Libya memiliki sejarah peradaban cukup panjang. Ia bermula dari zaman pra sejarah hingga bergeser ke zaman romawi, hingga kemudian Islam mengambil alih lewat cahayanya. Dulu kala, ajaran paganisme amat membumi di daerah Libya Kuno. Dewa-dewa kesuburan menjadi sesembahan rakyat kala itu. Mereka menilai tidak ada Tuhan yang patut disembah selain para dewa-dewi itu.
Ketika peralihan bergeser ke zaman Yunani, wilayah Libya Kuno juga tidak mengalami perubahan signifikan. Libya masih kental didominasi unsur mistis. Warga mempercayai ada kekuatan alam penurun hujan, petir, dan panas. Ini wajar karena sepanjang usianya kala itu, warga Libya banyak mengalami masa pendudukan peradaban paganistik dari luar mulai bangsa Phoenician, Carthaginian, Romawi, Yunani, Vandals, hingga Kerajaan Byzantium.
Anna Leone, dalam tulisannya, Christianity and paganism: North Africa, yang diterbitkan dalam The Cambridge History of Christianty melihat hal serupa. Ia beranggapan dominasi paganistik adalah musuh utama bagi agama Kristen dalam menyebarkan fahamnya.
Anna Leon juga menjelaskan bahwa difusi Kristen di Afrika Utara ditandai dengan interaksi yang cukup kuat dan kompleks antara masyarakat penganut paganisme dengan warga Kristen. Rupanya, hal ini yang sedikit banyak mengakibatkan benih-benih perpecahan di tubuh Gereja akibat infltrasi paganisme yang semakin meluas.
Wilayah Tripolitania (cikal bakal Tripoli), saat itu sangat kental akan pengaruh Punic di kota-kota utama Tripolitania seperti Sabratha dan Leptis Magna. Punic sendiri adalah kelompok masyarakat berbahasa Semit di bagian Afrika Utara hasil dari perpaduan Bangsa Berber dan Funisia (kini disebut Tunisia).
Belum usai atas invasi ajaran “satanis” yang begitu membelenggu. Warga Libya masih harus mengalami cobaan ketika penindasan massif digencarkan oleh Kekaisaran Bizantium atau kekaisaran Romawi Timur yang berada dibawah naungan Kekaisaran Romawi Raya.
Selama keberadaannya, Bizantium merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan basis militer yang sangat kuat. Tak jarang, cengkeraman Bizantium menimbulkan banyak pertikaian sesama manusia. Mereka terkenal gemar menindas, menjajah, dan mengeksploitasi kelompok-kelompok yang hidup kala itu. Kaum Kristiani adalah salah satu kelompok yang merasakan kekejian ketika Bizantium menguasai Afrika Utara.
Peralihan amat terasa bagi masyarakat Libya, justru hadir ketika Islam masuk ke daratan Utara Afrika. Adalah Amr bin Ash dan bala tentara Islam di masa pemerintahan Kholifah Umar Bin Khattab yang kemudian berhasil masuk ke dalam teritori Libya lewat Cyrenaica, sebuah daerah di Timur pantai Mediterania Libya, untuk mengakhiri kekejian Bizantium. Bahkan mitos pagan yang meluluhlantahkan Kristen tak berkutik ketika cahaya Islam datang lewat ajarah tauhid.
Islam pun diterima dengan terbuka oleh masyarakat Libya kala itu. Mereka melihat ada harapan baru seiring penaklukan Bizantium oleh kaum muslimin di Bumi Sahara. Bahkan umat Kristiani pun sama sekali tidak khawatir melihat kedatangan Islam pertama kali.
Para pendeta-pendeta Kristen mengucapkan rasa terimakasih atas kejayaan Islam yang berupaya membebaskan mereka dari kekejaman Bizantium. Karena saat itu, Islam hadir bukan dalam rangka melanjutkan tongkat estafet kejahiliyahan, namun semata-mata demi mengatur tata masyarakat secara adil.
Hingga seiring waktu setelah ekspedisi pertama Amr Bin Ash dan diikuti oleh Uqba bin Nafi, ajaran Islam semakin mendapat perhatian tersendiri warga Libya. Mereka berbondong-bondong untuk bersyahadat dan memeluk agama Allah secara sukarela, bahkan Suku Berbar yang tergolong hidup nomaden pun ikut menjadi bagian dari umant muslim.
Islam bagi mereka adalah konsep paripurna. Ia tidak mengajarkan pemaksaan. Ia tidak membumikan penjajahan. Islam membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia dan mengarahkan masyarakat mengidentifikai siapakah Rabb mereka sesungguhnya. Ini pun belum dihitung tingkat kesuburan ekonomi rakyat dan kedamaian sejati dibawah naungan syariat Allahuta’la. (Islampos)
0 Response to "Pendeta Kristen Berterima Kasih Ketika Amr Bin Ash Masuk Libya"
Post a Comment