Video-video yang kemudian beredar di
Internet menunjukkan seorang wanita etnik Uighur beragama Islam dipukuli
hingga tewas oleh para pekerja yang mayoritas orang Cina Han. Kejadian
tersebut menjadikan Cina sebagai raksasa Asia, kembali menjadi sorotan mata dunia, walaupun sebagian besar diantaranya mungkin melihatnya dengan rasa suka cita !
Di jalan-jalan sekitar Urumqi yang
terletak sekitar 3,219 kilometer dari barat Beijing, kendaraan-kendaraan
dibakar dan dimusnahkan. Kota yang terletak di wilayah Xinjiang dengan
populasi sekitar dua juta orang itu, sekali lagi menyaksikan tragedi
pertumpahan darah sebagai buntut dari ketegangan antara etnik yang
dipicu oleh tindakan diskriminasi terhadap orang-orang Muslim Uighur.
Padahal sebelumnya, Urumqi sering menjadi contoh keharmonisan antara
etnik oleh masyarakat China.
Tahun 2009 merupakan tahun ke-60
masuknya pasukan tentara China ke wilayah Xinjiang. Kebijakan yang
diambil pemerintah Beijing sebagai ‘kebebasan yang aman’ ini telah
mampu membawa kemajuan dan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Bagi
China sendiri, wilayah Xinjiang merupakan jalur emas ke Asia Tengah.
Akan tetapi, mayoritas penduduk Uighur
yang berjumlah sekitar delapan juta orang itu berpendapat bahwa hal
tersebut bukanlah suatu yang memberi perkembangan positif. Karena pada
kenyataannya, mereka justeru disisihkan secara sistematis dengan
memobiliasasi orang-orang Cina Han untuk mengeksploitasi sumber-sumber
energi maupun pertanian di Xinjiang.
Xinjiang sendiri diambil alih oleh
kekaisaran China sekitar abad ke-19 dengan populasi penduduk saat itu
berjumlah sekitar 19 juta orang. Pada tahun 1949, hanya 6% dari
keseluruhan penduduk Xinjiang yang merupakan masyarakat Cina Han.
Sementara hingga tahun 2009, jumlah kelompok masyarakat ini telah
meningkat hingga mencapai 41%. Sedangkan etnis Uighur sendiri berjumlah
sekitar 45% yang memiliki asal-usul sebagai keturunan bangsa Turki yang
menganut agama Islam.
Para pejuang Uighur yang telah
didiskriminasikan negara, mencoba mendesak pemerintah guna mendapatkan
sebuah wilayah bebas di Turkestan Timur. Desakan inilah yang kemudian
justeru menjadi alasan pemerintah China untuk menuduh masyarakat
‘terbuang’ ini sebagai dalang di balik berbagai serangan yang bernuansa
sara yang terjadi semenjak tahun 1990-an. Bahkan, pemerintah China
menuduh para pejuang militan Uighur seperti Partai Islam Turkestan dan
Pergerakan Islam Turkestan Timur telah mendapat pelatihan kemiliteran
dari Taliban di Pakistan.
Sejak Xinjiang diambil alih oleh Parti
Komunis pada tahun 1949, Presiden Mao Zedong pada saat itu berkeinginan
untuk menyingkirkan umat Islam berdasarkan latar belakang etnis bukan
berdasarkan identitas sebagai penganut Islam. Sepanjang Revolusi Budaya,
identitas umat Islam terus didesak oleh serangan bertubi-tubi oleh
pihak pemerintahan China.
Pada tahun 1966, poster-poster yang
dipampang di ibu kota Peking (sekarang Beijing) secara terbuka mendesak
agar ajaran agama Islam dihapuskan. Umat Islam juga dilarang untuk
mempelajari bahasa dan tulisan Arab. Kondisi ini jelas memberi dampak
yang sangat merugikan bagi umat Islam, mengingat bahasa dan tulisan
dalam Al Qur’an adalah bahasa dan tulisan Arab. Intinya, kebijakan
pemerintah China pada saat itu adalah supaya umat Islam tidak lagi bisa
mempelajari Al Qur’an sebagai kitab suci yang menjadi dasar pedoman
kehidupan bagi seorang muslim.
Ketika kebijakan Mao ini diperkenalkan,
jumlah populasi umat Islam di negara komunis itu telah berkurangan
secara signifikan hanya tinggal 10 juta orang. Sementara berdasarkan
data statistik populasi penduduk yang dikeluarkan pada tahun 1936,
jumlah umat Islam di China diperkirakan mencapai lebih dari 48 juta
orang. Penghapusan sekitar 38 juta orang umat Islam yang sedemikian
drastis itu tidak pernah terungkapkan.
Berulang kali pemerintah China
menawarkan kebebasan kepada warga Uighur. Akan tetapi semuanya
ditetapkan dengan berbagai syarat. Imam-imam diwajibkan memperoleh ijin
dari pemerintah, para pekerja termasuk guru dilarang keras untuk
bersembahyang di masjid, dan lebih buruk lagi, siapapun yang belum
mencapai usia 18 tahun, tidak diperkenankan mempelajari ajaran agama
Islam.
Jadi sangatlah jelas, kekerasan dan
penindasan yang secara kasat mata terlihat dalam bentuk penyerangan,
penyisihan, dan pembunuhan; maupun kebijakan-kebijakan yang dilakukan
pemerintah China, serta sikap dan perilaku yang ditunjukkan etnik non
muslim, menunjukkan bahwa Islam tengah dimusnahkan tidak lagi secara
perlahan, namun dengan sedemikian cepatnya. Sehingga boleh jadi, hanya
dalam kurun waktu 10 tahun ke depan atau bahkan kurang, Islam tidak ada
lagi di negeri China dan akan menjadi agama terlarang di sana.
Satu pelajaran menarik yang kita peroleh
adalah bahwa, hanya Islam lah agama yang benar dan menjadi rahmat
sekalian alam. Lihatlah di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam,
pernahkah ada kejadian percobaan pembersihan etnis non muslim ? Sama
sekali tidak pernah, tidak ada satupun catatan yang menunjukkan bahwa
pemerintah di negara-negara mayoritas muslim, maupun masyarakat
muslimnya sendiri, mencoba melakukan pembersihan etnis non muslim.
Bahkan kejadiannya justeru bisa sebaliknya, walaupun hidup di
tengah-tengah mayoritas muslim, banyak diantara orang-orang non muslim
yang tidak tahu diri dan tidak tahu rasa terima kasih dengan menyebar
fitnah dan rekayasa untuk memojokkan orang-orang muslim. Itulah
orang-orang jahat yang sangat licik dan munafik, ketika mereka berjumlah
banyak, dengan leluasa dan semena-mena mereka menindas dan berlaku keji
kepada orang-orang Muslim; dan ketika mereka berjumlah sedikit, mereka
menjerit-jerit seakan-akan meraka ditindas dan diperlakukan keji oleh
orang-orang Muslim.
“… Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya“. (Q.S An Nisaa’, 4: 88)
“Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”. (Q.S An Nisaa’, 4:145)
0 Response to "Penghapusan Islam di China"
Post a Comment