Biasanya seseorang masih bisa terlihat tetap tegar ketika perkara keluarga menyapanya, meski terkadang terlalu mencabik dan menorehkan luka yang begitu dalam. Namun, dengan semua pengalaman yang bijaksana, dia tetap optimis untuk merampungkan perkara keluarga itu. Hal ini seolah menjadi sebuah kontradiksi yang butuh banyak energi untuk dipikirkan, mengingat tak ada lagi kekuatan yang tersisa, habis sudah pandangan rasional, bahkan menghilangnya pemahaman yang baik bila seseorang tercemplung dalam kecamuknya perasaan. Sampai-sampai, bila dibiarkan berlarut-larut akan mengikis semangat untuk bekerja, semangat untuk berprestasi, bahkan na’udzubillah malah kehilangan semangat hidup. Maka, inilah yang sering terjadi dikalangan pemuda kita. Tersangkut arus percintaan telah membuat mereka lupa akan fitrah dari cinta itu sendiri.
Bukankah Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat dengan segala kemahaa-cintaan, yang menciptakan, memberi, dan mengambil kembali milik-Nya dengan penuh cinta? Dia menitipkan rasa mengasihi dan menyanyangi disetiap lubuk hati makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya kita sebagai manusia yang merasakannya, hewan pun juga merasakannya. Tapi yang menjadi pembeda antara kita dan hewan adalah kita punya nilai, batasan, norma agama, dan peraturan yang mengikat sebagai rambu-rambu penunjuk cinta agar tetap berada pada hakekat cinta yang sebenarnya, yakni suci, menyemangati, dan melindungi. Bukan malah hanya mengedepankan hasrat, memenuhi hawa nafsu dan birahi di balik kedok cinta.
Lalu apalagi yang masih kita ragukan, apalagi yang masih kita pertimbangkan. Segalanya pasti telah ditetapkan dan telah diperhitungkan jauh sebelum kita diciptakan. Tapi masalahnya sekarang adalah banyak pemuda kita yang lari dari konteks dan aturan menggunakan cintanya, terkhusus remaja yang masih begitu mudah terbuai gejolak cinta. Lihat saja kasus yang marak terjadi saat ini, lewat jejaring sosial pemalsuan cinta sering dilakukan, memakan korban remaja putri, pemudi, dan orang-orang yang belum sabar menanti pastinya janji Tuhan.
Setiap makhluk diciptakan berpasangan, begitu juga kita. Yang diperlukan saat ini adalah pemahaman yang baik bahwa semuanya pasti ada ujung, jika waktunya belum tiba maka cukup sabar dan shalatlah yang dijadikan sebagai penolong. Sangat memalukan sekali bila kita memaksakan jalan cinta yang sejatinya bukan untuk kita. Karena kebanyakan dari itu malah hanya akan menimbulkan masalah. Bahkan yang menyedihkan sekali kemaksiatan seperti lumrah di atas hamparan cinta. Islam sangat melarang keras sepasang pemuda yang tidak ada hubungan keluarga berdua-duaan, sebab ada setan yang selalu membisikkan untuk melakukan dosa, namun sekarang lihatlah, pacaran malah menjamur. Anehnya lagi, orang tua yang seharusnya memberi arahan malah mendukung dan bangga melihat anaknya punya pacar. Menjalin hubungan pacaran sama dengan mendekatkan diri dengan kemaksiatan, memperlancar jalan setan untuk menyesatkan, dan yang pasti menjauhkan hati dari rasa khusyu’ dan cinta terhadap Rabb pemiliki semesta.
Untuk itu, kembalikan paradigma kita tentang cinta pada hakikat yang sebenarnya, bahwa dia bukan alat untuk memiliki, sebab kalau hanya alasan untuk memiliki saja seperti yang dilakukan orang pacaran, jelas itu bukan cinta namanya. Dia bukan sesuatu yang irasional keberadaannya, sebab kalau hanya alasan abstrak seperti yang sering keluar dari mulut penggombal, sehingga ketika terjadi penyelewengan maka tak ada yang perlu dipertanggung jawabkan, jelas itu bukan cinta namanya. Dia bukan sesuatu yang bebas tanpa ruang, sebab kalau hanya itu alasannya seperti yang dikemukakan penyair cinta ‘musisi band’ zaman sekarang, sehingga karena terlalu bebas boleh berpindah kemana saja, jelas itu bukan cinta namanya.
Pacaran bukanlah jalan tepat untuk merealisasikan gejolak ketertarikan kepada lawan jenis, malah itu adalah pilihan buruk yang sama-sekali tidak pernah Rasulullah bawa dan ajarkan. Cukuplah bila saatnya masih lama, perasaan itu dialirkan pada kegiatan-kegiatan positif. Dari hari ke hari mencari celah untuk selalu mendekat kepada Allah dengan meneladani Rasul sebagai uswa. Jika ada ketertarikan, itu wajar saja. Namun bila diturutkan itu yang malah berbahaya. Tumbuhkanlah pemahaman baik, bahwa melakukan perbuatan yang sia-sia akan membuahkan hasil yang sia-sia pula, bahkan tanpa disadari malah mengundang dosa.(dakwatuna)
0 Response to "Cahaya itu Bernama ‘Stop Pacaran"
Post a Comment