“Saya pergi ke kampus sambil mengendarai mobil lama saya, maklumlah mobil mahasiswa. Tapi walaupun model lama, larinya masih kencang .
“Biasanya sambil menyetir saya mendengar Radio Idza’atul Quran atau ceramah dan pelajaran dari para ulama lewat MP3. Waktu itu di Idza’atul Quran ada Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani –hafidzahullah- seorang da’i terkenal di Saudi Arabia. Syaikh Said bercerita tentang seorang perempuan yang menelpon beliau sambil menangis.
‘Apa gerangan yang terjadi?’
Ternyata ia dimadu. Bukan manisnya madu yang dirasa, tapi pahitnya empedu, karena pahit tak tertahan lagi, air mata mengalir sendiri.
Syaikh bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu senang suamimu berzina dengan perempuan lain atau menikah dengannya?’
‘Menikah,’ jawabnya.
‘Bukankah kamu setiap hari sibuk mencuci, memasak, mengurus anak-anak dan mengatur rumah tangga?”
‘Iya.’
‘Apakah merupakan sebuah kesalahan jika tugasmu itu dibagi dengan saudari muslimahmu, sehingga engkau pada hari yang suamimu tidak berada bersamamu, engkau bisa berpuasa sunnah yang mungkin sudah kamu tinggalkan karena mengurus suamimu, membaca Al-Quran yang banyak terhalang oleh pekerjaanmu, shalat malam yang tak bisa kau lakukan karena bersama suamimu?”
Sebulan kemudian, telepon berbunyi.
Ternyata wanita itu menelepon lagi. ’Apakah Syaikh masih ingat saya? Saya adalah perempuan yang menelpon Syaikh, yang mengadukan suaminya yang telah menikah lagi…’
‘Apakah yang terjadi?’ tanya Syaikh.
Perempuan itu berkata, ‘Saya memilki satu permintaan.’
‘Apakah itu?’
‘Engkau nasihati para istri agar menyuruh suaminya menikah lagi!’
‘Kalau itu permintaannya, saya tidak mau mengabulkannya,’ jawab Syaikh Said bin Musfir Al-Qahtani.
“Saya akhirnya mengetahui kalau ta’addud itu adalah baik untuk istri pertama, kedua dan masyarakat pada umumnya.” [Sumber: FP STDI Imam Syafi’i – Jember]
0 Response to "Di Balik Pahitnya Poligami"
Post a Comment