Dalam Islam, seperti dikatakan Hasan al Banna, kecintaan, penghormatan dan pujian (tabaruk) kepada orang shalih adalah wujud taqarub (pendekatan diri) kepada Allah SWT. Hanya saja, ada titik hentinya, yakni Syara' dan akal sehat.
Erdogan adalah murid ideologis (mutarobbi) sang Hoca, Necmettin Erbakan sejak usia remaja. Namun pasca pembubaran Refah, sang guru dan murid itu berpisah jalan. Sang Murid memandang gurunya sulit diberi masukan, karenanya, dia berpisah jalan. Akhirnya, sang murid bersama kelompok muda lainnya dalam tubuh gerakan Islamis itu mendirikan partai baru, AKP
Sang Hoca murka besar. Dia menganggap Erdogan mengkhianati perjuangan dan menyebutnya, 'hasil tarbiyah yang gagal'. "Dia," kecam sang Hoca,"Lebih mengimani profit ketimbang prophet." Sejak itu, dikabarkan Hoca tidak mau lagi menemui muridnya.
Ketika sang Hoca meninggal. Erdogan seketika itu pulang dari lawatannya di Jerman demi menghadiri pemakaman gurunya. Dia adalah PM yang memanggul sendiri keranda sang Hoca bersama seorang murid lainnya, Presiden Abdullah Gul menuju ke peristirahatan terakhir. Katanya, "Dia selamanya guru kami yang tak tergantikan."
Jika ada sekelompok umat lain, yang menerjemahkan kecintaan dan kehormatan dalam bentuk FANATISME. Tidak peduli apakah ekspresi itu melampaui batas dan tidak masuk akal. Bagi mereka TABARUK itu adalah bahwa "KING (orang shalih) CAN DO NO WRONG".
Maka boleh jadi, tindakan Erdogan adalah kecintaan dan penghormatan dengn batas. Jika bukan karena Syara' maka itu pasti karena logika dan akal sehat. Erdogan tetap mencintai dan menghormati sang Hoca sekalipun berpisah jalan dan sekalipun ditengah kemurkaannya. Tetap mencintai dan menghormati namun tidak menghilangkan sikap kritis dan akal sehat.
Hemat saya, ini adalah AKHLAK yang harus kita miliki.
ahmeddzakirin
0 Response to "ANTARA CINTA DAN FANATISME"
Post a Comment