Pada suatu hari seorang ustadzah tampil di layar televisi menyampaikan uraian tentang membangun keluarga yang Islami. Setelah beberapa menit berlalu maka presenter mempersilakan para pamirsa untuk menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi tersebut.
Setelah beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh kaum hawa maka muncullah suara seorang bapak menyampaikan salam dan bertanya, “Ibu, apa yang harus kulakukan bila aku ingin nambah isteri?”
Sambil mengangkat telunjuknya Ibu ustadzah membaca ayat AlQuran yang berbunyi:
“Kamu tidak akan dapat berlaku adil antar isteri-isterimu walaupun kamu curahkan upayamu untuk melakukannya.” Lihatlah surat Annisaa ayat 129!
Mendengar ungkapan ustadzah tadi seorang ibu di rumah langsung menyambutnya dengan semangat sambil berkata: “Betul, betul, setuju!”
Sementara di sampingnya ada seorang gadis yang telah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Dia menarik nafas panjang sambil mengelus dadanya. Hatinya terasa dicabik-cabik, dan jantungnya terasa disayat-sayat, dan ketika itu pula dia segera pergi meninggalkan tempat tersebut untuk mengambil air wudhu guna menahan emosinya.
Lalu ia menghadap kepada Yang Maha Adil sambil merintih,
“Ya Allah Engkau Maha Mengetahui keadaanku, usiaku sudah lanjut. Namun hingga saat ini aku belum mendapat jodoh. Ya Tuhanku, aku tidak begitu berharap untuk mendapat seorang jejaka, karena aku menyadari, jejaka mana yang bersedia meminangku? Namun untuk mendapatkan jodoh dari orang yang sudah beristeri bukan hal yang mudah, karena ibuku sendiri membenci ajaran poligami. Sungguh dia tidak membaca perasaanku, dia tega mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkanku. Padahal dia sendiri yang mendorong-dorongku agar segera menikah. Sungguh, dia tidak membaca perasaanku. Ya Allah ampunilah ibuku, atas kebodohannya terhadap syari’at-Mu, Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa wanita yang seperti aku ini sungguh banyak. Ya Allah, berikanlah taufiq dan hidayah-Mu kepada ustadzah yang mementingkan diri sendiri itu dan berikanlah kepada ibuku wawasan yang luas tentang Al Quran. Ya Allah Engkau Maha Mengetahui bahwa semua teman priaku semua sudah menikah. Mungkin bila Engkau menciptakanku sebagai pria, tidak akan seperti ini. Ya Allah aku ridho dengan ketetapan-Mu ini, dan aku mohon pada-Mu solusi yang tepat menurut Engkau.”
Ah, daripada merenung terus sendirian tentang hal ini lebih baik aku keluar. Demikian bisikan hatinya. Maka tidak lama gadis tersebut keluar dan bertemulah dengan seorang ibu membawa dua orang anak. Setelah diperhatikan ternyata dia adalah temannya di SMA.
“Eh Teteh, mau kemana?” sapa gadis itu, panggil saja Lin.
Si ibu segera menyambut, “Alhamdulillah bisa ketemu kamu. Aku ini lagi mencari angin segar bersama anak-anak. Ya beginilah keadaanku, Lin.”
“Kenapa kamu kelihatan seperti habis menangis?”
“Ya bagaimana nggak menangis, suamiku sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Dan kini aku bersama anak-anak berjalan mengikuti jari kaki, nggak tahu sampai kapan aku begini, masa depanku terasa sungguh masih gelap. Kalau kamu sih masih punya harapan karena kamu masih gadis, sedangkan aku seorang janda yang punya anak begini, siapa yang mau mendampingi aku. Kalaulah aku menaruh harapan, maka tidak ada yang dapat kuharapakan kecuali orang yang sudah beristeri, tapi hal itu sangat jauh, sebab budaya kita membenci poligami, sungguh jahat budaya kita itu. Padahal kalau budaya kita tidak membencinya mungkin kita tidak akan menghadapi masalah sesulit ini. Namun budaya ini ternyata terus dipertahankan termasuk oleh orang-orang yang mengerti agama. Aku tidak mengerti mengapa setingkat ibu yang sudah sering ceramah keliling umat, ternyata dia juga termasuk korban budaya yang menyakitkan itu. Bahkan dia memutar balikkan makna ayat Al Quran. Sungguh saya termasuk orang yang sangat simpati kepada ibu itu karena wawasan yang sangat luas, namun ketika dia ditanya tentang masalah poligami, kenapa dia tidak menghargai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Aku sangat sedih mendengar pernyataannya karena dia telah mematikan harapanku yang jauh itu. Dan aku lebih sedih lagi ketika anakku bertanya: ‘Bu, kemana ayah?’ Ya Allah dengan siapa kiranya akan Engkau temukan anakku ini, agar anakku punya ayah seperti anak-anak lain?”
Mendengar rintihan sang ibu ini, Lin membisik dalam hatinya, “Oh ternyata ada yang lebih sakit daripadaku dengan ungkapan ustadzah itu. Ya Allah sungguh banyak orang yang sakit hati dengan pernyataannya. Ampunilah dia sungguh dengan lidahnya dia telah menyakiti orang banyak.”[1]
Adil Terhadap Istri
Apa yang dimaksud dengan adil terhadap isteri?
Ada orang yang berpandangan bahwa adil antarsesama isteri dipandang tidak mungkin, yang akhirnya poligami (poligini) secara mutlak dipandang tidak dibenarkan. Pandangan itu terjadi akibat kurang tepat memahami ayat Al Quran. Allah berfirman: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu walaupaun sangat ingin berbuat demikian.” [2]
Mereka mengambil ayat ini hanya sepotong dan mereka tinggalkan sambungan ayat ini. Mereka bagaikan orang mendengar seorang ulama berkata: Lakukanlah olehmu shalat! Maka mereka menjawab: Allah telah melarang kami shalat dengan firman-Nya:
“Janganlah kamu lakukan shalat…”[3]
Mereka berhenti pada kata ini tanpa dilanjutkan dengan kalimat berikutnya. Begitulah mereka memahami ayat di atas tadi. Padahal ayat tersebut ada lanjutannya, yaitu:
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlakku adil di antara siteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkantung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan pemeliharaan diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Penngampun dan Maha Penyayang.” (An Nisa: 129).
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami tidak diwajibkan untuk berlaku adil dalam membagi cinta dan syahwat karena dia tidak akan mampu. Dan Allah tidak memerintahkan hal itu. Akan tetapi Allah mengingatkan dalam peraktek poligami jangan mengikuti kecenderungan dan jangan berlebihan dalam kecenderungan tersebut. Sebab hal ini akan membuat isteri-isteri lainnya terkatung-katung tidak memiliki status yang jelas. Bila kecenderungan itu hanya sedikit maka hal itu merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Dan bila kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun.
Kalimat ini memberi peluang agar melakukan poligami. Artinya wahai para suami jika kamu ingin melakukan poligami maka janganlah kamu takut tidak mampu berlaku adil dalam segala hal sebab hal itu di luar kemampuanmu dan Allah tidak mewajibkan kamu untuk berlaku adil dalam hal yang tidak mampu kamu melakukannya, tetapi berlaku adillah dalam hal yang telah Allah tetapkan padamu.
Makna Adil Bagi Manusia
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah yang berhubungan dengan kewajiban suami terhadap isteri terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan, minuman, bermalam serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya yang mungkin dapat diusahakan manusia yang tidak keluar dari kemampunanya. Adapun keadilan rasa cinta dalam hati bukan wewenang manusia dan tidak dapat diupayakan manusia. Akan tetapi, hal itu merupakan aturan Allah yang tidak dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia adalah menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan dan menjaga perasaan isteri jangan sampai tersinggung dengan perilaku akibat kecintaan tersebut. Allah berfirman:
“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung kapada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Mah Pengampun dan Maha Penyayang.”[4]
Kecintaan adalah karunia Allah yang telah ditanamkan ke dalam hati siapa yang Ia kehendaki dan untuk siapa yang Ia kehendaki. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat mencintai Aisyah Radhiyallahu ‘Anh melebihi cintanya kepada selainnya. Itu adalah karunia yang Allah berikan kepada Aisyah melalui Rasul-Nya.
Dari Aisyah berkata, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membagikan dengan adil dan beliau bersabda, ‘Ya Allah inilah langkah dalam membagi pada apa yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki’. (HR. Ad Darimi) [5]
Rasulullah mengakui bahwa untuk berlaku adil dalam membagi cinta bukan kemampuan manusia dan bukan pula wewenangnya, maka beliau berdoa memohon agar tidak dicela akibat tidak mampu berbuat adil dalam hal ini, namun beliau telah berupaya untuk berlaku seadil mungkin dalam pembagian harta. Beliau sangat mencintai Aisyah namun kecintaan ini bukan berdasarkan kepada penampilan Aisyah sebagai wanita yang termuda, tetapi karena hal lain yang sangat berguna bagi kepentingan da’wah, yaitu karena Aisyah berperan sebagai penyambung lidah Rasul terutama bagi kaum wanita. Kecintaan tersebut tidak mengalahkan kecintaannya kepada isterinya yang pertama dan lebih tua dari beliau sendiri. Dia adalah wanita berusia lima belas tahun di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itulah Khadijah Radhiyallahu ‘Anh.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh ia berkata: Aku tidak merasa iri kepada seorang pun dari isteri Rasul seperti kepada Khadijah. Padahal aku tidak pernah melihatnya. Hanya saja Rasulullah sering menyebutnya, terkadang beliau menyembelih seekor kambing lalu memotongnya kemudian beliau kirimkan kepada karabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, ‘Seolah-olah tiada lagi wanita di dunia ini selain Khadijah’. Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya dia itu adalah anu anu dan dari dia pula aku punya anak’. (HR . Bukhari) [6]
Melalui hadits ini dapat kita baca bagaimana perjalanan rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dapat kita ketahui bahwa:
Isteri-isteri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana manusia lainnya, memiliki rasa cemburu;
Kecemburuan isteri Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan timbul karena urusan dunia;
Aisyah cemburu kepada Khadijah padahal tidak pernah bertemu;
Kecemburuan karena amal akan menjadi motivasi untuk berlomba dalam beramal dengan ikhlas;
Rasulullah mencintai Aisyah di atas yang lainnya karena perannya dalam da’wah;
Sekiranya cinta tersebut muncul karena dia wanita yang termuda tentu kecintaan tersebut akan mengalahkan kecintaannya terhadap Khadijah. Ternyata keheranan Aisyah bahwa Rasul tidak dapat melupakan Khadijah karena peran Khadijah dalam da’wah tidak ada yang dapat menandinginya;
Kelebihan masing-masing tiada lain kecuali karena aturan Allah, dan Dia menanamkan kecintaan ke dalam hati siapa yang Dia kehendaki.
Kehidupan rumah tangga Rasul memberikan motivasi pada semua pihak agar senantisa meningkatkan amal karena dengan meningkatnya amal kerukunan akan tercapai Yang dimaksud dengan meningkatnya amal meliputi gerakan, ungkapan, dan keikhlasan.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anh bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapat sesuatu pada Shafiyah binti Huyay. Maka Shafiyah berkata, ‘Hai Aisyah engkau bersedia melayani Rasulullah agar beliau senang kepadaku? Silahkan saja engkau ambil giliranku hari ini!’ Aisyah berkata, ‘Baiklah’. Maka aku ambil himarnya yang telah diberi za’faran itu lalu dia percikkan air padanya agar wangi semerbak. Kemuidan dia naik menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan aku duduk di sampingnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hai Aisyah kenapa engkau mendekatiku padahal hari ini bukan giliranmu?’. Dia (Aisyah) berkata, ‘Itu adalah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendak’i. Maka aku sampaikan kepadanya masalahnya. Maka beliau menyenanginya (Shafiyah). (HR. Ibnu Majah) [7]
Pelajaran dari hadits:
Shafiyah menyadari bahwa dalan dirinya terdapat kekurangan yang membuat Rasulullah sedikit kecewa.
Kekecewaan tersebut tidak membuat Rasul menjauh darinya, tetapi beliau tetap menunggu kedatangannya.
Shafiyah menjadikan kekurangan tersebut sebagai dorongan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan cara lain yaitu iitsaar (mengutamakan orang lain atas dirinya walaupun dia memerlukannya).
Shafiyah yakin bahwa Aisyah isteri yang paling dicintai Rasulullah dan dia ingin memuaskan Rasulullah agar menyenanginya namun pada waktu itu dia tidak mampu melakukannya. Karena itu dia persilahkan Aisyah untuk melayaninya. Dengan cara ini terbukti Rasulullah merasa puas karena bertemu dengan yang dicintainya, Aisyah merasa bahagia karena mendapat hadiah dari Shafiyah dan Shafiyah merasa senang karena telah memuaskan Rasulullah dengan bantuan Aisyah dan beliau pun menyenangi Shafiyah, karena dia telah memilih Aisyah untuk mendampinginya.
Mengapa Shafiyah bersikap demikian? Karena dia yakin bahwa dunia tempat beramal tanpa perhitungan dan akhirat tempat perhitungan hasil di dunia tanpa amal.
Ringkasnya bahwa adil yang mesti terwujud dalam kehidupan berpoligami meliputi adil dalam:
Penanaman aqidah Islamiyah yang akan menjadi dasar utama dalam segala perilaku kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan dengan Allah, keluarga, tetangga, atau masyarakat luas.
Bimbingan ibadah yang merupakan tugas utama dalam kehidupan sebagai hamba. Seorang suami dituntut untuk memliki wawasan yang sangat luas tentang hukum-hukum dalam Islam agar dapat meluruskan kehidupan semua anggota keluarga dimulai dari isteri-isterinya.
Pembinaan akhlak. Seorang suami harus mampu menjadi teladan bagi semua isterinya dan harus selalu memantau kehidupan mereka serta menggiring mereka untuk menjadi hamba yang memiliki akhlak karimah.
Bagi seorang aktifis da’wah, keadilan tersebut harus dirasakan juga oleh umat, karena seorang dai adalah milik umat. Maka, tidak termasuk adil bila dia berjuang membagi waktu dan harta untuk isterinya demikian baik namun tugas berda’wah terbengkalai karena terlalu sibuk mengurus keluarga.
Bagaimanapun sibuknya seorang da’i dari kita, tidak mencapai kesibukan Rasulullah, namun demikian Rasulullah dengan banyaknya isteri bukan berkurang sibuknya dengan da’wah, malah bertambah karena dibantu oleh isteri-isterinya.[8]
Sulthana Aziz
0 Response to "Wanita-wanita yang Diperkosa Budaya"
Post a Comment