Ibnu Abbas r.a., ia adalah pribadi yang istimewa. Sejak kecil ia sudah sering bersama Rasul Saw. Ketika ia masih belia, pernah suatu saat di akhir malam ia sholat di belakang Nabi Saw. Lalu Nabi Saw menarik tangannya agar berdiri di dekatnya. Tapi setelah Nabi Saw kembali khusyuk dalam sholatnya, ia kembali mundur ke belakang. Usai sholat, Nabi Saw bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mundur padahal aku menyuruhmu berdiri di dekatku?” “Apakah patut seseorang sholat di dekatmu, sementara engkau adalah Rasulullah yang mulia?”, jawab Ibnu Abbas r.a.
Nabi Saw kagum dan takjub dengan jawaban Ibnu Abbas r.a. Lalu dengan tulus Nabi Saw berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pemahaman yang dalam tentang agama dan ajarilah ia takwil”. Bila Nabi Saw telah berdo’a meminta kebaikan untuk seorang hamba, adakah yang lebih membahagiakan dari pada hal itu? Aduhai, sungguh beruntung Ibnu Abbas r.a.
Setelah do’a Sang Nabi terucap, seakan-akan setelah hari itu kecerdasan hanyalah milik Ibnu Abbas. Ia menjadi ukuran kecerdasan di antara anak-anak seusianya. Tidak, lebih dari itu. Orang-orang dewasa pun menjadikan ia sebagai marja’ (rujukan). Pernah suatu ketika, ‘Umar bin Khaththab r.a. mengajak Ibnu Abbas r.a. ke sebuah majelis yang dihadiri orang-orang dewasa. “Mengapa anak kecil ini engkau bawa kemari wahai umar?”, kata salah seorang di dalam majelis tersebut. Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Umar malah menyampaikan firman Allah, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An Nashr: 1-3). “Bagaimana penafsiran ayat ini menurut kalian?”, tanya Umar.
Di antara mereka ada yang menjawab, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah dan bertaubat kepada-Nya, ketika kita diberi pertolongan dan kemenangan”. Sebagian lagi menjawab, “Kami tidak tahu”. Lalu Umar melirik Ibnu Abbas sambil bertanya, “Beginikah penafsiranmu tentang ayat ini?” “Tidak”, jawab Ibnu Abbas. “Surat tersebut adalah pertanda wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dekat. Allah memberitahunya dengan ayatnya: “Jika telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’, itu berarti penaklukan Makkah dan itulah tanda ajalmu (Muhammad), karenanya “Bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat”, tutur Ibnu Abbas. “Aku tidak tahu penafsiran ayat tersebut selain seperti yang engkau ketahui“, kata Umar.”
Umar tahu betul kecerdasan Ibnu Abbas. Itulah sebabnya ia perlihatkan kecemerlangan berpikir Ibnu Abbas di hadapan orang-orang dewasa. Ibnu Abbas r.a. tumbuh menjadi pribadi yang istimewa. Ia bisa menangkap isyarat-isyarat makna Al-Qur’an, ia mengerti berkenaan tentang apa suatu ayat diturunkan, dan ia sangat paham penunjukan makna dalam bahasa Al-Qur’an. Seperti pengakuan Ubaidullah bin Utbah suatu saat. Ia pernah bertutur tentang Ibnu Abbas r.a., “Tidak ada yang tahu syair dan bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, hisab dan faraidh kecuali Ibnu Abbas.”
***
Ketika pemberontakan Khawarij pecah di Haruriyah, Ibnu Abbas r.a. meminta izin kepada Ali r.a. untuk pergi menemui kaum Khawarij dan mengajak mereka berdialog. Setelah Ali r.a. mengizinkannya, maka berangkatlah Ibnu Abbas. Ia sampai di Haruriyah tepat tengah hari, saat dimana mereka sedang tidur siang.
Sesaat kemudian, orang-orang Khawarij bungkam. Mereka menemukan kebenaran dalam setiap argumen Ibnu Abbas r.a. Ia berpikir dengan sangat brilian. Sedikit sekali sahabat Nabi Saw secemerlang Ibnu Abbas r.a. 4000 orang-orang Khawarij bertaubat. Mereka kembali kepada kebenaran setelah berhadapan dengan sepupu Sang Nabi tersebut.
Ibnu Abbas telah mengajari kepada kita bagaimana seharusnya seorang mukmin berpikir, memupuk pemahaman, dan menyampaikan argumentasi. Pernah suatu ketika ia ditanya cara mendapatkan ilmu. Dengan begitu meyakinkan beliau menjawab, “Dengan lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak paham”. Sederhana memang. Tetapi itulah kuncinya. Kecemerlangan berpikir dan hebatnya argumentasi tidak datang dengan sendirinya, ia harus diusahakan. Kematangan intelektual pun tidak lahir dengan begitu saja, ia didapat setelah berlelah-lelah dalam menuntut ilmu. So, kalo pengen pinter bin cerdas, tirulah Ibnu Abbas. Nggak gampang bete kalo lagi belajar dan nggak pernah bosan untuk menyampaikan. Semangat! [disadur dari tulisan Kusnady Ar-Razi]
0 Response to "Berpikir Secerdas Ibnu Abbas"
Post a Comment