Ia memang hidup di masa-masa peperangan di abad ke 20. Perang dunia kedua dan beberapa peperangan di Eropa membesarkan naluri kepemimpinannya, di luar insting seninya yang memang sudah ada dan berkembang.
Banyak yang tahu ungkapan Malraux, tapi tak banyak yang sanggup melaksanakannya. Seringkali yang terjadi malah sebaliknya, “Memimpin itu dilayani, tidak lebih dan tidak kurang.”
Praktiknya, ingin dilayani itu menjadi semakin lumrah kita jumpai di masa-masa sekarang ini. Oleh karena itu tidak jarang banyak kekacauan terjadi di berbagai wilayah. Semua ingin dilayani.
Maka bila pemimpin itu adalah pelayan maka pemimpin di sebuah desa sebenarnya adalah pelayan bagi warga desanya. Ia harus menyediakan layanan yang bermutu bagi warganya.
Begitu juga dalam lingkungan keluarga. Bila seorang suami adalah pemimpin, maka ia adalah pelayan bagi istri, dan anak-anaknya. Ia harus melayani kebutuhan yang diperlukan oleh keluarganya.
Bila sang Ayah melayani istrinya, sang Istri melayani (bertanggung jawab terhadap) kehormatan dan harta suaminya, pemuda melayani (bertanggung jawab terhadap) dirinya, pastilah semua akan indah.
Semua sibuk melayani, bukan sibuk minta dilayani. Kualitas pemimpin ditentukan berdasarkan bukan atas titel, dan kesuksesan pribadinya, tapi atas kualitas hasil layanan kepada yang ada di bawahnya.
Sahabatku jauh, sebelum Malraux menyampaikan ungkapannya, 14 abad sebelumnya Rasululah saw sudah mengajarkan, “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.” (HR. Abu Na’im)
Maka, bagaimana kualitas pelayananmu? Wallahu a’lam
0 Response to "Siap Jadi Pemimpin atau Pelayan?"
Post a Comment