Dagestan adalah potret indah sebuah negeri multietnis. Puluhan kelompok etnis dan subetnis hidup di sana. Sementara, di mata para ilmuwan politik, kawasan ini disebut sebagai republik yang paling terislamkan di antara negara-negara federasi Rusia lainnya.
Republik Dagestan terletak di bagian utara wilayah Kaukasus (sebuah kawasan geopolitik di perbatasan Eropa dan Asia). Data yang dikutip Wikipedia dari www.rferl.org menyebutkan, sebanyak 90,6 persen populasi Dagestan adalah Muslim, sementara Kristen dipeluk oleh 9,4 persen sisanya. Sejumlah data lain menambahkan, terdapat pula sejumlah kecil pemeluk agama Yahudi di republik ini.
Menurut The Caspian Sea Encyclopedia (Igor S Zonn), nama Dagestan berasal dari bahasa Turki. Dag berarti “gunung” dan -stan adalah imbuhan Persia yang berarti “daratan”. Maka, Dagestan memiliki arti “daratan (tempat) gunung-gunung”.
Situs www.government-rd.ru menyebutkan, beberapa kelompok etnis terbesar yang mewarnai keragaman Dagestan adalah Avar, Dargin, Kumyk, Lezgin, Lak, Azerbaijani, Tabasarantsy, Chechen, Nogai, Rutul, Aul, dan Tsakhur. Bangsa Rusia hanya membentuk proporsi kecil dari total populasi, yakni hanya sekitar 4,7 persen.
Selama berabad-abad, Muslim Dagestan didominasi oleh golongan Suni dengan mazhab Syafi’i. Sedangkan, di wilayah Pantai Kaspia, khususnya di Kota Derbent dan sekitarnya, mayoritas populasinya adalah para Muslim Syiah. Kemunculan tasawuf di Dagestan berakar pada abad 14. Dua tarekat sufi yang tersebar luas di negara Kaukasus Utara ini adalah Naqshabandiyah dan Qadiriyah.
Amri Shikhsaidov, guru besar dan ketua Departemen Naskah Oriental pada Institut Sejarah Arkeologi dan Etnografi Dagestani Scientific Center, menuliskan, Islam telah menjadi satu dari sejumlah faktor penting dan berpengaruh bagi kehidupan sosial politik di republik ini. Ia bahkan menekankan dalam tulisan berjudul Islam in Dagestan yang diunggah di situs www.ca-c.org, berbagai situasi di negara tersebut tidak lagi dapat dipahami di luar konteks agama.
Proses Islamisasi di negara yang beribu kota Makhachkala ini dimulai sejak sekitar 1.000 tahun lalu di sebuah wilayah kecil di Kaukasus timur laut. Pada abad ke-16, Islam menyandang status sebagai agama resmi di seluruh wilayah Dagestan, termasuk bagi berbagai aliansi masyarakat pedesaan di kawasan itu.
Menurut Shikhsaidov, hal itu dimungkinkan oleh kegigihan pasukan asing dari Arab, Turki (terutama Turki Seljuk), Mongol, Persia, dan lainnya dalam memberlakukan kebijakan Islamisasi. Kebijakan yang mereka terapkan kala itu menghasilkan berdirinya sekolah-sekolah Syafi’i dan Suni di Dagestan.
Fakta penting lainnya adalah sufisme telah menjadi aktivitas keseharian di negeri ini. Dalam sejarah bangsa Dagestan, Islam merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari budaya mereka. Hal itu paling jelas terlihat pada abad 19, yakni pada perjuangan pembebasan yang dipimpin Shamil (ulama dan mujahid Islam yang hidup pada 1797-1871), serta pemberontakan tahun 1877. c15
Pedihnya Cengkeraman Ateisme
Sebagai salah satu bagian dari Rusia (dulu Uni Soviet), Dagestan pernah pula merasakan pedihnya cengkeraman ateisme. Pada masa itu, nilai-nilai dan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan agama ditolak. Penolakan itu berakibat runtuhnya kebudayaan berbasis agama di Dagestan serta tercabutnya akar agama itu sendiri.
Kala itu, penguasa Rusia meninggalkan praktik-praktik ritual dan pendidikan Islam, serta hanya sedikit mencampuri sistem peradilan (yang mempertahankan masjid-masjid, sekolah-sekolah agama, dan pengadilan syariah). Pada masa yang sama, formasi sosial-ekonomi yang dibentuk pada Oktober 1917 meminggirkan peradaban Islam dari lingkungan negara, kehidupan ekonomi politik, dan aktivitas keseharian masyarakat Dagestan.
Terbentuknya pemerintahan Soviet menandai sebuah sikap baru terhadap agama. Bolsheviks (faksi dari sebuah partai Rusia berpaham Marxisme) menekan para ulama dan menutup masjid serta madrasah. Menurut informasi yang dikutip Shikhsaidov, sebelum revolusi, Dagestan memiliki sekitar 10 ribu sekolah Muslim yang berfungsi. Jumlah tersebut mencakup 2.311 madrasah resmi, 1.700 masjid, 5.000 orang mullah, dan 7.000 muta’allim. Masjid-masjid memiliki sekitar 35-100 hektare tanah wakaf.
Namun, pada 1988, angka-angka itu merosot tajam. Masjid yang berfungsi hanya tinggal 27 buah. Sementara, menurut statistik resmi, tak satu pun madrasah tersisa. Begitu pun institusi pelatihan ulama ataupun sekolah Alquran dan bahasa Arab. Beberapa sekolah Muslim di sejumlah desa (terutama di Aar, Dargin, dan distrik Kumyk) mencoba bertahan dengan mengajarkan Alquran dan bahasa Arab secara sembunyi-sembunyi.
Pengesahan hukum tentang kebebasan Organisasi Hati Nurani dan Agama oleh Pemerintah Soviet pada 1990 dan Republik Dagestan pada Mei 1991 membuka tahap baru proses reislamisasi di negeri ini. Proses itu ditandai dengan pembukaan bangunan-bangunan agama.
Pada Juli 1995, terdapat 25 madrasah pendidikan ulama dan 1.270 masjid (850 di antaranya merupakan masjid resmi dan terdaftar). Pada saat yang sama, terdapat 650 sekolah dan kelompok Islam yang melatih para pemuda tentang dasar-dasar agama, ditambah 2.200 imam dan muazin.
Dalam waktu tiga tahun sejak itu, sebanyak 388 masjid berhasil dibangun dan sekitar 300 masjid lain yang pernah beralih fungsi dikembalikan pada masyarakat Muslim. Menurut data Administrasi Urusan Agama Pemerintah Republik Dagestan, pada April 1998 terdapat 1.670 masjid, 670 sekolah (yang menjadi bagian dari masjid), 25 madrasah, serta sembilan sekolah Muslim lanjutan.
Jumlah masjid kala itu jauh lebih banyak dibanding gereja dan sinagoge yang masing-masing hanya berjumlah sembilan dan empat. Pada waktu itu, telah terdapat pula lebih dari 20 kelompok tarekat.
Islam Tumbuhkan Harmoni
Perkembangan Islam berdampak positif bagi rakyat Dagestan yang sebelumnya terkotak-kotak berdasarkan bahasa, agama, etnis, dan geografis. Situasi tersebut menyebabkan tingkat permusuhan serta konflik yang parah.
Namun, setelah sebagian besar masyarakat Dagestan memeluk Islam, harmoni mulai tercipta. Kesatuan dalam hal kepercayaan menjadi unsur yang dijunjung tinggi sehingga berdampak pada berakhirnya konflik di antara mereka.
Situs www.ozturkler.com menyebut, kesatuan itu tumbuh berkat madrasah-madrasah yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Para ilmuwan, ulama, dan imam lulusan sekolah-sekolah Islam berperan penting dalam memadamkan bara konflik di kawasan multietnis itu. Mereka juga membantu menciptakan hubungan yang hangat dan bersahabat di antara berbagai etnis yang ada.
Pada Desember 2011, Kementerian untuk Kebijakan Nasional Dagestan menyebutkan, jumlah organisasi keagamaan yang terdaftar di negara tersebut telah mencapai 2.540. Dari jumlah itu, sebanyak 2.492 di antaranya adalah organisasi Islam. Sisanya dimiliki oleh umat Kristen dan Yahudi. Organisasi-organisasi Islam itu termasuk 1.200 komunitas masjid, 83 komunitas madrasah, dan sejumlah institusi serta asosiasi Islam lainnya.
0 Response to "Dagestan, Potret Negeri ‘Paling Islam’ di Rusia"
Post a Comment