Tidak hanya itu, orang-orang yang dimakamkan di tralaya tersebut diyakini sebagai para pejabat istana Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan letaknya yang berdekatan dengan lokasi yang diduga sebagai pusat kerajaan Majapahit. Di samping itu, pada nisan-nisan Tralaya dipahatkan Surya Majapahit, yang disebut-sebut sebagai lambang dinasti Majapahit. Hal tersebut sangat memungkinkan, mengingat lambang dinasti kerajaan tidak boleh sembarangan digunakan oleh penduduk biasa. Angka tahun yang tertera pada nisan-nisan tersebut, yaitu 1368 hingga 1611, juga menjadi pendukung kuat dugaan tersebut bahwa sebagian mereka hidup di masa keemasan Majapahit.
Intinya, dari penelitian sementara terhadap komplek pemakaman Tralaya dapat disimpulkan bahwa situs pemakaman tersebut adalah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa umat Islam telah eksis di zaman Majapahit. Mereka tidak hanya menjadi penduduk biasa, tetapi mampu menjadi pejabat di istana yang tentunya sedikit banyak berperan aktif di dalamnya.
Orientalis Menolak
Ketika masih baru ditemukan, hampir semua orientalis meragukan keaslian nisan-nisan Tralaya. Bahkan mereka menolak mentah-mentah kaitan situs tersebut dengan kerajaan Majapahit. Sebut saja L.W.C. van den Berg yang meragukan keaslian data epigrafi Arab pada nisan-nisan Tralaya tersebut. Dalam laporannya tertanggal 1/2/1887, Ia dengan tegas meragukan keaslian tulisan makam tersebut karena tulisan Arabnya kasar dan banyak salah tulis. Menurutnya, inskripsi Arabnya sengaja ditambahkan kemudian pada artefak yang berisi tahun Saka tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Veth yang memerkirakan bahwa nisan-nisan tersebut berasal dari batu-batu candi. Artinya, ia tidak hanya meragukan keaslian tulisannya tetapi juga meragukan keaslian makam tersebut yang kemungkinan hanya batu-batu yang sengaja ditulis Arab dan disusun sedemikian rupa. Dan, pendapat yang paling ekstrim disampaikan oleh N.J. Krom yang menegaskan bahwa situs Tralaya tidak mempunyai nilai Arkeologis sama sekali.
Tidak mengherankan jika para orientalis tersebut berpendapat seperti itu karena dalam benak mereka kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha dan sekaligus Jawa yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Di samping itu, mereka tidak yakin umat Islam yang kuantitasnya sangat kecil pada saat itu mampu ikut andil dalam kerajaan Majapahit. Dan, yang lebih penting, memang karakter dari para orientalis terkesan selalu mendiskreditkan eksistensi serta peran umat Islam di Nusantara, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Attas.
Pendapat para orientalis tersebut mulai berubah setelah L.C. Damais memublikasikan hasil penelitiannya terhadap situs Tralaya pada tahun 1957.[4] Hasil penelitiannya tersebut tidak hanya mengritisi pendapat-pendapat pendahulunya, tetapi juga mengungkap fakta menarik yang menyangkut proses interaksi budaya Islam dan Jawa pada masa itu. Kajian epigrafis terhadap huruf Jawa Kuno yang dipahatkan pada nisan di Tralaya maupun situs Trowulan dan sekitarnya menunjukkan adanya kesesuaian dengan unsur paleografis huruf Jawa kuno dari periode akhir abad XV. Kesimpulan Damais tersebut didasarkan atas studi huruf Jawa Kuno dalam konteks nisan makam Tralaya. Ini berarti tulisan yang terpahat pada nisan-nisan Tralaya memang asli dan bukan tulisan baru sebagaimana dituduhkan Berg sebelumnya.
Lebih lanjut, Damais membuktikan telah terjadi saling pengaruh antara kebudayaan Jawa dengan Islam pada abad XV. Kajian tentang huruf yang terdapat pada makam Tralaya menunjukkan bahwa bentuk angka Jawa kuno dipengaruhi oleh bentuk tulisan Arab yang serba tebal dan besar. Termasuk gaya tulisan Arab pada nisan-nisan Tralaya merupakan suatu variasi kaligrafi yang berciri lokal dan tidak sama dengan gaya tulisan kaligrafi di Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Berg dan orientalis lainnya kebingungan dengan bentuk-bentuk huruf tersebut, karena tidak sesuai dengan standar penulisan kaligrafi di Timur Tengah.
Menariknya, kesalahan penulisan Arab pada nisan Tralaya bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Hal itu terjadi hampir di semua penulisan Arab pada masa itu, termasuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa. Penyebabnya tidak lain karena penulisnya adalah seorang Muslim Jawa atau "Pribumi" yang bukan dari kalangan ulama atau penutur bahasa Arab yang mahir. Tidak mengherankan jika penulisan teks Arab pada nisan-nisan tersebut dianggap salah oleh para peneliti seperti Berg.
Padahal, menurut Habib Mustopo, dalam menulis kutipan berbahasa Arab, Muslim-Jawa sering menulis berdasarkan bunyi fonemnya dan bukan sesuai kaidah penulisannya. Menurut dia, hal ini sudah berlaku secara umum bahwa penulisan bahasa Arab telah mengalami perubahan fonem menurut ucapan Jawa. Ia mencontohkan dalam naskah berbahasa Jawa terdapat kutipan "huwa napiyyullutallak" seharusnya huwa 'Inafyu' I-mutlaq.[6] Dalam dalam Serat Praniti Wakja Djangka Djojobojo terdapat kata "lochil ma'pule" untuk mengatakan "lauh al mahfudz".[7] Bahkan dalam Serat Centini sekalipun terdapat kata "holomodin" untuk menyebut kitab Ihya' Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.
Setelah muncul dan berkembangnya pusat-pusat studi keislaman yang diwakili oleh pesantren-pesantren, barulah penggunaan bahasa Arab mulai marak dan menuju ke arah yang semakin baku. Untuk memermudah menyalin fonem beberapa huruf Arab ke dalam huruf Jawa ditambahkanlah tanda diakritik untuk huruf-huruf Jawa tertentu. Termasuk sebaliknya, ketika huruf Arab mulai digunakan untuk menulis manuskrip dalam bahasa Jawa, huruf Arab itupun ditambah dengan tanda diakritik yang dapat menampung fonem bahasa Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya, tulisan-tulisan dengan karakter seperti ini disebut dengan tulisan Arab pegon yang masih digunakan di pesantren hingga sekarang.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Situs Tralaya merupakan bukti otentik adanya komunitas Muslim di masa kejayaan Majapahit.
2. Komunitas Muslim yang dimakamkan di situs Tralaya adalah orang-orang dekat istana, baik para pejabat istana Majapahit maupaun keluarganya.
3. Tuduhan sebagian orientalis terhadap keaslian situs Tralaya terbantahkan dengan penelitian LC Damais yang membuktikan bahwa nisan-nisan di Tralaya adalah asli berdasarkan kajian epigrafi.
4. Terjadi interaksi damai antara budaya Islam dengan Jawa pada masa-masa awal kedatangan Islam di Jawa.
Oleh: M. Masykur Ismail, Sidoarjo
Jurnalis InPAS & anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
Makasih sob udah share , blog ini sangat membantu sekali .............
ReplyDeletebisnistiket.co.id