By: Nandang Burhanudin
Para penjajah dan negara kolonial silih berganti memangsa negeri-negeri muslim. Tak ada faktor ras atau kebangsaan, semua yang menjadi korban adalah muslim. Di Eropa: Bosnia, Albania, Russia. Di Timur Tengah: Palestina, Syiria, Iraq. Di Asia: India, Burma, China, Afghanistan, Moro (Pattani). Pelakunya bisa dari Yahudi, Kristen, Budha, Hindu, atau Muslim Syi'ah. Semua seakan menjalankan uraian dari teori clash of civilization Samuel Huntington.
Bayangkan, jika ada seorang muslim yang jahat lalu membunuh seorang non muslim. Maka dunia seakan kiamat. Tuduhan teroris mudah disematkan. Tapi saat AS, Syi'ah, Budha, Hindu membunuhi dan membantai umat Islam, dunia terdiam seribu bahasa.
Sebagai muslim, semua kita bertanya, mengapa umat Islam begitu tak berdaya?
Bukankah jumlah umat Islam ada di 56 negara, dengan jumlah 1.7 milyar jiwa. Tapi mengapa untuk mengusir penjajah Israel di Palestina saja, umat Islam tak memiliki kemampuan bahkan impoten?
Di sini, umat kembali pada kisruh dan debat berkepanjangan. Sibuk mempermasalahkan metode dan strategi perlawanan, namun melupakan inti dari perlawanan terhadap musuh. Umat terbagi lagi ke dalam beberapa faksi:
1. Faksi Anshar Tauhid, yang mengatakan umat harus kembali kepada ajaran tauhid. Hingga sebelum tauhidnya benar-benar salimah, maka umat telah gagal. Keluhuran cita-cita ini, dibelokkan, sehingga faksi ini menjadi antimodernitas. Apapun yang baru, dianggap bid'ah.
2. Faksi Hallul Khilafah, yang giat membangkitkan spirit khilafah. Keagungan cita-cita ini pun diperburuk dengan paham-paham khawarij, hingga berani mengkafirkan siapapun yang belum berbai'at dengan khalifah. Pada akhirnya, klaim Al-KHIlafah Hallun Likullil Masyaakil (Khilafah Solusi atas setiap problematika) hanya selesai di spanduk.
3. Faksi Ishlahul Hukumah (memperbaiki pemerintahan). Di faksi ini, giat berpolitik dengan misi memperbaiki pemerintahan (legislatif-eksekutif). Kembali lagi, spirit ini dibelokkan menjadi semangat memperkaya diri sendiri dan melupakan misi suci, yaitu
memperbaiki pemerintahan.
Uraian di atas, bukan berarti tidak ada kebaikan sama sekali dari setiap faksi. Maksud dari statemen di atas adalah: mengapa pertolongan Allah tidak kunjung datang? Dan mengapa faksi-faksi Islam masih "kalah bersaing" dengan faksi-faksi sekuler?
Izinkan saya menjawabnya:
Pertama: Sebab umat tidak memiliki infrastruktur yang matang, integratif,
dan tepat guna. Infrastruktur yang dimaksud adalah disebabkan suksesnya musuh-musuh Islam merusak tatanan infrastruktur yang dahulu menjadi soko guru peradaban
Islam.
>> Basis kepesantrenan/zawiyah telah dirusak. Padahal kobaran jihad dan
semangat merebut kehidupan dari penjajah selalu bermula dari pesantren.
>> Basis pendidikan formal dari TK hingga PT telah mengalami disorientasi. Termasuk lembaga pendidikan di bawah Depag. Bukankah kurikulum IAIN/UIN sudah banyak dipengaruhi unsur Liberal-Sekuler bahkan berbau paham permisif? Infrastruktur ini baru kembali membaik, setelah tahun 80-an, marak gerakan pembinaan (tarbiyah) di kampus-kampus.
>> Basis pembinaan masyarakat yang semakin melemah. Mari bandingkan jumlah jamaah pengajian dengan show Ariel Peterpan. Atau jangan Ariel, jumlah jamaah pengajian dengan live music ala artis-artis pedesaan.
Jadi, andaikan Islam menang dalam kondisi ini. Kemenangan itu akan pudar kembali, karena ketidakmampuan MENJAGA-MERAWAT-MENGELOLAnya dalam jangka waktu yang panjang.
Kedua: Umat dan pemimpinnya belum maksimal dalam berkorban demi Islam.Kemenangan Badar diawali dengan sumbangsih maksimal seluruh elemen umat, mulai dari pengusaha hingga orang papa, mulai dari jenderal hingga kopral. Karena jihad fisabilillah tidak akan dimenangkan Allah, bila umat masih enggan maksimal mengeluarkan segala daya dan harta yang dimiliki.
Keengganan umat berkorban, adalah efek dari poin pertama. Selain itu, efek dari tidak adanya teladan nyata dari para pemimpin umat itu sendiri. Bukankah kini, saat para ustaz mengajarkan tentang qona'ah, wara', shadaqah, justru para ustaznya yang hidup penuh glamour?
Bukankah kini, saat para pemimpin umat mengharuskan umat untuk "mengencangkan ikat pinggang", justru para pemimpin umat sudah tak lagi memakai ikat pinggang?
Satu hal yang nyata, dana untuk biaya rokok jauh lebih besar daripada dana untuk shadaqah. Siapa yang memberi contoh? Ya, para pemimpinnya.
Poinnya adalah: Allah menunda kemenangan untuk umat Islam, karena umat belum mengerahkan seluruh potensi dan kemampuannya hingga tetes darah terakhir dan hingga saldo asset terakhir.
Ketiga: Umat Islam masih kental dengan kemusyrikan. Musyrik di sini adalah: lebih meyakini kekuatan itu ada pada materi, bukan pertolongan ALlah. Maka ketika teknologi Barat melesat, umat menjadi inferior dan akhirnya membebek kepentingan Barat.
Keyakinan terhadap materi yang berlebihan, membuat umat menjadi pribadi-pribadi cinta dunia dan takut mati (hubbuddunya wakarahiyatul maut). Itu semua berpangkal dari lemahnya hubungan kita dengan Allah. Karena hubungan dengan ALlah lemah, umat dan pemimpinnya lebih kental dengan kemaksiatan daripada ketaatan.
Bila maksiatnya kaum awam adalah dengan zina, mabok, judi. Maka maksiat aktivis dan pejuang Islam adalah dengan LARUT dalam hal mubah. Bukankah kita kuat 2 jam menonton bola, tapi tak berdaya tilawah atau shalat malam 2 jam? Bukankah UAE, Saudi, Kuwait rela menggelontorkan milyaran dollar untuk membiayai klub sepakbola?
Aspek inilah yang membuat setiap kali umat akan bangkit, musuh-musuh Islam sangat mudah MEMBELOKKAN arah perjuangan umat.
Tidak tulusnya kemurniaan perjuangan hanya karena Allah bukan karena ghanimah, fanatisme, atau apapun selain karena Allah, inilah yang membuat perjuangan umat senantiasa terhambat dan pertolongan ALlah terlambat turun.
Keempat: Sebab kebatilan yang selama ini diperangi umat, tipu dayanya belum
terungkap. Sebagaimana umat belum mampu memanfaatkan secara maksimal dari keburukan yang ada.
Umat belum mampu mengungkap latarbelakang kebencian musuh-musuh Islam terhadap umat dan Islam. Ini tiada lain karena kemampuan Zionis menyusup dan melakukan infiltrasi ke dalam Islam. Sebagaimana suksesnya Yahudi menghancurkan risalah Nabi Isa ibn Maryam. Umat bingung siapa yang dihadapi. Karena dihadapkan pada lawan-lawan yang berbaju Islam: JIL, Ahmadiyah, Syi'ah, dll. Karena ketiadaan common enemy, umat sibuk bergaduh di internal sendiri.
Selain itu, umat kini banyak digiring untuk menjadi umat PERATAP. Meratapi dan mencaci maki keadaan, hingga bingung apa yang mesti dilakukan. Akhirnya ada yang sibuk bernostalgia dengan masa-masa 14 abad lampau, namun kebingungan dari mana harus memulai. Ujung-ujungnya frustasi. Lahirnya umat yang utopis, megalomania, dan insomnia.
Kelima: Lingkungan/Miliu/Budaya tidak layak menerima kebaikan dan Al-Haq.
Budaya hedonis, permisif, atau cinta dunia sudah ada sejak keturunan Nabi Adam turun pertama.
Selama lingkungan tidak kondusif menerima Al-Haq, maka pertolongan Allah akan terlambat datang. Ayat Al-Qur'an dan hadis sangat banyak membicarakan hal ini. Sirah Rasul pun lebih awal memoles budaya Jahiliyah dengan budaya wahyu. Mulai dari takwiin alfard almuslim (pembentukan pribadi muslim), membangun masjid, at-taakhhi (mempersaudarakan), hingga membangun basis keterampilan. Semua dilakukan sebelum berbicara MEMAKI-MAKI KAFIR QURAISY atau membangun sistem.
Jadi, selama pertolongan Allah belum turun, kita dituntut untk melipatgandakan pengorbanan dan harus memiliki daya tahan yang berlipat ganda pula. Kita harus tetap yakin dan percaya, Islam dan umatnya akan kembali memimpin dunia dengan konsep ISLAM RAHMATAN LIL'ALAMIN, bukan yang lain.
Insya ALlah.
Allahu Akbar!
ReplyDelete