Musim panas tahun 1982 menjadi
saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan
mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu
serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja
yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp
pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat
pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua
hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai
penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa
tak berdosa telah terbantai.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat
dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari
kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari
Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja
mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’
di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee.
Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah
peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada
kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di
Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi
korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? …
Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi.
("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi"
Yediot Aharonoth, July 2, 1982)
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan
Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di
Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon.
Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan
kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di
bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak
tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari
kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan
Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel
atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967
hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari
seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan
agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan
anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka
seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang
Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka
mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang
berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri
mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama
mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur
dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya
tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan
kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam
bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika
sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di
negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat
Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal.
Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok
agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri
mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau
‘Amerika Yahudi’.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis,
terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan
banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat
pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang
memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama
sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas
suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri
yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk
hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka
sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika
memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut.
Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan
rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian
menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina
dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai
relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain
mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama
mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan
propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat
masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi
tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka
adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan
bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan
seruan ini.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah
ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini
memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi
yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim
di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan
wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi
Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah
bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’.
(Washington Post, October 3, 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan
kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan)
nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini,
yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan
nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau
keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika
Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang
merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama
wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply
to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June
1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak
setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen
adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang
Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma
kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari
semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi
sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan
mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi,
mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah
terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.
|
0 Response to "Antara Zionisme Dan Yahudi"
Post a Comment