“Kok gitu Bu profesor?”
“Iya. Biar adil. Masa hanya perempuan yang harus menunggu 4 bulan sepuluh hari baru bisa menikah lagi setelah dicerai atau ditinggal mati. Sementara laki-laki bisa menikah semenit setelah ditinggal isterinya.”
“Yaa pastinya, Allah punya maksud, mengapa wanita harus menjalani masa iddah.”
“Tapi mengapa laki-laki tidak punya masa iddah?”
“Yaa, tentunya juga, Allah punya maksud, mengapa laki-laki tidak menjalani masa iddah.”
“Nah, sekarang paradigmanya harus disejajarkan. Laki-laki harus juga menjalani masa iddah seperti perempuan.”
“Soal iddah, sebaiknya jangan dikutak-katik. Jalani saja aturan yang sudah digariskan Allah.”
“Itu kan pikiran kolot, jumud dan beku.”
“Bu profesor, kenapa sih, ibu demen banget mempersoalkan aturan yang sudah qath’i?”
“Bukan untuk saya pribadi. Tapi untuk semua wanita agar lebih dihargai dalam hukum Islam. Selama ini kan wanita selalu ditempatkan di bawah bayang-bayang dominasi laki-laki.”
“Tapi tidak semua perempuan mau tuh dan setuju dengan pikiran bu profesor.”
“Perempuan itu kan pemalu. Jarang yang mau terus terang mengutarakan isi hatinya. Apalagi yang menyangkut soal pribadi yang berhubungan dengan agama. Meskipun dia direndahkan, mereka malu untuk menyampaikan perasaannya.”
“Engga juga. Saya bahkan menjumpai ada perempuan yang tidak tau malu untuk urusan kawin.”
“Bapak mengada-ada.”
“Suer. Ini engga mengada-ada. Beneran. Sumpah.”
“Perempuan macam apa itu?”
“Yaa, perempuan macam jaksa yang menuntut bisa langsung kawin semenit ditinggal mati kaya laki-laki!”
Jyahahahaha, kyai Adung ngeloyor. Dasar jail.
0 Response to "Iddah Laki-laki Ala Profesor"
Post a Comment