Sebelum pertempuran besar antara pasukan muslim dan pasukan Tatar di Ainun Jalut, Panglima Perang muslim Saifuddin Qutz melakukan persiapan perang serta inspeksi perbekalan yang akan dibawa bersama kavaleri tempur. Setelah melakukan musyawarah dengan para panglima yang lain, Qutz memutuskan untuk menyerang terlebih dahulu benteng pertahanan Tatar di Syam sebelum musuh melakukan penyerangan. Instruksi dan genderang tempur kemudian diserukan ke segenap komandan satuan dan pasukan muslimin. Mereka langsung bergerak ke kawasan Shahiliyah dan menetap beberapa saat di sana sembari menunggu persiapan pasukan.
Di perjalanan Saifuddin Qutz merasakan indikasi kemalasan dan kelemahan di tengah pasukannya. Mereka tampak lamban dan enggan bertempur. Menyaksikan fenomena kelemahan di tengah saat-saat genting seperti itu, Panglima Qutz langsung berseru lantang menghentak jiwa pasukan muslimin, "Sungguh, begitu lemahnya jiwa kalian! Demi Allah, tidak ada yang membuat kalian seperti ini selain karena rasa takut dan gentar terhadap pedang-pedang pasukan Tatar yang akan merobek perut kalian yang semakin gemuk karena banyak memakan kekayaan umat. Tidak tahukah kalian bahwa tak seorangpun yang berperang di halaman rumahnya, melainkan ia akan dihinakan? Wahai para pemimpin umat Islam, bukankah kalian telah mendapatkan bagian hak kalian dari baitul mal, tapi mengapa kalian membenci pertempuran? Betapa miripnya hari ini dengan kemaren, betapa serupanya kalian dengan orang-orang munafik pada masa Rasulullah. Sungguh demi Allah, aku akan tetap bertempur menghadapi musuh-musuh Allah bersama siapa saja yang ikut bersamaku. Barangsiapa di antara kalian yang memilih jihad dan mati syahid di jalan Allah maka ikutlah bersamaku, namun barangsiapa yang hatinya enggan dan ragu, saya izinkan kalian untuk meninggalkan medan pertempuran ini dan kembali ke rumahnya masing-masing."
Gelegar suara Qutz kontan menyentak kesadaran seluruh pasukan. Semuanya terhenyak menyadari kealfaan. Saifuddin telah menyentuh titik kesadaran mereka tentang arti penting kesabaran dan komitmen dalam perjuangan. Belum usai pidato yang menggelora itu disampaikan, serentak suara isak tangis terdengar. Seluruh prajurit berbinar sesegukan. Ainun Jalut mengharu biru.
Luarbiasa. Airmata itu menghantarkan seluruh pasukan ke medan laga. Tak seorangpun prajurit yang meninggalkan barisan tempur melainkan berbaiat untuk menang dan syahid di jalan Allah. Tahun 658 H, mereka membuktikan kesetiaan itu dan mengukirnya di lembaran emas para pejuang. Pasukan muslim mampu melumpuhkan pasukan Tatar dan memenangkan pertempuran.
Sejarah dan peradaban selalu diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, malas, berleha-leha dan para pemimpi. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang mewujudkan cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan kesungguh-sungguhan dan kekuatan tekad. Mereka adalah orang-orang yang mampu melawan dan mengusir penat.
Risalah Islam adalah beban berat yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang besar dan hebat. Di sinilah Allah menyaring secara cermat antara para pejuang yang jujur dengan perjuangannya dengan para pecundang yang lemah dan haus keuntungan.
Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan jauh melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepanjang zaman.
Tak berlebihan jika salah seorang mujahid dakwah mengatakan, "Adapun orang yang tidur dengan sepenuh kelopak matanya, makan dengan sepenuh mulutnya, tertawa dengan sepenuh kerongkongannya, dan menghabiskan waktunya dalam permainan, gurauan, pekerjaan yang sia-sia dan gelimangan nafsu, sungguh sangat jauh dari keberhasilan dan tak tertulis dalam barisan para pejuang."
0 Response to "Perang Ainun Jalut"
Post a Comment