nnya yang telah berjasa dalam perang. Perintah itupun segera dilaksanakan oleh Utbah. Beliau mengirim sepuluh orang prajuritnya yang terbaik kepada Amirul Mukminin di Madinah, termasuk Ahnaf bin Qais. Berangkatlah mereka ke Madinah menemui Amirul Mukminin Umar ibn Khatthab.
Ketika mereka tiba di Madinah langsung disambut oleh Amirul Mukminin dan dipersilahkan duduk di majelisnya. Amirul Mukminin Umar Ibn Khatthab menanyakannya dan kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata : “Tentang kebutuhan rakyat secara umum Amirul Mukminin lebih tahu, karena Amirul Mukminin adalah pemimpinnya. Maka kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri”, ucap diantara prajurit yang hadir di majelis itu.
Saat itu, Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir berbicara, karena ia terhitung yang paling muda, diantara para prajurit yang ada. Kemudian, Qais berkata : “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal di daerah yang subur menghijau dan tempat yagn mewah peninggalan Fir’aun", ucap Ahnaf.
"Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mereka tinggal di tempat yang nyaman, bnayak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana. Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persia, mereka tinggal di sekitar sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah-buah peninggalan para kaisar”, ujar Ahnaf.
Namun kami dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi yang satunya hanyalah hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul Mukminin. Perbaikilah kehidupan mereka perintahkan gubernur Anda di Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat menghidupi ternak dan pepohonan. Perhatikanlah mereka dan keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk berjihad fi sabilillah”, tambah Ahnaf.
Umar merasa sangat takjub mendengar uraian Ahnaf, kemudian bertanya kepada utusan yang lain. “Mengapa kalian tidak melakukan seperti yang dia lakukan”, tanya Umar. “Sungguh dia (Ahnaf) adalah seorang pemimpin”, ujar seorang diantara prajurit itu.
Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka dan menyiapkan perbekalan untuk Ahnaf. Namun, Ahnaf berkata: “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut onta selama berhari-hari demi mendapatkan perbakalan. Saya tidak memiliki keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda”, tegas Ahnaf. Rasa takjub Umar semakin bertambah, lalu Umar berkata : “Pemuda ini adalah pemimpin penduduk Bashrah”, tegas Umar.
Usai mejalis itu dan para utusan meninggalkannya, dan pergi ke tempat menginap yang sudah disediakannya. Umar melayagkan pandangannya ke barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan tersembul sepotong pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya : “Miliki siapa ini?”.
Ahnaf menjawab : “Milik saya Amirul Mukminin”, jawabnya. Kemudian Umar bertanya : “Berapa harganya baju ini tatkala kamu membelinya?”. Ahnaf berkata : “Delapan dirham”, sahutnya. Ahnaf tidak pernah berbohong, kecuali kali ini, yang sesungguhnya baju itu dia beli dengan harga 12 dirham.
Umar menatapnya dengan penuh kasih sayang. Dengan halus dia berkata : “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang kau miliki hendaknya kamu pakai untuk membantu muslim lainnya”. Selanjutnya, Umar berkata kepada para prajurit pilihan itu, yang hendak kembali ke Bashrah : “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya, agar ringan beban kalian dan banyak mendapatkan pahala”, Ahnaf tertunduk malu mendengarkan nasihat Amirul Mukminin itu.
Perjumpaan Ahnaf dengan Umar berlangsung satu tahun. Umar merasa bahwa Ahnaf adalah kader yang memiliki kepribadian yang mulia setelah mengujinya. Kemudian Amirul Mukminin mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Umar berpesan kepada panglimanya, Abu Musa al-Asy’ari : “Untuk selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah dalam segala urusan dan perhatikanlah usulannya”, ujar Umar.
Ahnaf memang masih sangat belia. Tetapi, Ahnaf salah seorang tokoh dari Bani Tamim yang sangat dimuliakan kaumnya. Kaum Bani Tamim sangat berjasa dalam menaklukkan musuh, dan mempunyai prestasi yang cemerlang dalam berbagai peperangan. Termasuk dalam peperangan besar menaklukan kota Tustur dan menawan pemimpin mereka, yaitu Hurmuzan.
Humurzan adalah pemimpin Persia paling berani dan kuat serta keras. Hurmuzan juga ahli dalam strategi perang, dan berkali –kali menghkhianati kaum muslimin.
Tatkala dalam posisi terdesak di salah satu bentengnya yang kokoh di Tustur, dia masih bisa bersikap sombong. “Aku punya seratus batang panah. Dan demi Allah, kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah ini”, ujarnya. Kemudian pasukan Islam bertanya kepadanya : “Apa yang engkau kehendaki?”. “Aku mau diadili dibawah hukum Umar bin Khatthab. Hanya dia yang boleh menghukumku”, ucap Hurmuzan. Pasukan Islam itu menjawab : “Baiklah. Kami setuju”. Lalu, Humurzan meletakkan panahnya ke tanah, sebagai tanda menyerah.
Pasukan Islam yang dipimpin panglima Anas bin Malik dan Ahnaf itu, membawa Humurzan ke Madinah, dan menghadap Amirul Mukminin. Setibanya dipinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Humurzan menggunakan pakaian kebesarannya, yang terbuat dari sutera mahal bertabur emas permata dan berlian. Di kepalanya bersemanyam mahkota yang penuh dengan intan berlian yang sangat mahal.
Humurzan langsung dibawa ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khatthab, tetapi beliau tidak ada di rumah. Seseorang berkata, beliau pergi ke masjid. Rombongan itu pergi ke masjid, namun tak terlihat ada didalam masjid. Saat rombongan mondar-mandir mencari Amirul Mukminin, salah seorang penduduk berkata: “Anda mencari Amirul Mukminin?” “Benar, di mana Amirul Mukminin?”, ujarnya mereka. Lalu, seorang anak diantara penduduk itu, menyahut: “Beliau tertidur di samping kanan masjid dengan berbantalkan surbannya”.
Rombongan itu mendapatkan Amirul Mukminin sedang lelap disamping masjid. Tanpa mendapatkan penjagaan. Memang Umar sangat terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Tetapi, sesungguhnya lelaki yang zuhud dan sederhana ini telah menaklukan Romawi dan raja-raja lain, dan tidur tanpa bantal dan tanpa pengawal.
Kemudian, Humurzan melihat isyarat dari ‘Ahnaf, dan bertanya : “Siapakah orang yang tidur itu?”, tanya Hurmuzan. “Dia Amirul Mukminin Umar bin Khatthab”, jawab Mughirah. Betapa terkejutnya Humurzan, lalu dia berkata : “Umar? Lalu, di mana pengawalnya atau penjaga?”, tambah Hurmuzan. “Beliau tidak memiliki pengawal”, tambah Mughirah. “Kalau begitu, pasti dia nabi”, tambah Hurmuzan. “Tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam”, tegas Mughirah.
Saat Umar terbangun, dan melihat Hurmuzan, dan berkata : “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian melepas pakian kemegahan dan kesombongan itu”, tegas Umar. Mereka melucuti kemewahan pakaian Hurmuzan, kemudian memberikan gamis untuk menutup auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya, dan berkata : “Bagaimana akibat pengkhianatan dan ingkar janjimu itu?”
Dengan menunduk lesu, Hurmuzan serta penuh dengan kehinaan ia berkata : “Wahai Umar, pada masa jahiliyah, ketika antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai kalian, sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami memang, karena hal itu, tetapi juga karena kalian bersatu, sedangkan kami bercerai berai”, ungkap Hurmuzan.
Penguasa yang sudah kalah dan menyerah itu, merasakan kasih dalam Islam, dan akhirnya mengucapkan dua kalimah syahadah, dan masuk Islam. Inilah kebesaran Islam, yang telah diteladai para pemimpinnya, dan menjalankan Islam dengan sungguhnya. Tidak sedikitpun mereka berkhianat terhadap Islam, sampai akhirnya musuhpun memeluk Islam, karena merasa mendapatkan kemuliaan dalam Islam. Wallahu’alam.
0 Response to "Amirul Mukminin Itu Tidur Di Masjid"
Post a Comment