“Berat badan Anda bertambah berapa kilogram,” seloroh Muhammad Kaya, koordinator organisasi kemanusiaan IHH (İnsan Hak ve Hürriyetleri İnsani Yardım Vakfı) dari Turki yang sudah sekitar tujuh tahun membuka cabang di Gaza.
Penulis memang belum sempat menimbang berat badan selama di Gaza, tetapi dari berbagai hidangan kelas berat yang disajikan dari pagi hingga malam oleh tiap tuan rumah yang didatangi, rasanya mustahil berat badan bisa melorot.
Menu sarapan di pagi hari adalah roti gandum berbentuk lempengan bundar yang disebut khubs. Lauknya, setumpuk keju putih dan keju kuning, telur rebus, buah zaitun dan minyak zaitun, serta sosis dari daging asap seukuran betis balita. Sesekali ada juga suguhan yogurt buatan Hebron, wilayah Palestina di Tepi Barat.
Lauk itu tidak harus dimakan semuanya, dan menu itu bukanlah menu yang mewah dan mahal di negeri yang subur dan penuh berkah ini. Dengan uang sekitar Rp. 10.000 atau 4 Shekel (mata uang Zionis yang hingga kini terpaksa dipakai di Gaza), Anda bisa mendapat 6 tumpuk khubs, segelas yogurt, beberapa butir telur rebus, keju, serta beberapa jenis lalapan seperti mentimun dan cabai.
Makan siang, bisa dengan menu sarapan, bisa juga sepotong syawarma (di Indonesia disebut kebab), atau tidak makan sekalian karena memang belum lapar.
Dan,… makan malam adalah yang terberat. Jika Anda memang sudah dijadwalkan untuk makan malam di salah satu rumah warga Gaza, Anda akan disajikan senampan nasi kebuli yang ditaburi kacang kenari dan kacang mete. Lauknya, ….seekor ayam panggang!!!
Biar dimakan bersama tiga orang, sajian itu tidak habis. Tapi tuan rumah sudah memaklumi dan sama sekali tidak menganggapnya mubadzir.
“Ini berkah,” kata seorang tuan rumah, sebut saja namanya Abu Muhammad, kepada hidayatullah.com.
Setelah makan nasi kebuli, ada menu yang sepertinya wajib bagi warga Gaza. Yakni makan halawiyat, sejenis kue kering dibuat dari kacang-kacangan dan gula disajikan di atas nampan berdiameter sekitar 60 sentimeter. Cara makannya dengan berdiri mengerubung bersama sambil ngobrol.
Setelah itu Anda akan disuguhi kopi khas Arab tanpa gula disajikan dalam cangkir-cangkir kecil. Aroma wangi kopi yang dicampur rempah-rempah mengepul bersama asap dari cangkir menggelitik hidung.
Maka benarlah yang dikatakan Muhammad Kaya, orang Gaza memang sangat bersabat.
Muhammad yang pernah bertugas untuk IHH di sekitar 50 negara ini mengakui, orang-orang Gaza memang sangat senang dan suka menghormat tamu dari luar.
Hampir setiap kali hidayatullah.com bercengkrama denga orang-orang Gaza, entah itu di jalan, di acara-acara resmi, apalagi di masjid, nampak keramahan dan mengatakan, “Selamat datang di negeri penuh berkah, negeri jihad dan ribath, dan negeri Anda juga yang kedua.” *[hidayatullah]
luar biasa....
ReplyDelete