Dan yang lebih penting lagi, karena Allah telah menentukan ukuran yang lebih hakiki.
Tukang cuci sebuah rumah, pekerjaannya membuat dia menunduk2 menghormati juragannya. Tiap bulan dia menyisihkan sedikit gajinya yang kecil, dihemat2, untuk apa? Hanya ingin menyembelih seekor kambing ketika hari raya kurban. "Kata pak kiyai, setiap helai bulunya dihitung kebaikan."
Buruh tani, pekerjaannya di sawah orang2, tidak punya lahan, jika tidak ada yg menyuruh, tidak ada pekerjaan baginya. Tiap minggu dia menyisihkan sedikit dari gajinya yang seadanya. Untuk apa? Hanya ingin berkurban di hari lebaran. "Ah, saya ini miskin, tidak bisa bantu bangun masjid, sedekah banyak, naik haji, atau apalah, hanya ini, seekor kambing setiap tahun."
Anak2 panti asuhan, dibesarkan oleh sumbangan orang2 yg peduli, tetap saja bareng2 menyisihkan uang sumbangan yg sudah sedikit itu untuk kurban tiap tahun. Disuruh kakak asuhnya memang, tapi cepat atau lambat, pemahaman yatim piatu ini akan sama cemerlangnya dengan kakak asuhnya.
Lantas, kalau kita disuruh berdiri berjejer dengan tukang cuci yg tangannya keriput oleh air dan sabun. Dengan buruh tani yang badannya hitam terbakar matahari. Dengan anak2 panti asuhan, yg badannya bau asem karena main sepanjang hari, tidak ganti2 baju. Apakah kita merasa lebih mulia di hadapan Allah?
Kita, yg bergaji jutaan, bahkan belasan. Punya telepon genggam berjuta2 rupiah, menghabiskan pulsa ratusan ribu tiap bulannya. Sekali makan di restoran ratusan ribu. Kita, meskipun masih sekolah/kuliah, tapi yg dikasih uang jajan bahkan lebih banyak dibanding penghasilan 29 juta rakyat Indonesia yg cuma 7.000/hari. Apakah kita merasa lebih mulia di hadapan Allah jika sekalipun kita tidak tergerak hati berkurban tiap tahun? Bahkan kita tidak mau mendengarkan seruan itu, malas membacanya, jauh2 bukan urusan saya?
Ber-korbanlah. Tunjukkan bukti cinta kita pada agama ini. Berikanlah yang terbaik, bukan sisa-sisa, karena Allah telah menentukan ukuran yang lebih hakiki.
0 Response to "Ukuran yg lebih hakiki"
Post a Comment