“Pelajaran dari Mesir: Jika kekuatan Islamis terlalu kuat di sebuah negara, politik akan cenderung sektarian, masyarakat terpolarisasi. Keadaan seperti itu biasanya akan mudah mengundang militer melakukan intervensi politik. Mesir adalah contoh terakhir. Alhamdulillah, di Indonesia kekuatan Islamis tak terlalu besar. Jika membesar, kita akan menghadapi masalah seperti Mesir,” katanya.
Dalam konteks Mesir, ia menyatakan bahwa baik kubu militer dan Islamis – sama-sama bukan alternatif yangg ideal untuk konsolidasi demokrasi di Mesir. Masalah besar Mesir adalah terlalu kuatnya kubu Islamis di sana. Yang bisa menandingi mereka hanya militer.
Polarisasi atas kekuatan Islamis dan militer menurutnya menunjukkan bahwa Islamisme adalah ideologi berbahaya, dan akan selalu menimbulkan politik aliranisme yang memecah-belah masyarakat.
Ia mengatakan, “Tugas kita adalah melakukan kritik terus-menerus agar ideologi Islamis di Indonesia yang dibawa PKS tak meluas pengaruhnya.”
Ia mengaku tidak melarang Islamis berpolitik, tetapi mereka harus meninggalkan ideologi Islamisme mereka.
“Yang saya anjurkan adalah kritik, bukan menghalangi hak kaum Islamis untuk berpolitik. Hak itu ada pada mereka dan dilindungi konstitusi. Di semua sistem demokrasi, kaum Islamis punya hak untuk berpolitik, berpartai. Tak boleh dihalang-halangi. Tapi hak masyarakat untuk melakukan kritik atas ideologi Islamisme supaya pengaruhnya tak meluas. Dg kritik yang keras dan terus-menerus, kaum Islamis kita harapkan “sadar” dan merevisi ideologi mereka seperti di Turki,” katanya.(fimadani
sebuah pemikiran yang dangkal....
ReplyDeleteorang SIPILIS ne berfatwa.... ikut ngga ya... kalo ikt ntar kena penyakit SIPILIS juga....
ReplyDelete