Dalam salah satu scene di episode tersebut digambarkan ada seorang anak perempuan dengan logat Indonesia (walaupun menurut kita yang orang Indonesia, logatnya terdengar aneh dan kaku, sih) dengan Upin Ipin datang ke warungnya Mail. Dia hendak membeli ayam gorengnya Mail. Ketika membayar dia mengeluarkan uang Rupiah senilai sepuluh ribu.
Mail yang (sepertinya) belum pernah melihat uang rupiah pun bingung dan bertanya ke Ibunya bagaimana mereka bisa memberi uang kembalian kepada si anak Indonesia (belakangan ketahuan namanya Susanti) yang memberi uang dengan nominal sepuluh ribu sementara harga ayam gorengnya cuma dua seringgit. Ibunya Mail pun bertanya ke Susanti apakah dia membawa uang Malaysia. Susanti menjawab tidak ada. Akhirnya Ibunya Mail pun mengembalikan lagi lembaran sepuluh ribu rupiah tadi ke Susanti dan mengikhlaskan ayam gorengnya untuk Susanti saja.
Hikmah yang bisa kita ambil scene tersebut sangat tergantung dari seperti apa kita dan bagaimana pandangan kita kepada Malaysia.
Kalau kita orang yang selalu negatif thinking dengan Malaysia, menganggap Malaysia sebagai kacang yang lupa kulit, kurang ajar, suka menghina Indonesia, suka merendahkan warga Indonesia, suka merebut budaya Indonesia, maka hikmah yang kita peroleh dari scene Upin Ipin tersebut kurang lebih seperti ini:
“Kurang ajar Malaysia, merendahkan mata uang kita. Rupiah dianggap tidak bernilai. Sudah gitu, orang Indonesianya (Susanti) juga direndahkan, dianggap seperti pengemis yang minta dikasihani sehingga perlu dikasih sedekah ayam goreng.” (hehehe pisss)
Kalau kita orang yang suka positive thinking, hikmah yang bisa kita peroleh kurang lebih:
“Malaysia telah menunjukkan itikad baiknya untuk bersahabat dengan Indonesia. Malaysia memunculkan karakter Susanti sebagai orang Indonesia. Susanti pun disambut dengan ramah oleh warga Malaysia. Susanti memang anak-anak jadi wajar kalau dia tidak memahami perbedaan mata uang, sehingga membayar dengan mata uang yang salah. Terhadap kekhilafan wajar seorang anak-anak itu, warga Malaysia digambarkan bisa bersikap bijaksana dan murah hati.”
Mana yang benar di antara kedua hikmah itu, ya itu terserah kita. Tapi kalau saya mah, netral-netral saja. Kita bersahabat dengan (warga) Malaysia kok. Dan kalau bersahabat maka positive thinking harus dikedepankan. Masalah konflik antar negara biarkan pemerintah yang urusin. Kalau pemerintah gak becus ngurusin konflik antar negara, ya jangan pilih lagi di pemilu mendatang, gitu aja kok repot.
Saya jadi inget penjelasan salah satu tokoh di televisi bahwa negara Malaysia pun sebenarnya memiliki konflik-konfliknya sendiri dengan negara Singapura. Namun warga kedua negara tetap adem. Konflik antar kedua negara sudah di-handle di tingkat pemerintahan mereka masing-masing dan warganya percaya bahwa negara mereka masing-masing sudah meng-handle permasalahan dengan optimal.
Nah, dengan Indonesia pun sebenarnya kita gak perlu ikut-ikutan ribut-ribut selama kita percaya bahwa pemerintah kita sudah meng-handle konflik dengan Malaysia secara baik. Masalahnya kepercayaan kita terhadap pemerintahan kita relatif rendah. Akibatnya warga kita menganggap perlu untuk ikut campur berkonflik dan panas-panasan.
Jadi intinya sebenarnya, masalah utama kita bukan terletak di Malaysia-nya, namun justru pada kepercayaan kita terhadap pemerintahan kita yang rendah.
Lho kok malah jadi ngelantur.
Kembali ke hikmah. Ada lagi satu pihak yang mungkin tertarik untuk mengambil hikmah dari scene di atas yaitu para ahli moneter. Hikmahnya kurang lebih :
“Wah, denominasi mata uang kita memang sudah terlalu besar dibandingkan kawasan ya. Kalau begitu memang tepat kalau kita sudah mulai memikirkan redenominasi.”
Salam…
SUMBER
Emang rendah gan!
ReplyDeleteAlhamdulillah, fikir positif (husnuzhon)itu penting. Malaysia-Indonesia selamanya bersatu. Salam dari Malaysia.
ReplyDelete