Ta’aruf Revolusioner

Oleh: Anne Adzkia Andriani

Ba’da Ta’aruf: Awal Sebuah Perjuangan

Memasuki usia 22 tahun, tepatnya setelah lulus sarjana, undangan pernikahan dari teman-teman se-angkatan kuliah saya mulai datang satu persatu. Belum terlalu banyak memang, karena selepas sarjana, kami belum sepenuhnya tamat kuliah. Kami, para mahasiswa fakultas kedokteran gigi harus melanjutkan ke program profesi (ko-ass) usai wisuda sarjana. Sehingga kami masih harus berkutat dengan dunia perkuliahan ditambah tugas-tugas klinik yang akan membuat kami super sibuk, dan menikah pun belum menjadi target kami.
Bagaimana dengan saya? Saya termasuk ke dalam golongan kecil mahasiswa yang ingin menikah sebelum lulus dokter gigi. Entah kenapa, saya ingin sekali cepat-cepat menggenapkan separuh agama. Mungkin efek dari buku-buku tentang pernikahan yang sering saya baca sehingga membuat saya “ngebul” ingin menikah saat masih kuliah.

Beberapa dari teman yang telah menikah banyak yang meng-inspirasi saya. Kebanyakan dari mereka menikah melalui proses yang syar’i, yaitu menikah tanpa pacaran. Saya yang sedang bersemangat menggali ilmu agama, mempunyai impian bisa menikah dengan cara seperti itu. Namun saya meragukannya. Kenapa?

Dalam sejarah keluarga, belum pernah saya lihat ada yang menikah tanpa pacaran sebelumnya. Berarti kelak saya akan menjadi pioneer dalam menjalankan proses ini. Tentu saja, segala bentuk perjuangan melaksanakannya terpampang jelas dihadapan. Pasti tak akan mudah untuk memulai sebuah proses baru yang sebelumnya belum pernah terjadi di keluarga. Tak hanya itu, saya juga masih bingung harus memulai dari mana untuk memperkenalkan cara baru dalam menikah ini kepada keluarga. Yang pasti, semua harus saya komunikasikan jauh-jauh hari sebelum benar-benar memasuki proses itu. Agar keluarga, terutama orang tua  tidak kaget.

Akhirnya, perlahan-lahan saya coba membuka sebuah wacana tentang proses menuju pernikahan yang bernama ta’aruf. Orang pertama yang akan saya ajak bicara adalah mama. Saya pikir, pembicaraan antara wanita akan lebih mudah dibanding dengan pria. Jika mama sudah saya “pegang”, insya Allah beliau akan membantu ketika saya berkomunikasi dengan papa nanti.

Ternyata perkiraan saya yang menduga akan mudah menjelaskan tentang ta’aruf ini, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sulit membuat mama yakin bahwa sebuah pernikahan bisa terjadi melalui ta’aruf, yang nota bene calon pasangan tidak akan ada interaksi yang intens selayaknya orang pacaran.

“Bagaimana teteh (begitu panggilan mama pada saya) yakin kalau dia orang yang tepat dan baik untuk jadi suami? Sedangkan orang yang pacaran bertahun-tahun saja banyak yang gagal dalam pernikahannya.” Begitu salah satu pertanyaan mama.

Saya mencoba memberikan penjelasan yang mungkin akan mudah diterima oleh logika beliau.

“Dalam proses ta’aruf, seorang laki-laki dan perempuan diberi kesempatan untuk saling mengenal kok, Ma. Hanya caranya yang beda. Mereka nggak boleh berdua-duaan aja, tanpa ada muhrim yang mendampingi, “ ujar saya singkat. Untuk sementara pertanyaan mama berhenti. Tapi saya tahu, beliau masih belum puas dengan jawaban saya yang kelewat sederhana.

Pada kesempatan lain, mama sempat mengajukan pertanyaan lagi, “Orang nikah itu kan harus saling cinta. Kalau cuma ketemuan sedikit-sedikit gitu, pake ada bodyguard lagi, mana bisa jatuh cinta dan tumbuh rasa kasih sayang?”

Jujur, saat itu saya belum bisa menjawab semua pertanyaan mama dan papa. Karena apa yang saya ketahui tentang ta’aruf baru dalam tahap teori singkat, yang saya peroleh dari buku. Bukan berdasarkan pengalaman. Akhirnya beberapa kali saya menunda memberi jawaban.

Keraguan tentang proses ta’aruf tak hanya muncul dari mama, tapi juga dari papa. Hanya papa sepertinya percaya kalau apapun jalan yang saya pilih kelak, sudah saya pikirkan konsekuensinya.

Kecemasan mereka serta pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul dari orang tua sempat memengaruhi saya. Menumbuhkan butir-butir keraguan. Meskipun azzam sudah saya tanamkan, namun sesekali ketika kondisi ruhiyah turun keraguan itu hadir. Kekuatan dan keyakinan kembali menguat melalui dorongan dari teman-teman dan murabbiyyah saya.

Akhirnya meskipun pertanyaan kerap disuguhkan pada saya dari orang tua dan anggota keluarga lain, saya tak gentar. Tak peduli dianggap keras kepala atau apapun, saya bertekad akan tetap melaju dengan cara yang saya anggap baik ini. Sebab seiring dengan pemahaman tentang ta’aruf saya ketahui, saya sudah menghapus kamus pacaran dalam hidup saya. Titik.

Ta’aruf Pertama: Sebuah Perubahan

Sebenarnya proses ta’aruf yang saya lakukan dengan ikhwan ini (sekarang telah menjadi suami saya), bukanlah yang pertama. Pernah saya melakukan beberapa ta’aruf sebelumnya. Namun ketika itu, saya tidak terbuka sepenuhnya pada orang tua bahwa saya sedang ta’aruf dengan si A atau si B. Entah kenapa? Mungkin karena masih memiliki sebentuk keraguan terhadap ikhwan-ikhwan tersebut. Jadi paling-paling saya cerita sekilas pandang saja.

“Ma, Anne lagi kenalan nih sama cowok (kalau pakai istilah ikhwan, beliau belum paham). Orangnya begini begini begini, trus aktivitasnya bla bla bla. Orang tuanya titik titik titik, dan lain-lain.”

Lalu respon mama adalah, “Orang mana? Kuliahnya dimana? Kerja dimana? Orang tuanya pekerjaannya apa?”

Huh. Kok pertanyaannya seputar materi semua sih? Mama matre nih, begitu pikir saya. Karena sudah tampak ada sinyal-sinyal ketidaksetujuan, akhirnya saya malas melanjutkan proses itu. Toh kalaupun berlanjut, lalu orangtua tidak setuju, buat apa?

Pertanyaan serupa hampir selalu diutarakan mama setiap kali saya mengajukan kriteria seorang ikhwan. Ternyata pemahaman mama masih seputar materi yang akan membuat sebuah pernikahan itu sukses. Pfiuuh,  pe-er saya masih banyak nih.

Pelan-pelan saya sering bercerita pada mama kisah pernikahan beberapa orang teman yang sukses melalui ta’aruf. Perlahan pula pandangan mama mulai terbuka dan membuat diskusi saya malah mengasyikan. Alhamdulillah usaha saya, dengan dibantu do’a tentunya, telah membuahkan hasil. Ya, saya kerap berdoa pada Allah meminta semoga Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati berkenan membuka hati mama dan papa mengenai jalan yang saya pilih untuk menuju pernikahan. Subhanallah, doa saya terkabul.

Ketika kembali datang seorang ikhwan yang menyatakan ingin berproses menuju pernikahan, saya langsung ceritakan pada orang tua. Secara detail saya komunikasikan perihal tentang ikhwan ini dan tata cara ta’aruf yang saya jalankan.

Begitulah ketika Allah menjadikan semuanya mudah dan indah pada waktunya, sejak mulai berproses dengan ikhwan ini segala kemudahan Allah tunjukkan. Mulai dari ketetapan hati saya untuk terus melanjutkan proses di tengah kesibukan ko-ass yang sedang memasuki masa akhir, orang tua juga mendukung sepenuhnya ta’aruf saya dengan ikhwan ini. Padahal ada beberapa poin yang menurut saya berada di luar kriteria materi orang tua saya.

Pertama, ikhwan ini adalah mahasiswa. Ya, kami sama-sama masih kuliah, dan sudah pasti belum memiliki maisyah (penghasilan) tetap. Padahal biasanya urusan pekerjaan adalah hal utama yang ditanyakan oleh orang tua, terutama oleh mama.

Kedua, latar belakang orang tua. Ta’aruf yang saya jalankan ini terbilang aneh dan unik. Biasanya dalam sebuah proses ta’aruf, pasangan ikhwan dan akhwat akan bertemu untuk bertukar informasi tentang kondisinya masing-masing secara lengkap, atau paling tidak kami mencari informasi melalui orang lain yang dapat dipercaya.

Tapi tidak dengan kami. Saat itu saya masih sibuk dengan urusan kuliah dan klinik untuk segera menyelesaikan ko-ass, sedangkan sang ikhwan pun sedang sibuk dengan urusan Tugas Akhir (skripsi)-nya. Urusan ta’aruf menjadi terpinggirkan, sehingga tidak dilakukan secara maksimal. Kami hampir tidak pernah bertemu khusus untuk berkomunikasi ataupun bertukar informasi. Saya sendiri merasa cukup dengan informasi yang ada, tanpa perlu mencari tahu lagi hal-hal yang lebih mendalam, karena saya merasa telah mengenalnya melalui sebuah organisasi sosial.

Sehingga ketika orang tua bertanya bagaimana keadaan keluarganya mulai dari agama, ekonomi, latar belakang budaya dan sebagainya, saya blank! Anehnya, orang tua tidak mempermasalahkan. Maka ta’aruf pun terus berjalan selama sebulan. Ya, hanya sebulan.

Tepat empat minggu berikutnya, si dia beserta keluarganya silaturrahim ke rumah kami. Ada yang lucu dan sempat membuat shock. Jumlah yang datang lumayan banyak. Awalnya saya pikir hanya kedua orang tua dan ikhwannya saja yang akan datang, ternyata semua kakak-kakaknya yang hampir seluruhnya telah berkeluarga datang. Berseragam batik lengkap.

Tak hanya silaturrahim, mereka juga meng-khitbah saya. Dilanjutkan dengan menentukan waktu pernikahan. Saya kaget, apalagi orangtua. Secepat inikah sebuah proses ta’aruf itu? Padahal yang akan saya masuki nanti adalah sebuah gerbang pernikahan, yang akan saya jalani di sepanjang sisa usia saya.

Sempat mama dan papa kembali mempertanyakan kemantapan hati saya. “Teteh udah yakin dengan calon suami pilihan teteh ini?” tanya mama.

“Insya Allah,” jawab saya singkat.

“Nikah itu sekali untuk selamanya lho, jangan sampai nyesel nanti,” ujar mama lagi.

“Iya, Ma. Insya Allah nggak akan nyesel. Anne udah siap.”

Begitulah proses ta’aruf itu berjalan, hanya sebulan hingga menuju khitbah dan juga sebulan menuju akad.

Hal ini menjadi sebuah kejadian revolusioner dalam keluarga saya, karena budaya pacaran masih menjadi kebiasaan pasangan-pasangan yang ada di keluarga sebelum melangsungkan pernikahan. Ada yang 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun bahkan belasan tahun. Sementara saya dan suami menjalankan proses ta’aruf hanya 2 bulan hingga dilangsungkan akad nikah.

Banyak yang terheran-heran dengan proses ini. Tak sedikit yang berkomentar lucu, karena saya dan calon suami dianggap tidak serius seperti layaknya orang mau menikah. Bahkan dalam mempersiapkan prosesi akad pun kami seperti kurang serius dan tampak tidak sibuk mempersiapkannya.

Bagaimana tidak, saat itu saya tengah berjibaku dengan urusan pasien di klinik ko-ass, seminar dan ujian. Calon suami sedang berjuang menyelesaikan Tugas Akhir dan akan segera melaksanakan sidang akhir tepat sehari sebelum tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan. Terus terang saja, konsentrasi kami terpusat pada urusan kuliah masing-masing. Sampai-sampai cincin pernikahan pun hampir lupa disiapkan.

Sehari sebelum akad saya mendapat SMS dari calon suami, “Assalamu’alaikum. Teh Anne (begitu dia memanggil saya sebelum menikah), saya belum siapin cincin. Bisa nggak kita ketemu langsung di toko emas A buat nyocokin cincin buat besok?”

What! Saya kaget bukan main. Dia mengirimi saya SMS sekitar jam 4 sore. Hari itu adalah hari jum’at dimana biasanya toko-toko tutup lebih awal, dan besok kami akan menikah.

“Ketemu kapan? Sekarang?” tanya saya, pura-pura tulalit.

“Iya, sekarang. Kan nikahnya besok. Sebentar lagi tokonya tutup, trus saya mau sidang TA jam 7 malam. Jadi kita harus ketemu secepatnya.”

“Akhi aja yang beli cincinnya deh,” pinta saya.

“Saya kan nggak tahu seleranya ukhti seperti apa, trus kalo ukurannya gak pas gimana?”

Akhirnya saya segera menuju tempat yang dimaksud dengan ditemani seorang sahabat perempuan saya. Bertemu seorang ikhwan sendirian, meskipun yang insya Allah akan menjadi suami saya besok, saya tidak berani. Apalagi ternyata sejak kami berproses ta’aruf saya selalu canggung ketika berhadapan dengannya. Padahal sebelumnya kami sering bertemu dalam forum organisasi.

Alhamdulillah sebuah cincin sederhana yang menjadi salah satu mahar dalam akad nikah besok telah kami dapatkan. Kejadian ini saya rahasiakan pada orang tua, sebab kalau mereka sampai tahu kami hampir lupa urusan mahar, bisa-bisa membuat mereka geleng-geleng kepala.

Esoknya sebuah akad nikah sederhana dilaksanakan. Melalui sebuah proses ta’aruf singkat akhirnya kami resmi menjadi suami istri. Ada perasaan tidak percaya, tapi semua nyata. Saya berhasil menjalankan sebuah pernikahan tanpa pacaran, sesuatu yang semula dianggap mustahil oleh hampir seluruh anggota keluarga.



Ta’aruf Kedua: Sebuah Pembuktian

Perjalanan ta’aruf revolusioner ini tidak serta merta usai setelah saya menikah. Karena menikah melalui ta’aruf yang singkat menyisakan banyak pertanyaan tentang kepribadian lelaki yang menjadi suami saya ini. Sebuah ta’aruf lanjutan harus saya dan suami lakukan.

Disamping itu saya yakin, keluarga masih menyangsikan bentuk pernikahan yang saya jalankan.  Di luar sana, banyak kasus pernikahan di keluarga dan masyarakat yang hanya bertahan seumur jagung, padahal mereka telah berusaha saling menyesuaikan diri melalui proses bernama pacaran. Sedangkan pernikahan saya dan suami tanpa melewati proses penyesuaian sebelumnya.

Oleh karena itu perjuangan belum berakhir. Saya harus bisa menunjukkan bahwa segala sesuatu yang diawali dengan niat yang suci dan dijalankan sesuai aturan Allah, akan melahirkan nilai barakah. Barakah itu kami harapkan diberikan Allah tak hanya selama proses upacara pernikahan, namun terus mengalir disepanjang hayat kebersamaan saya dan suami.

Kadang keluarga masih tampak ragu akan perjalanan pernikahan saya, lalu kembali melontarkan tanya. Ketika masih proses ta’aruf pertama dulu saya maklum, tapi kini saya bingung. Kok bisa? Padahal saya dan suami sering menunjukkan kemesraan dihadapan mereka.

“Teh, bagaimana rasanya menikah dengan seseorang yang nggak begitu kenal sebelumnya? Memangnya bisa menikah tanpa cinta?” begitu salah satu pertanyaan seorang saudara sepupu yang terlontar pada saya.

“Siapa bilang kami menikah tanpa cinta?” tegas saya. “Memang di awal nikah saya belum merasakan ada cinta, melainkan sebentuk penyerahan diri sepenuhnya pada ketetapan Allah. Saya yakin kok, dia adalah jodoh yang Allah pilihkan, yang juga merupakan jawaban dari doa-doa saya.  Sebab sebelum akad nikah terjadi, saya nggak pernah berhenti berdoa agar Allah memberikan jalan yang terbaik. Dan ternyata inilah jalan terbaik yang saya dapatkan. Terbukti pernikahannya lancar tanpa hambatan yang berarti. Lalu tentang cinta nih. Percaya atau nggak, saya jatuh cinta pada suami usai sholat berjamaah pertama kalinya setelah akad.”

Saya berusaha menjelaskan semampu saya, dan berharap saudara sepupu saya yang bertanya serta anggota keluarga yang lain puas. Tak hanya puas, saya berharap mereka mengerti dan memahami bahwa pernikahan tanpa pacaran bisa terjadi, bahkan menunjukkan sebuah kesempurnaan ibadah  bagi yang menjalankannya.

Ya, pernikahan adalah ibadah. Alangkah sayangnya apabila niat yang suci ini tidak ditunjang oleh proses yang diridhai Allah. Adalah menjadi harapan saya dan suami, pernikahan yang kami bangun ini menjadi sebuah sarana da’wah kami di keluarga. Ta’aruf revolusioner yang menjadi sebuah pencerahan bagi siapapun yang sebelumnya meragukannya.

Pernikahan saya dan suami kini menginjak tahun ke delapan. Sebuah perjalanan penuh liku dan tak luput dari ujian. Seperti layaknya pernikahan pada umumnya, tak sedikit badai dan cobaan mencoba menggoyahkan ikatan pernikahan kami. Namun sebuah azzam yang sejak awal kami tancapkan, selalu mampu mengembalikan kami kepada mainstream yang kami bangun.

Menjaga sebuah pernikahan merupakan da’wah terbesar kami, apalagi dengan hadirnya buah hati, semakin memperkuat azzam kami untuk menorehkan catatan sejarah dengan mewujudkan sebuah pernikahan revolusioner yang berangkat dari ta’aruf revolusioner. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Ta’aruf Revolusioner"

  1. subhanallah teteh...say terharu sekali..mohon doanya agar say bisa mengikuti jejak teteh..annisa wafa.latifah@gmail.com

    ReplyDelete