Saudariku
muslimah …
Senantiasa
kita memanjatkan puji dan syukur kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang
telah banyak memberikan kepada kita karunia dan nikmat, terutama nikmat Islam
dan nikmat iman. Senantiasa nikmat itu turun kepada kita, akan tetapi
senantiasa maksiyat itu naik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Supaya hidupmu selamat maka kamu harus punya qudwah hasanah. Qudwah hasanah ? Qudwah hasanah = Suri tauladan yang baik.
Kira-kira siapa ya yang bisa ku jadikan Qudwah hasanah? Alloh telah menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah bagi kita semua.
Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suatu
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat
Allah dan keselamatan dihari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:
21).
Dalam
kehidupan yang bisa dijadikan sebagai teladan adalah seorang pemimpin.
Setiap manusia yang
terlahir dibumi dari yang pertama hingga yang terakhir adalah seorang pemimpin,
setidaknya ia adalah seorang pemimpin bagi dirinya sendiri. Bagus tidaknya
seorang pemimpin pasti berimbas kepada apa yang dipimpin olehnya. Karena itu
menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan
baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban
atas kepemimpinannya itu.
Sesungguhnya
yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah qudwah (teladan).
Dan di antara perkara yang paling penting adalah adanya qudwah hasanah,
suri tauladan yang baik yang harus dijadikan sebagai panduan untuk kehidupan
kita. Maka ketahuilah wahai saudariku muslimah, Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai qudwah.
Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suatu tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan keselamatan dihari kiamat dan
banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Maka
sesungguhnya saudariku, seseorang yang mencari teladan kepada selain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka ia akan binasa. Maka ia pun akan tersesat, karena
petunjuk itu berasal dari Allah, disampaikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
فإن أصدق الحديث كلام الله، وخير
الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكلّ محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة
في النار
“Sesungguhnya
sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Setiap perkara baru (dalam
agama) adalah Bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Padahal setiap
kesesatan adalah berada di dalam neraka.” (Kalimat ini disebut dengan Khutbatul Haajah, Shahih
dikeluarkan oleh An Nasa’i (III/104), Ibnu Majah (I/352/1110), Abu Daud
(III,460/1090). Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal. 144-145)
Oleh
karena itulah, kewajiban kita untuk memilih dan memilah. Mana orang yang bisa
dijadikan teladan dan mana yang tidak. Para ‘ulama dari kalangan shahabat, para
‘ulama dari kalangan tabi’in, para ‘ulama dari kalangan tabi’ut tabi’in dan
para ‘ulama setelahnya, mereka adalah orang-orang shalih yang telah
menghabiskan umur mereka untuk kebaikan, untuk tetap berada di jalan Allah,
untuk berbakti kepada Allah dan agamanya dan untuk membela agama Allah Rabbul
‘alamin.Kewajiban kita untuk mengetahui siapa orang yang berhak dijadikan
teladan. Dan siapa yang tidak berhak dijadikan teladan. Dengarkanlah firman
Allah yang menyebutkan tentang tiga kriteria sifat yang apabila ketiga kriteria
sifat ini ada pada seseorang, maka tidak boleh kita jadikan sebagai teladan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا
قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“…Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya
itu melewati batas.” (QS.
Al-Kahfi : 28)
Kriteria
Pertama
Kriteria
sifat yang pertama وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا.
Maksud dari arti “dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengingat Kami”adalah orang tersebut menyebut Allah
dengan lisannya tapi melupakan Allah dalam hati. Atau hatinya lalai dari
Al-Qur’an sama sekali bahkan selalu menyelisihinya. Dan sifat orang munafik,
mereka tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit saja. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ
اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى
يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa : 142)
Berdzikir
di sini maksudnya adalah zikir-zikir yang diwajibkan, seperti shalat misalnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“…
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaahaa : 14)
Seseorang
yang shalat di waktu siang, waktu sore demikian pula di waktu Maghrib, ‘Isya
dan Shubuh, maka ia telah melaksanakan zikir yang wajib.
Saudariku
muslimah yang dimuliakan Allah…
Demikian
pula orang yang meninggalkan zikir-zikir yang sunnah, pun tidak layak kita
jadikan suri tauladan. Karena sesungguhnya yang sunnah-sunnah itu bukan untuk
ditinggalkan akan tetapi untuk dijalankan.
Maka
dari itulah, orang yang dipalingkan oleh Allah untuk berzikir kepada Allah
pasti yang ia ingat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga hatinya
mengagungkan selain Allah, hanya berharap kepada selain-Nya, dan tidak
bertawakkal kepada-nya. Cinta pun bukan karena Allah. Benci pun bukan karena
Allah. Itulah orang-orang yang tidak pernah berdzikir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sehingga syahwat menjadi kendaraannya, hawa nafsu menjadi komandannya
dan kelalaian itulah menjadi kebiasaannya. Wal iyyadzubillaah.
Maka
dari itu Allah berfirman,
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا
قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا
“Jangan
engkau ta’ati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk berdzikir kepada Kami.”
Apabila
seseorang telah lalai untuk berdzikir kepada Allah dan dia berpaling dari
berdzikir kepada-Nya, maka Allah jadikan setan sebagai temannya. Allah
berfirman,
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَنِ
نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa
yang berpaling dari berdzikir kepada Allah Yang Maha Pemurah, Kami adakan
baginya syaithan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.” (QS.
Az-Zukhruf : 36)
Yang
dimaksud dengan berpaling dari zikir dalam ayat ini adalah berpaling dari
peringatan Allah, yaitu Al Qur’an. Siapa saja yang tidak mengimani Al Qur’an,
membenarkan berita yang disebutkan di dalamnya, tidak meyakini perintah yang
diwajibkan di dalamnya, dialah yang dikatakan berpaling dari dzikir pada Allah
dan setan pun akan menjadi teman dekatnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu
Taimiyah dalam kitabnya al-Furqon (hal. 43).
Bahkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam kepada orang yang berpaling dari zikir ini
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa orang tersebut akan diberikan penghidupan yang sempit di dunia dan
akhirat. Allah berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ
حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا
فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan
buta. Berkatalah ia: Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan
buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Allah berfirman:
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan
begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan.” (QS. Ath-Thaha: 124-126)
Orang
yang melalaikan zikir kepada Allah, yaitu berupa peringatan-peringatan
Al-Qur’anul karim dan peringatan-peringatan dari sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan
orang tersebut. Nasehat, pelajaran dan ibrah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak
bermanfaat lagi padanya, sehingga hatinya pun mengeras. Padahal orang yang
beriman, apabila disebutkan nama Allah dia menjadi takut. Padahal orang yang
beriman apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah, dia menjadi tambah
keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal : 2)
***
Kriteria
Kedua
Lalu
sifat yang kedua adalah mengikuti hawa nafsunya وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Al-hawaa. Tahukan kalian apakah itu al-hawaa, wahai ukhti? Sesungguhnya hawaaadalah jalan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-hawaaseringkali dimutlakkan oleh para ‘ulama untuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid’ah). Oleh karena itulah, mereka sering mengatakan ahlul bid’ahsebagai ahlul-hawaa.
Al-hawaa. Tahukan kalian apakah itu al-hawaa, wahai ukhti? Sesungguhnya hawaaadalah jalan yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-hawaaseringkali dimutlakkan oleh para ‘ulama untuk perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid’ah). Oleh karena itulah, mereka sering mengatakan ahlul bid’ahsebagai ahlul-hawaa.
Pada
sifat yang kedua ini, orang tersebut selalu mengikuti hawaa yakni bid’ah yang
menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yang ia cari adalah sesuatu yang menyimpang dari sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
“Ahli
bid’ah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang dan memusuhi syariat
yang ada.” (Silahkan
lihat al-I’tisham karya Asy-Syathibi, 1/61)
Yunus
bin Abdul A’laa Ash-Shadafi[1] berkata, “Saya pernah berkata kepada Imam
Asy-Syafi’I, “Sahabat kami, yakni Al-Laits bin Sa’ad[2] pernah berkata, “Jika
kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas air janganlah terpedaya
dengannya hingga kalian lihat apakah orang tersebut mencocoki Al-Qur’an dan
As-Sunnah.” Imam Asy-Syafi’i berkata, “Tidak itu saja, semoga Allah merahmati
beliau, bahkan jika kalian melihat seorang lelaki berjalan di atas bara api
atau melayang di udara maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian lihat
apakah ia mencocoki ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Diriwayatkan oleh
As-Suyuthi dalam ‘Al-Amr Bittiba Wan-Nahii Anil Ibtida’)
Inilah
saudariku muslimah, yang kita jadikan barometer kita. Di antara barometer atau
sifat orang yang berhak kita jadikan teladan, yaitu mereka yang senantiasa
mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Kriteria
Ketiga
Saudariku
muslimah …
Lalu Allah menyebutkan sifat yang ketiga. Orang yang tidak berhak dijadikan qudwah yakni
Lalu Allah menyebutkan sifat yang ketiga. Orang yang tidak berhak dijadikan qudwah yakni
وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan
adalah keadaanya itu melampaui batas.”
Maksudnya,
orang tersebut banyak membuang waktu, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Hari
demi hari berlalu tapi dia tidak bisa menghasilkan sesuatu pun (dari amal
ibadah). Di dalam ayat ini terdapat penjelasan pentingnya menghadirkan hati
ketika berzikir kepada Allah. Seseorang yang berzikir kepada Allah dengan
lisannya saja tanpa menghadirkan hatinya, maka berkah amal dan waktunya dicabut
hingga dia merugi dan sia-sia. Kita akan menemui orang tersebut berbuat selama
berjam-jam tapi tanpa hasil sedikit pun. Tapi kalau seandainya dia selalu
menggantungkan hatinya kepada Allah, maka dia akan merasakan berkah amalnya
tersebut.
Kita
lihat terdapat dua fenomena yang keduanya merupakan perkara yang sangat
menyimpang dari agama. Di satu pihak, terdapat orang yang menyia-nyiakan
kewajiban-kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepadanya
kemudian ada pihak lain yang dia pun berlebih-lebihan (ghuluw) dalam
menjalankan syariat. Dan ini lebih berbahaya, wahai ukhti. Salah satu contohnya
adalah, berlebih-lebihan dalam hal pengagungan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ia menganggap Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam tahu
yang ghaib. Dia menganggap bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bisa
memberikan manfaat dan mudharat. Contoh lain adalah, pihak yang
berlebih-lebihan kepada orang shalih. Sehingga ia menganggap bahwa orang shalih
bisa mengabulkan do’a, padahal orang shalih tersebut telah mati, orang yang
berlebih-lebihan di dalam hal kafir mengkafirkan. Maka orang-orang seperti ini
tidak bisa dijadikan teladan.
Inilah
saudariku muslimah, tiga sifat yang Allah sebutkan yang apabila kita
terjemahkan tiga sifat ini, maka akan sangat panjang dan mencakup semua
keburukan yang ada yang telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an dan disebutkan
dalam berbagai hadits. Dan ketiga sifat ini tidak bisa kita jadikan qudwah
(teladan).
Maka
kebalikannya, orang yang bisa dijadikan qudwah juga yang mempunyai tiga sifat. Yang pertama adalah orang yang senantiasa
memperhatikan peringatan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, serta zikir kepada
Allah. Yang kedua adalah yang senantiasa mengikuti sunnah Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Yang ketiga adalah yang tidak
menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan kepadanya dan dia pun
tidak berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Wa shollallahu ‘ala nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Footnote
:
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
[1] Beliau adalah Yunus bin Abdul A’laa Ash-Shadafi Abu Musa AI-Mishri, seorang tsiqah. Silakan lihat Tahdzib At-Tahdzib (XI/440), Taqrib At-Tahdzib (II/385), Al-Jarh wat Ta’dil (IX/243), Wafayaatil A’yan (VII/249) dan Al-Ansab(VIII/288).
[2] Beliau adalah Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman AI-Fahmi Abul Harits AI-Mishri, seorang tsiqah, faqih dan imam yang sangat terkenal. Silakan lihat Tarikh karangan Ibnu Ma’in (II/501) dan Siyar A’lamun Nubala’ (VIII/122).
Penulis:
Ummu Izzah Yuhilda
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Muroja’ah: Ust. M. A. Tuasikal
Maraji’
:
- Qur’anul karim dan
terjemahannya
- www.ahlulhadist.wordpress.com
- www.raudhatulmuhibbin.org
- www.muslim.or.id
- Syaikh Utsaimin, Tafsir
Al-Kahfi, As-Sunnah, Jakarta.
- Dr. Said bin Ali bin Wahf
Al-Qahthani, Cahaya Sunnah dan Kelamnya Bid’ah, Samodra Ilmu,
Yogyakarta.
- Abu Yahya Badrusalam, Lc., Keindahan
Islam dan Perusaknya, Al-Bashirah.
- Abdul Hakim bin Amir Abdat, AlMasaa-il
(Masalah-masalah Agama), Darus Sunnah, Jakarta.
- Dr. Sa’id bin Ali Wahf
Al-Qahthani, Syarah Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim, Darul
Falah, Jakarta.
- E-Book Ikuti Sunnah dan Jauhi
Bid’ah karya
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abdad.
Saudaraku muslimin dan muslimah cukup demikian
penjelasan tentang siapa saja yang tidak layak menjadi teladan yang bisa saya
sampaikan kepada Anda. Semoga dengan ulasan diatas dapat memberikan manfaat
yang besar kepada pembaca untuk lebih memahami ketika akan memilih seseorang
yang hendak akan dijadikan sebagai teladan atau pemimpin.
Sumber : muslimah.or.id
***
0 Response to "Siapakah Yang Tidak Layak Menjadi Seorang Teladan ?"
Post a Comment