yakni, kehadiran sebuah energi yang selalu menuntunnya kepada Tuhan. Karya Tufayl ini banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, Prancis, dan Spanyol. Ia dianggap memiliki pengaruh besar bagi kebangkitan filsafat. Ia ditempatkan sebagai filsuf kedua yang memiliki pengaruh besar di dunia Barat setelah Ibn Bajjah.
Dalam karyanya, Ibn Tufayl berupaya melakukan rekonsiliasi antara agama dan spekulasi rasional. Padahal para filosof sebelum dan sesudah masanya jarang melakukan hal tersebut. Paling tidak, ada upaya Tufayl mempertemukan antara filsafat dan agama. Ia tak hanya menekankan pentingnya membahas eksistensi Tuhan dengan sebuah alasan yang masuk akal.
Tufayl meyakini ada sebuah jalan mistis yang dapat dirasakan jika berhubungan dengan Tuhan. Tentunya melalui laku spiritual yang dijalankan secara teratur. Pandangannya ini dianggap oleh berbagai kalangan sebagai sebuah pencerahan. Setelah bergelut dengan pemikirannya serta memberikan pencerahan bagi orang lain, ia menghembuskan napas terakhir pada 1185 M di Maroko.(rpb) www.suaramedia.com
Sufi.... Wihdatul wujud???
ReplyDelete