Apalagi hal ini dimanfaatkan untuk memberikan stigma buruk terhadap kaum sunni dengan tujuan menghilangkan andil mereka dalam bidang politik dan kemasyarakatan sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini di Irak.
Apa yang terjadi di Irak patut dijadikan pelajaran, penggelembungan manipulatif persentase jumlah kaum syi’ah Irak dan serangan tajam terhadap kaum sunni yang dibumbui dengan penyebaran wacana bahwa kaum sunni adalah sekutu utama rezim Sadam, pihak yang harus bertanggungjawab dan memikul segala rentetan kejahatan dan citra buruk rezim Sadam Husein.
Semua ini merupakan pintu masuk kaum syi’ah Irak yang didukung oleh Amerika untuk melakukan revolusi terhadap eksistensi kaum sunni. Yang berakibat pada minimnya jatah kursi menteri dan pemegang kebijakan dari kaum sunni di pemerintahan Irak.Semuanya berasal dari satu dasar yang keliru, bahwa jumlah kaum syi’ah di Irak jauh lebih besar dari jumlah pengikut sunni.
Bahrain adalah negara teluk yang luasnya sangat kecil tetapi rentetan kejadian besar di sana patut untuk dicermati lebih lanjut. Eksistensi kaum syi’ah telah memainkan peran yang sangat berbahaya di kawasan ini. Label “mayoritas (aktsariyah)” kaum syi’ah di Bahrain ikut memberi andil terhadap gerakan sporadis serta anarkis yang berujung kepada tuntutan untuk menghapus sistem monarki yang berlaku dengan model pemerintahan Iran. Semuanya berasal dari asumsi bahwa kaum syi’ah di Bahrain adalah mayoritas, yang secara politis digunakan sebagai “jualan” untuk memperebutkan tahta kekuasaan di negara tersebut.
Faktor inilah yang kemudian menarik untuk didiskusikan dalam artikel ini dengan memaparkan perihal eksistensi kaum syi’ah Bahrain, asal mula masuknya faham syi’ah, gerakan dan organisasi syi’ah dan hubungannya dengan Iran, pengaruh hubungan bilateral Bahrain – Iran terhadap eksistensi kaum syi’ah Bahrain.
Kilas balik sejarah
Pada mulanya, semua daerah yang berada di pesisir barat kawasan teluk bernama “Bahrain”, atau lebih tepatnya semua daerah yang berada antara kota Masqat (Muskat) dan Basra. Selanjutnya, nama ini mengalami pergeseran, sehingga Bahrain hanya digunakan sebagai nama negara yang terletak di jantung teluk Arab. Sebelum nama Bahrain daerah ini bernama “Awal” nama sebuah berhala milik dua bersaudara Bakr dan Taglib putra Wail. Karena Bani Wail bersama Bani Abdi Qais adalah penduduk yang menetap di daerah ini pada kurun waktu tersebut.
Sebelum datangnya Islam hingga awal masa kenabian, Bahrain yang berada di daerah pesisir antara Muskat dan Basrah adalah jajahan Persia sejak tahun 615 M, mayoritas tampuk pemerintahan diserahkan kepada kalangan Arab, dari bani Wail dan Tamim, sementara penduduknya terdiri dari kaum Yahudi, Majusi dan Nasrani di samping Arab Najed dari bani Abdi Qais, Wail dan Tamim yang telah disebutkan di atas.
Tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengutus sahabat yang mulia al-‘Ala ibn al-Hadhramiy ke daerah ini sebagai duta dan penyeru kepada Islam, sehingga banyak penduduknya masuk ke dalam Islam. Pada saat Rasulullah wafat, sebagian penduduknya murtad, maka diutuslah kembali sahabat al-‘Ala ibn al-Hadhramiy bersama al-Jaruud Ibn Abd al-Qais kemudian diperkuat oleh Khalid Ibn al-Walid –Radhiyallahu ’anhum- dengan misi mengembalikan mereka ke dalam Islam, dan Islam berhasil bersemai kembali di Bahrain.
Bahrain tetap eksis dalam pemerintahan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin, dinasti Bani Umayyah kemudian dilanjutkan oleh dinasti Bani Abbasiyah, meskipun dalam perjalanannya mengalami beberapa usaha sabotase dan makar yang diprovokasi oleh kaum Khawarij, Shahib al-Zanj (separatis dari kaum Alawiyyin) dan Qaramithah (sekte ekstrim syi’ah bathiniyyah).
Sejak dahulu, kaum Imperialis telah menjadikan Bahrain sebagai incaran, dikarenakan letaknya yang sangat strategis sebagai jalur para nelayan pemburu mutiara serta kekayaan agraris yang melimpah.
Pada dekade berikutnya, daerah ini takluk pada penjajah Oman dan Portugal. Faktor penyebab eksisnya imperialisme barat ke Bahrain, selain dikarenakan kuatnya pengaruh kaum penjajah juga dikarenakan menurunnya kekuatan khilafah Utsmaniyah yang terlalu sibuk mengurusi permasalahan-permasalahan internal.
Kaum Syi’ah Shafawiyah yang memerintah Iran sejak 905 H (1500 M), merasa khawatir dan terganggu dengan meluasnya ajaran Islam seiring dengan meluasnya wilayah kekuasan khilafah Utsmaniyah di barat dan timur. Maka mulailah mereka merancang strategi untuk menghancurkan kaum Utsmaniyyin, dengan cara menikam dari belakang, melakukan konspirasi terselubung, khususnya pada masa pemerintahan Shah Ismail al-Shafawiy. Meletuslah perang antara kedua kubu yang berakhir dengan kekalahan tragis di pihak pengikut Shafawiy. Tetapi konspirasi ini tidak berhenti di sini, Shah Ismail al-Shafawiy mulai menjalin hubungan dengan negara-negara barat untuk “menghabisi” kekuatan khilafah Utsmaniyah, salah satunya kesepakatan yang digalang bersama Afonso de Albuquerque penguasa Portugal di India, yang berintikan 4 poin penting:
1. Angkatan laut Portugal akan membantu misi Iran untuk mengusai Bahrain dan al-Qathif.
2. Kerjasama Portugal dan Iran dalam meredam gerakan separatis di Balochistan dan Mukran (bagian tenggara Iran).
3. Bersatu dalam menghadapi Daulah Utsmaniyah.
4. Pihak Iran harus mengalihkan perhatian terhadap Selat Hormuz (selat yang memisahkan Iran dan UEA, terletak di antara teluk Oman dan teluk Persia, pent) dan menyerahkan pengusaannya kepada pemerintah Portugal serta tidak mencampuri urusan internal selat ini.
Hasilnya, Portugal berhasil menduduki Bahrain sejak 1521 hingga 1602 M, kemudian kembali dikuasai secara berperiodik oleh Iran hingga tahun 1783 M, kemudian didepak dan diusir oleh kaum Arab ‘Utbah yang merupakan asal muasal keluarga Alu Khalifah (penguasa sekarang), yang bekerjasama dalam meminta perlindungan dari pemerintah Inggris hingga deklarasi kemerdekaannya pada tahun 1971 M.
Penduduk Bahrain
Tidak dapat ditutupi, salah satu cara gerakan syi’ah untuk menunjukkan eksistensi politisnya adalah dengan memanipulasi jumlah mereka di setiap negara. Salah satunya adalah Bahrain, yang sebagian mereka mengklaim bahwa persentasi pengikut syi’ah di negara ini baik dari keturunan Arab ataupun Iran mencapai kisaran 60 % sampai dengan 65 % dari jumlah keseluruhan penduduk.
Laporan yang dikeluarkan oleh Ibn Khaldun Center for Development Studies berkaitan dengan permasalahan minoritas pada tahun 1993 menyebutkan bahwa penduduk Bahrain terbagi menjadi tiga kelompok: “Syi’ah Arab berjumlah 45% dari jumlah keseluruhan penduduk, Arab sunni berkisar 45 %, dan penduduk berdarah Iran berjumlah 8 %, sepertiganya adalah sunni dan duapertiganya adalah syi’ah. Kesimpulan akhirnya adalah bahwa persentasi keseluruhan pengikut syi’ah yang berdarah Arab dan Iran adalah 52%, dan persentasi pengikut Sunni Arab dan keturunan Iran Balochistan berjumlah 48%.
Pada tahun 1999 Ibn Khaldun Center meliris data terbaru yang menyebutkan pertambahan signifikan jumlah pengikut syi’ah hingga 70%. Data ini patut dipertanyakan kevalidannya karena tidak mewakili realitas dan fakta hakiki dari jumlah penduduk Bahrain yang sebenarnya. Apalagi data ini tidak didukung dengan bukti-bukti konkrit yang dapat menjelaskan faktor pertambahan tersebut dalam kurun waktu 6 tahun dari angka 52% hingga mencapai 70%, kecuali satu alasan, bertambahnya angka kelahiran di kalangan syi’ah dan semakin bertambahnya jumlah lelaki syi’ah yang berpoligami. Kalaupun alasan ini benar, maka itu tidak lepas dari intervensi dan dukungan moril dan materil dari para pemimpin kelompok syi’ah yang menjamin adanya alokasi khusus yang bersumber dari harta al-khumus (harta yang wajib dizakatkan yang jumlahnya seperlima, menurut ajaran syi’ah) . Yang mengherankan, Ibn Khaldun Center juga melakukan hal yang sama (penggelembungan jumlah pengikut syi’ah) di Irak.
DR. Khalid al-Izzy dalam bukunya “al-Khalij al-Arabiy fi Madhihi wa Hadhirihi” menukil sebuah seruan yang dilontarkan oleh sebuah koran Kuwait berbasis politik tertanggal 5/12/1971 yang pada intinya berisi seruan kepada seluruh rakyat dan pemerintahan negara Arab untuk menghambat dan mengantisipasi bahaya masuknya imigran gelap asal Iran di negara-negara Arab. Koran itu juga menyebutkan bahwa para imigran gelap Iran telah sampai pada antrian kelima, dan patut untuk diwaspadai apalagi sejak takluknya beberapa pulau di Arab (Emirat) ke tangan penjajah. Koran ini juga menyifatkan bahwa gerakan imigran gelap Iran lebih berbahaya dari pada imigran Yahudi (Zionis) ke Palestina yang menjadi penyebab terampasnya sebagian wilayah tersebut ke tangan Yahudi”
Sebelumnya, dalam sidang Liga Arab yang ke-41 tertanggal 31/3/1964 membahas fenomena hijrahnya para imigran asing ke beberapa negara teluk, dan meminta setiap negara yang dimaksud untuk mendata sekaligus mempelajari dampak negatif yang ditimbulkan dari fenomena tersebut.
Kesimpulannya, pertambahan jumlah pengikut syi’ah di kawasan teluk secara umum dan di Bahrain secara khusus disebabkan tingginya jumlah imigran Iran yang masuk ke negara-negara teluk terutama pada masa pemerintahan Inggris serta adanya kelalaian rakyat dan sikap permisif pemimpin negara teluk akan hal ini. Bukti ini diperkuat laporan atau tulisan sebagian orang yang pernah berkunjung ke Bahrain di awal abad ini yang menyifatkan bahwa keberadaan orang Iran di Bahrain masuk dalam kategori pendatang asing.
Amin al-Rayhaniy dalam bukunya “Muluk al-Arab” yang terbit tahun 1921 M, halaman 721, menyebutkan:
“Bahwa meskipun luas Bahrain sangat kecil, tetapi negara ini dipadati oleh dua ratu ribu penduduk Arab dan non Arab yang berasal dari timur dan barat. Tetapi asal, hukum, bahasa dan ruhnya adalah bergaris Arab, karena mayoritas penduduknya adalah orang Arab asli yang berasal dari Najed. Penduduknya terbagi menjadi pengikut madzhab Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Ja’fari. Walaupun pengikut madzhab Ja’fari keberadaannya seperti orang India yang dikategorikan sebagai pendatang asing karena asal mereka dari Iran atau berdarah Iran”.
Hasil pemilu tahun 2002 pada tingkat Baladiyah (daerah) pengikut syi’ah berhasil meraih 25 kursi dari 50 kursi yang diperebutkan. Adapun pada tingkat parlemen, mereka berhasil meraih 13 kursi dari 40 kursi yang diperebutkan. Fakta ini dapat memberikan gambaran umum, tentang jumlah hakiki pengikut syi’ah di Bahrain.
Meskipun di tingkat parlemen, dikarenakan sebagian organisasi berbasis syi’ah memboikot pemilu dapat dijadikan sebagai alasan kecilnya jumlah kursi yang mereka raih (sepertiga dari jumlah kursi yang diperebutkan). Tapi di tingkat daerah (baladiyah) yang diikuti oleh seluruh lapisan pengikut syi’ah, mereka hanya mampu meraih kurang dari setengah. Maka fakta ini seharusnya menggugat “klaim mayoritas mutlak” yang mereka dengung-dengungkan selama ini.
Pengaruh hubungan bilateral Bahrain – Iran terhadap eksistensi syi’ah di Bahrain
Sebelum membahas masalah ini, ada dua fakta yang harus dikemukakan:
Pertama: Setelah meletusnya revolusi Khomeini tahun 1979 M, Iran menjadi kiblat kaum syi’ah di seluruh dunia. Iran dijadikan sebagai acuan dan referensi utama setiap gerakan syi’ah di dunia. Meskipun hal ini tidak menafikan adanya beberapa pihak dan gerakan oposisi (penentang) dari kalangan syi’ah sendiri yang berseberangan dengan Iran, disebabkan persaingan dengan Khomeini dalam merebut tahta kepemimpinan, yang kemudian menjadi pemicu utama terpecahnya kubu Mujahidin Khalq Iran (pendukung utama revolusi Khomeini) menjadi beberapa gerakan dan tokoh syi’ah. Dan warna gerakan syi’ah yang berkiblat pada Iran tidaklah terpatok pada sosok “Pemerintahan Khomeini”, tetapi sebenarnya terpusat kepada “Pemerintahan Dinasti Shafawiyah” yang telah berkuasa di Iran sejak tahun 906 H (1500 M).
Kedua: Peran imigran syi’ah di setiap negara, terutama di kawasan teluk, baik dan tidaknya sangat bergantung kepada sejauh mana hubungan negara tersebut dengan Iran. Dan para imigran ini telah menjadi “agen” Iran dalam merealisasikan agenda Iran di negara tersebut.
Dalam konteks ini, hubungan Iran-Bahrain di sebagian besar periode hubungan keduanya dipenuhi dengan banyak keraguan dan tanda tanya, pemicunya adalah “kerakusan” dan “klaim” bahwa kawasan ini termasuk dalam kawasan Iran. Buktinya, pemerintah Iran tidak mengakui legalitas paspor yang dikeluarkan oleh otoritas Bahrain. Bahkan mereka meyakini bahwa Bahrain adalah “warisan” Iran hari ini, karena wilayah ini merupakan salah satu wilayah kerajaan Persia sejak dahulu.
Misi “kekuasaan” ini tidak hanya berlaku pada Bahrain, bahkan sejak tahun 1971 dan 1992, Iran telah merampas 3 pulau (Thanab al-Kubro/Greater Tunb, Thanab al-Sughro/Lesser Tunb dan Abu Musa) yang masuk dalam wilayah Uni Emirat Arab dan hingga hari ini enggan melepaskannya.
Fakta (pandangan Iran terhadap kawasan teluk) ini diperkuat oleh sebuah orasi yang pernah disampaikan oleh Haji Mirza Aghasi, Perdana Menteri Iran tahun 1944, bahwa: “Sesungguhnya perasaan yang bergejolak pada semua “generasi” pemerintahan Persia adalah seluruh daerah yang terletak antara Shatt al-Arab (Pantai Arab) sampai ke kota Muskat beserta seluruh pulau dan pelabuhannya tanpa terkecuali adalah milik kerajaan Persia”.
Fakta di atas bertolak belakang dengan apa yang dipaparkan oleh Louis Massignon (1962), seorang orientalis Prancis: “Dari sisi jarak letak Bahrain lebih dekat ke kota al-Ahsa kurang lebih sejauh 24 km, dibandingkan jaraknya ke Iran sekitar 200 km”.
Secara periodik, Iran pernah memerintah Bahrain sejak tahun 1602 hingga mereka diusir oleh Alu Khalifah pada tahun pada tahun 1783 M. Dan Dinasti Shafawiy menjadi bukti salah satu periode “kerakusan Iran” terhadap kawasan ini, kemudian “tradisi” ini diwarisi oleh Dinasti Bahlawy. Muhammad Ridha Bahlawy seorang Shah Iran senantiasa menebarkan ancaman terhadap Bahrain dan menganggapnya salah satu di antara kawasan kepulauan Iran. Tetapi dalam perjalanannya, Inggris yang pernah menduduki Iran berhasil melumpuhkan strategi ini, dengan imbalan Inggris tidak akan mengusik ketiga pulau Emirat yang diduduki oleh Iran. Hingga akhirnya, pada tahun 1971 M hasil referendum rakyat Bahrain yang mayoritasnya memilih untuk merdeka dan memisahkan diri.
Bersamaan dengan bergejolaknya revolusi Khomeini tahun 1979, Iran kembali menghidupkan bahkan meng”ekspor” semangat revolusi yang berintikan penyebaran faham dan mazdhab Iran dengan kekuatan. Hasilnya, perang yang berkepanjangan dengan Irak selama 8 tahun yang efek negatifnya juga dirasakan oleh negara-negara kawasan teluk. Khomeini pernah berkata: “Kaum muslimin pernah diperintah oleh orang Arab, orang Turki bahkan oleh etnis Kurdi, maka seharusnya orang Persia juga mampu, karena sejarah dan peradabannya telah eksis jauh sebelum mereka”.
Kaum syi’ah Bahrain terbagi menjadi dua kelompok di awal revolusi Iran:
Kelompok pertama: Kelompok kecil, yang menuntut sejumlah perubahan dan perbaikan akan eksistensi syi’ah.
Kelompok kedua: Kelompok besar, yang menuntut reformasi pemerintahan dari bentuk monarki ke bentuk negara republik seperti yang berada di Iran.
Richard Dekmejian menyebutkan bahwa karena faktor “keturunan Persia” , kelompok syi’ah merasa terpinggirkan di Bahrain. Oleh sebab itu, mereka meminta bantuan Iran. Maka Khomeini berusaha memprovokasi pengikut syi’ah – (bertentangan dengan usaha Shah Iran yang hanya menginginkan masuknya Bahrain dalam kekuasaan Iran) – untuk melengserkan Alu Khalifah dari tampuk kekuasaan. Dan dibentuklah “al-Jabhah al-Islamiyah li Tahrir al-Bahrain” (Front Islam Untuk Pembebasan Bahrain) sebagai wadah utama gerakan ini. Salah satu tokohnya yang bernama Hadi al-Modarresi pernah diekstradisi oleh pemerintah Bahrain, yang kemudian memprovokasi gerakan radikal di kalangan syi’ah. Ia juga pernah dituduh terlibat dan mempunyai peran penting dalam usaha kudeta di Bahrain tahun 1981.
Kaum syiah Bahrain merasa bangga dengan peran mereka dalam merealisasikan kemerdekaan Bahrain tahun 1971 yang mereka jadikan sebagai bukti konkrit akan loyalitas mereka kepada negara mereka dan bukan sebagai antek Iran, sebagaimana yang disuarakan oleh seorang tokoh oposisi syiah Abdul Wahhab Husain. Tetapi hal yang perlu dicatat, bahwasanya sikap ini (loyalitas kepada Bahrain) lahir akibat adanya pertarungan dan permusuhan antara tokoh agama syi’ah (Imam) dengan para shah (penguasa/raja Iran). Maka secara logika, mereka tidak mungkin menuntut dimasukkannya Bahrain ke dalam kekuasaan Iran di bawah pemerintahan shah, sementara bersamaan dengan itu mereka berusaha untuk menggulingkan kekuasaan shah. Apalagi pelaksanaan referendum (Bahrain) dilakukan semasa Iran masih dikuasai oleh para Shah, delapan tahun sebelum terjadinya revolusi Khomeini yang di kalangan syi’ah di seluruh dunia dijadikan sebagai model dan panutan, yang selanjutnya (semangat revolusi) menjalar dan menyulut semangat kaum syi’ah di kawasan teluk secara umum dan di Bahrain secara khusus untuk kembali menyuarakan tuntutan agar Bahrain tunduk kepada Iran yang dijadikan sebagai kiblat gerakan syi’ah. Dan (semangat) itu, diwujudkan dalam bentuk tindakan anarkis dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok syi’ah Bahrain terutama di tahun 80-an dan di awal tahun 90-an. Dimana poster-poster para tokoh syi’ah Iran (Khomeini) dan Hizbullah Libanon pro Iran, menjadi sesuatu yang biasa dan menjadi pemandangan rutin di setiap aktivitas dan demonstrasi kaum syi’ah di Bahrain.
Sejak awal, dan khususnya setelah meletusnya revolusi Iran tahun 1978 yang menjadi momentum awal terbentuknya paradigma ekspor semangat revolusi (fikrah tashdir al-Tsaurah) ke negara lain , gerakan perlawanan kaum syi’ah Bahrain telah merapatkan barisan dengan membentuk sebuah organisasi pertama yang mewadahi semangat ini yang mereka namakan “al-Jabhah al-Islamiyah li Tahrir al-Bahrain” (Front Islam Untuk Pembebasan Bahrain) yang didirikan pada bulan Sepetember, beberapa bulan setelah meletusnya revolusi Iran. Kemudian disusul dengan berdirinya “Harakah Ahrar al-Bahrain al-Islamiyah” (Gerakan Pembebasan al-Bahrain al-Islamiyah) yang berpusat di London. Kemudian muncullah “Hizbullah al-Bahrain” yang dipandang oleh pemerintah Bahrain pada awalnya sebagai salah satu cabang gerakan organisasi “Hizbullah” yang merupakan wadah gerakan politik kaum syi’ah pro revolusi di luar Iran .
Pada tahun 1999, setelah terjadinya beberapa peristiwa bentrokan berdarah antara kaum syi’ah dan pihak berkuasa, dan yang terparah pada tahun 1994, situasi di Bahrain menjadi relatif lebih kondusif, ditandai dengan penyerahan tampuk kekuasaan kepada Syeik Hamd Ibn Isa sebagai pengganti pendahulunya Isa Ibn Salman. Bahrain memasuki era baru, kondusi dalam negeri yang lebih aman, amnesti yang diberikan kepada para tahanan politik dan dibukanya kran kebebasan. Kaum syi’ah memanfaatkan situasi ini, yang utama adalah dengan membentuk organisasi-organisasi massa yang hakikatnya memainkan peran politik, dikarenakan adanya larangan membentuk partai politik di Bahrain.
Hal yang patut digarisbawahi, meskipun mayoritas syi’ah Bahrain adalah pro Iran, tetapi ada beberapa simpul-simpul penting syi’ah Bahrain yang anti Iran dan menjadi loyalis penuh pemerintah Bahrain.
Organisasi-organisasi Syi’ah di Bahrain
1. Jam’iyyah al-Wifaq al-Wathaniy al-Islamiyyah:
Organisasi ini adalah perpanjangan tangan kelompok oposisi “Harakah Ahrar al-Bahrain” yang berada di luar Bahrain. Organisasi ini dikomandoi oleh Ali Salman, didampingi oleh Hasan Musyaymi’ sebagai wakil. Ia merupakan perkumpulan terbesar kaum syi’ah Bahrain. Provokator terdepan beberapa bentrokan dengan pihak berkuasa antara tahun 1994 – 1998. Organisasi ini juga yang menyerukan pemboikotan pemilu parlemen Bahrain tahun 2002, padahal keterwakilan kelompok syi’ah di parlemen merupakan salah satu tuntutan utama gerakan ini.
Dalam sebuah konfrensi pers, pemimpin organisasi ini menafikan adanya hubungan antara gerakan rakyat Bahrain dengan pemerintah Iran. Bahkan dalam muktamar pertama organisasi ini, ia mengatakan bahwa organisasi ini bekerja sesuai dengan aturan pemerintah Bahrain, yang mengisyaratkan loyalitas kaum syi’ah kepada pihak berkuasa.
Hal ini tidak aneh, karena Iran telah merubah strategi politik luar negerinya dari Tasdir al-Tsaurah (ekspor semangat revolusi) menjadi al-Infitah al-Tsaqafiy (keterbukaan budaya). Yang salah satu produknya adalah seruan cinta tanah air dan pembelaan terhadap hak-hak warga negara yang terintimidasi oleh pihak lain.
2. Jam’iyyah al-‘Amal al-Islamiy
Gerakan syi’ah bersifat terbatas, yang merupakan perpanjangan tangan dari gerakan “al-Jabhah al-Islamiyah li Tahrir al-Bahrain”. Dipimpin oleh Muhammad Ali al-Mahfudz, seorang yang kerap melancarkan serangan negatif kepada organisasi Sunni (seperti: al-Minbar, al-syuro’ dan al-Ashalah) sebagai salah satu cara untuk merealisasikan tujuannya. Organisasi ini juga terlibat dalam pemboikotan pemilu parlemen tahun 2002.
3. Jam’iyyah al-Rabithah al-Islamiyyah
Kelompok syi’ah pro pemerintah. Kelompok ini berhasil mendapatkan dua kursi pada pemilu parlemen yang terakhir.
4. Jam’iyyah Ahl al-Bayt
Merupakan gerakan syi’ah. Kantor baru gerakan ini diresmikan pada tanggal 20/5/2003 di kota al-Muharraq. Diantara tokohnya adalah Abdullah Haydar dan Muhammad al-Firdausy. Memiliki situs resmi Ahlul-Bayt.net.
5. Jam’iyyah al-Risalah al-Islamiyyah
Gerakan ini diwarnai oleh al-Modarresi dan al-Syairazi. Telah mengadakan muktamar pertama untuk aktifis perempuan gerakan ini pada bulan Oktober 2002, yang pada saat berlansungnya muktamar ini melakukan telekonferensi dengan Hadi al-Modarresi, tokoh pendiri dan paling berpengaruh dalam gerakan ini sejak tahun 70-an di Bahrain. Organisasi ini pernah meluarkan kecaman keras terhadap organisasi Mujahidin Khalq yang menahan syekh Mohammad Taqi al-Modarresi salah satu tokoh rujukan syi’ah ketika ia berada Irak. Bersama dengan Jam’iyyah Ahl al-Bayt, organisasi ini juga melakukan usaha pengumpulan dana bantuan untuk Irak pada saat terjadinya invasi Amerika di negara tersebut.
6. Jam’iyyah al-Taw’iyah al-Islamiyyah
Dipimpin oleh Abdul Wahab Husain. Merupakan sayap Jam’iyyah al-Wifaq dalam bidang budaya dan kemasyarakatan. Dimana Jam’iyyah al-Wifaq lebih fokus pada aktifitas politik. Organisasi ini merupakan organisasi dakwah yang pada akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tahun 1982.
Disamping mendirikan beberapa organisasi yang berperan di bidang politik, kebudayaan dan kemasyarakatan. Kaum syi’ah Bahrain juga memainkan peran penting lainnya, diantaranya:
1. Mendirikan dan mencetak koran harian “al-Wasat”. Redaksinya dipimpin oleh Mansoor al-Jamri seorang tokoh oposisi syi’ah yang merupakan putra ulama syi’ah terkemuka Abdul Amir al-Jamri.
2. Mengupayakan keikutsertaan pemerintah dalam perayaan-perayaan syi’ah seperti: perayaan Asyura dan Maatim (perkumpulan untuk menangisi kematian seorang tokoh yang dihormati, pent), berupa bantuan dana dan kemudahan bagi peserta luar yang berasal dari Iran, Irak dan Suriah.
3. Kembalinya beberapa tokoh oposisi syi’ah ke Bahrain dan dibolehkannya mereka untuk melakukan aktifitas normal, seperti: al-Jamri, al-‘Alawi dan Ali salman.
4. Keputusan resmi pemerintah tentang diajarkannya mazhab syi’ah Ja’fari oleh guru-guru yang ditunjuk di setiap jenjang pendidikan.
5. Memperkuat hubungan Bahrain dengan lembaga-lembaga syi’ah di luar negeri seperti Institut al-Khoei yang berpusat di London yang memfasilitasi sebuah muktamar yang bertajuk “Taqrib baina al-syi’ah wa al-sunnah” (mendekatkan jarak antara syi’ah dan sunni) di Bahrain pada bulan September 2003.
Pemilu Daerah dan Parlemen
Dalam era keterbukaan di Bahrain sejak tahun 1999, telah dilakukan pemilu baik pada tingkatan perwakilan daerah (DPRD) pada tanggal 9/5/2002, dan pada tingkatan parlemen (DPR) pada tahun 24/10/2002. Hasilnya, pada tingkat daerah kaum sunni berhasil merebut 27 kursi dari 50 jumlah kusi yang diperebutkan, sedangkan kaum syi’ah berhasil meraih sisanya 23 kursi. Pada pemilu parlemen, dimana sebagian organisasi syi’ah memboikot pemilu ini dengan alasan beberapa usulan mereka ditolak oleh pemerintah, diantaranya: amendemen beberapa aturan yang membatasi wewenang badan legislatif dan penunjukan badan khusus yang mempunyai wewenang setara dengan badan legislatif tersebut, pencabutan larangan terhadap organisasi-organisasi massa untuk melakukan aktifitas politik praktis, yang dikemudian hari tuntutan yang kedua ini diakomodir oleh raja Bahrain dengan dibolehkannya setiap ormas mencalonkan dua calon dan terlibat aktif dalam dunia politik.
Hasilnya, di majlis perwakilan pihak sunni berhasil meraih 27 kursi dari 40 kursi yang diperebutkan. Sementara pihak syi’ah berhasil meraih 13 kursi. Sementara di majlis khusus, dari 40 kursi yang disediakan, 38 kursi dibagi secara adil antara sunni dan syi’ah, sementara 2 kursi yang tersisa masing-masig diberikan kepada perwakilan kaum Yahudi dan Nashrani. Di sisi lain, setelah pemilu parlemen, terbentuklah susunan kabinet pemerintahan dengan diakomodirnya jatah menteri untuk beberapa tokoh dari kalangan syi’ah, diantaranya:
1. Majid al-Alawi sebagai menteri tenaga kerja dan urusan sosial.
2. Muhammad Ali al-Satari sebagai menteri urusan daerah, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur badan wakaf “al-Ja’fariyah”.
3. Khalil Hasan sebagai menteri kesehatan.
4. Abdul Husein Mirza, terpilih menjadi menteri pertama dalam kabinet Bahrain yang berdarah Iran.
Daftar Rujukan
1. al-Ushuliyyah fi al-‘Alam al-‘Arabiy, oleh: Richard Dekmejian.
2. Wa Jaa Dawr al-Majus, oleh: DR. Abdullah al-Ghuraib.
3. Wail li al-‘Arab: Maghza al-Taqaarub al-Iraniy ma’a al-Gharb wa al-‘Arab, oleh: Abdul Mun’im Syafiq.
4. Athlas al-Islam, oleh: DR. Husain Mu’nis.
5. Muluk al-‘Arab, oleh: Amin al-Rayhaniy.
6. al-Shafawiyyun wa al-Daulah al-Utsmaniyyah, oleh: Abu al-Hasan ‘Alawi ‘Athrajiy.
7. Humum al-Aqalliyat, Laporan Tahunan Pertama Ibn Khaldun Center for Development Studies tahun 1993 di Mesir.
8. al-Milal wa al-Nihal wa al-A’raq, Laporan Tahunan Ke-6 Ibn Khaldun Center for Development Studies tahun 1999.
9. al-Khalej al-‘Arabiy: Dirosah Muwjazah, oleh: Maktab al-Di’ayah wa al-Nasyr wa al-‘Ilam.
10. al-Khalej al-‘Arabiy: fi Madhihi wa Hadhirih, oleh: DR. Khalid al-‘Izzy.
Jurnal dan Situs:
1. Majalah Mukhtaarat Iraniyyah.
2. Majalah al-Wathan al-‘Arabiy.
3. Majalah al-Nur.
4. al-wakalah al-Syi’iyyah li al-Anbaa’. (ebaa.net)
5. aljazeera.net
(Terjemahan makalah yang berjudul “al-Tajammua’at al-Syi’iyyah fi al-Bahrain”, oleh:Syabakah Rased al-Sunniyah. http://www.albainah.net/index.aspx?function=Item&id=6318&lang. Alih bahasa: Ahmad Hanafi)
0 Response to "Eksistensi Gerakan Syi’ah di Bahrain"
Post a Comment