Pagi itu Ali bin Abi Thalib r.a sudah menyelesaikan qiyamullailnya, tinggal witir saja yang belum ia tunaikan. Setelah berzikir dan memanjatkan doa maka sholat witirpun ia kerjakan dengan sesempurna mungkin. Udara Madinah pagi itu begitu sejuk dan menentramkan. Aroma kehidupan qurani sangat jelas nampak dibalik bilik tiap tiap rumah di Madinah. Lantunan merdu ayat ayat Al Qur’an terdengar sayup sayup dari rumah para Sahabat. Waktu subuh sudah merapat dan Ali bin Abi thalib r.a sudah bersiap siap melangkahkan kaki ke masjid. Beberapa Sahabat sudah ada yang mendahului dan sudah banyak pula yang berada dimasjid. Tibalah saatnya Bilal mengumandangkan azan ke seluruh pelosok kota Madinah. Suaranya yang keras dan merdu makin menambah ghairah
kaum muslimin untuk segera berangkat ke masjid menunaikan shalat Subuh. Kecuali segolongan kaum munafik yang enggan dan memilih tidur dari pada sholat Subuh.
Belum jauh berjalan menuju masjid, ada seorang kakek tua renta Yahudi berjalan dengan sangat pelan sekali di depan Ali bin Abi Thalib. Mungkin kakek itu akan menuju pasar. Takut si kakek jatuh atau terperosok, Ali bin Abi Thalib pun berjalan perlahan juga mengiktuinya dari belakang. Dalam hati Ali ingin cepat sampai di masjid karena kumandang iqomat sudah terdengar tapi karena ia ingat pesan Rasulullah SAW untuk menghormati orang yang lebih tua apapun agamanya maka ia ikhlas terlambat sholat berjamaah.
Ali sebenarnya sudah pasrah ketinggalan shalat berjama’ah, tetapi alangkah gembiranya ketika memasuki masjid ia mendapati Rasulullah dan para sahabat masih dalam posisi ruku’ maka segera saja Ali bin Abi Thalib menyertai sholat subuh dan ia mendapat satu rakaat yang terakhir karena apabila makmum masbuq dan mendapatkan imam sedang ruku’ maka ia telah sempurna mendapat satu rakaat. Shalat subuh telah usai dan Ali bin Abi Thalib pulang kerumah seperti biasa.
Beberapa saat kemudian Sahabat Umar bin Khattab r.a bertanya kepada Rasulullah perihal ruku’ di rakaat kedua tadi yang berlangsung lama. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Adakah sesuatu telah terjadi?”
Rasulullah balik bertanya, “Kenapa, ya Umar?”
Umar menjawab “Biasanya engkau ruku’ dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Adakah wahyu telah turun ?”
Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang ruku’ dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga. Dan aku belum tahu kenapa Jibril melakukan itu kepadaku,. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan ijin Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Muhammad Rasulullah, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh kesempatan untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau makin mencintai menantunya itu karena telah berakhlak mulia demi menghormati seorang kakek tua meski berbeda keyakinan. Islam mengajarkan agar kita menghormati orang tua terutama orang tua kandung sendiri. Sungguh akan menyesal orang yang selama hidupnya menyia nyiakan orang tuanya dan tidak memberikan hak haknya kepada mereka. Orang tua ibarat pintu gerbang kita menuju dunia dan kita akan senantiasa berhutang budi kepada mereka. Semoga kita selalu menjadi insan yang senantiasa tulus dalam berbakti kepada orang tua kita. (Muchammad Bug, Tarikh Islam).[]
0 Response to "Penghormatan Ali pada Seorang Kakek Yahudi"
Post a Comment