Mereka mukim di sana beberapa tahun untuk belajar kepada guru-guru terkenal yang mengajar berbagai disiplin ilmu di sudut-sudut (zawiyah) Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para penuntut ilmu itu dikenal sebagai mukimin. Di luar belajar, mereka juga bekerja kepada para sheikh yang melayani jamaah haji dan umrah. Sejumlah mukimin ada yang kemudian menjadi guru-guru terkenal di Makkah. Tersebutlah, antara lain, Sheikh Nawawi Albantani (Banten), Sheikh Yasin Alpadangi (Padang), dan Sheikh Dahlan Alkadiri (Kediri).
Pada pertengahan 1970-an, bersamaan dengan booming minyak, Pemerintah Arab Saudi mulai mereformasi sistem pendidikannya. Ajar-mengajar secara tradisional di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dipindahkan ke universitas-universitas dengan kurikulum dan sistem modern. Di Madinah, misalnya, ada Universitas Islam Madinah. Sedangkan, di Makkah ada Universitas Ummul Quro. Anak didik yang tadinya boleh siapa saja, di sistem pendidikan modern mahasiswa harus lulus tes seleksi dan mendapat beasiswa dari Pemerintah Saudi.
Sejak itu, mahasiswa yang menuntut ilmu ke Makkah dan Madinah pun menyusut. Hanya mereka yang mendapat beasiswa yang bisa diterima kuliah di Universitas Madinah, Ummul Quro, dan perguruan tinggi lainnya di Saudi. Namun, bukan berarti jumlah mukimin Indonesia berkurang. Booming minyak pada 1970-an dan terus berlangsung hingga kini memberi lompatan besar ekonomi Arab Saudi. Kesejahteraan rakyat tiba-tiba meningkat tajam. Mereka pun membutuhkan pembangunan infrastruktur besar-besaran. Namun, sumber daya manusia setempat ternyata belum siap.
Kondisi itu telah membuka lapangan kerja yang luas bagi orang-orang asing. Dari kuli bangunan, sopir, perawat, guru/dosen, hingga pembantu rumah tangga dan tenaga kasar lainnya. Maka, berbondong-bongdonglah tenaga asing dari berbagai negara ke Saudi, termasuk dari Indonesia. Baik yang direkrut langsung oleh perusahaan/kontraktor maupun yang datang sendiri-sendiri. Yang terakhir ini biasanya datang ke Saudi dengan visa umrah atau haji.
Predikat mukimin pun berubah. Dari penuntut ilmu menjadi para pekerja. Dari hanya laki-laki menjadi ada perempuannya, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Istilah TKI (tenaga kerja Indonesia) dan TKW (tenaga kerja wanita) pun berawal dari sini.
Hingga akhir 1970-an atau awal 1980-an para TKI dan TKW yang bekerja Arab Saudi jumlahnya sudah ribuan. Baik yang bervisa resmi sebagai tenaga kerja (legal) maupun yang ilegal. Yang ilegal bahkan jumlahnya lebih banyak. Bukan hanya dari Indonesia, tapi juga negara-negara lain. Karena itu Pemerintah Saudi kemudian mengadakan razia besar-besaran terhadap tenaga kerja asing ilegal ini.
Sejak itu, sekitar 1980-an dan hingga 1990-an, Pemerintah Saudi mengeluarkan kebijakan baru. Umrah atau haji hanya bisa melalu biro perjalanan resmi. Maksudnya, agar tidak ada lagi jamaah haji atau umrah yang kemudian bekerja di Saudi secara ilegal. Sedangkan, mereka yang benar-benar ingin bekerja harus melalui agen resmi pengerah tenaga kerja.
Dengan kebijakan baru itu, jumlah orang-orang Indonesia yang ingin bekerja di Saudi bukannya surut, justru bertambah. Alasannya, ya, itu tadi, bisa haji dan umrah sambil bekerja. Apalagi, di negeri sendiri kesempatan kerja sangat sulit. Namun, untuk bekerja di Saudi tidak selalu menyenangkan. Bagi yang mendapatkan majikan baik tentu sangat beruntung. Bahkan, ada yang bisa keliling dunia mengikuti majikannya. Tapi, bisa buntung buat mereka yang mendapatkan majikan buruk.
Kita pun sering mendengar perlakuan buruk yang dialami para pembantu rumah tangga di Saudi. Dari penyiksaan fisik, pelecehan seksual, hingga tidak digaji dan seterusnya. Banyak di antara mereka kemudian melarikan diri dari majikannya. Dari sejumlah teman di Saudi, saya beberapa kali mendapatkan cerita mengenaskan tentang nasib buruk yang dialami TKW kita yang melarikan diri dari majikannya.
Ketika melarikan diri, para TKW tidak tahu harus pergi ke mana. Tidak sempat membawa pakaian dan perbekalan lainnya, sementara paspor ditahan majikan. Saat itulah datang orang-orang (juga dari Indonesia) yang menawarkan memberi penampungan. Di rumah penampungan mereka diberi makan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Namun, setelah dua atau tiga bulan kemudian, sang tuan rumah yang ternyata bagian dari jaringan mafia, menyodorkan biaya yang harus diganti oleh si TKW selama di penampungan.
Tentu saja si TKW tidak mempunyai uang buat pengganti. Mereka pun terpaksa menerima 'paksaan' dari mafia untuk menjadi pelacur. Menurut teman-teman saya, pelanggannya kebanyakan para kuli atau tenaga kasar dari Pakistan, Bangladesh, India, dan negara-negara Afrika. Sedangkan, uang jasa pelayanan seks itu hanya 50 riyal untuk lima atau bahkan 10 orang.
Itulah sebabnya, Anda jangan kaget bila di kalangan bawah tenaga kerja asing di Saudi, perempuan Indonesia dipanggil 'Siti Rahmah Hamsah Riyal'. Maksudnya, perempuan Indonesia hanya dihargai lima riyal. Padahal, Siti Rahmah ini sebelumnya panggilan terhormat untuk jamaah haji perempuan yang banyak uangnya saat belanja oleh-oleh haji atau umrah. Duh, sakitnya hati ini. Perasaan saya pun bercampur aduk antara sedih dan marah. Sebuah pelecehan yang merendahkan martabat bangsa, terutama para kaum perempuan. Yang lebih menyedihkan lagi, konon rumah-rumah penampungan mafia ini juga ada di Tanah Suci Makkah dan Madinah.
Kalau cerita rumah penampungan mafia ini benar-benar adanya tentu sangat menyedihkan. Karena itu, razia yang dilakukan Pemerintah Saudi terhadap para tenaga kerja asing ilegal ini harus kita sambut baik. Hingga kini jumlah TKI dan TKW ilegal kita di Saudi jumlahnya ribuan. Karena ilegal, mereka pun sulit mendapatkan perlindungan hukum apabila menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.[]
Penulis : Ikhwanul Kiram Mashuri
Sumber : Republika Online
Di mekkah memang banyak penampungan. Kisah di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah miris kehidupan TKI/TKW di Saudi........http://serviceumrohmurah.blogspot.com/2013/11/serviceumrohmurah.blogspot.com.html
ReplyDelete