Pendidikan
merupakan sebuah pembelajaraan yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan,
keterampilan , skill yang bertujuan untuk membentuk karakter seseorang dengan
kepribadian yang budi luhur yang baik.
Dengan perkembangan
zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah
pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern.
Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia.
Salah satu problem yang
mendasar dalam pendidikan adalah terkait dengan pendidikan akhlah (moral).
Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pendidikan akhlak akan semakin
memperparah dan memperpuruk kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh
kare itu untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan
aturan pendidikan.
Dalam ajaran agama
islam pendidikan memiliki kedudukan yang sangat penting karena manusia sebagai
wakil Allah SWT di muka bumi ini memiliki tugas dan tanggung jawab yang cukup
berat. Oleh sebab itu agar manusia mampu menjalankan tanggung jawabnya dengan
baik. Islam sebagai agama rahmah li al-‘alamin sangat mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan Allah
mengawali menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia dengan ayat yang
memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad Saw., untuk membaca dan membaca (iqra’).Iqra’ merupakan salah satu perwujudan dari aktifitas belajar. Sedangkan dalam arti luas, denganiqra’ pula manusia dapat mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki
kehidupannya (Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, 2007:29). Tema pendidikan ini
secara implisit dapat dipahami dari wahyu yang pertama diturunkan kepada Nabi
sebagai spirit terhadap tugas kependidikan yang pertama dan utama yang
dilakukan Nabi.
Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa
berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak
menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang
bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah
sekolah dan para gurunya?
Beruntungnya
Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih
Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang
telah mendidik anak -anak mereka sehingga menjadi
anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya,
membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang
shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan
mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh
amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim: 1631).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan
terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya
merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu
pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain
dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ
أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُولُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesunguhnya Allah ta’ala akan mengangkat derajat
seorang hamba yang shalih di surge. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku,
bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu
dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR.
Ahmad: 10618. Hasan).
Oleh karenanya, saking urgennya pembinaan dan
pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah ta’ala langsung
membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah ta’ala berfirman
dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At
Tahrim: 6).
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini
mengatakan,
تأمرهم بطاعة الله وتنهاهم عن معصية
الله وأن تقوم عليهم بأمر الله وتأمرهم به وتساعدهم عليه فإذا رأيت لله معصية
ردعتهم عنها وزجرتهم عنها
“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk
berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya.
Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan
dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat
maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir
al-Quran al-’Azhim 4/502).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh
kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang
pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته
وما ذا علمته وهو مسؤول عن برك وطواعيته لك
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan
dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah
engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu
kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal.
123).
Tanggung
Jawab Orang Tua
Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani
langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di
sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak.
Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam
lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut
merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu
jarang disadari. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Hakim, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ما نحل والد ولده أفضل من أدب حسن
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua
kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat
perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah.
Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak
termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih
dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya
dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni
yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan
menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk
melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang
bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang
tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana
sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya,
jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak,
niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang
diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban
mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah
perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja
yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu
dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal.
Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka,
serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang
menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak
berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada
orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah,
engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku
besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika
engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).
Orang Tua
Shalih, Anak pun Shalih!
“Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri
ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah ta’ala, “
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ
لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (٧٤)
“Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Furqan: 74).
Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu
Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini
terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan
hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?”
al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba,
istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang
menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega
dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfah
al Maudud hal. 123).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita
menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita.
Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran
penting dalam pembentukan keshalehan anak adalah keshalihan orang tua itu
sendiri.
Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita
juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal
ini,
كيف استقم الظل و عوده أعوج
“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya
bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan
anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan
bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya
Allah anak-anak akan lurus.
Allah ta’ala berfirman,
ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari
yang lain.” (Ali Imran: 34).
Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik,
sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang
baik pula.
Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat
positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat
al-Kahfi ayat 82,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ
لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا
وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي
ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua
orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (Al Kahfi:
82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan
keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak
mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan
berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak
semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullah bahwa yang dimaksud ” وَكَانَ
أَبُوهُمَا صَالِحًا ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak
tadi.
Kelak di surga, Allah ta’ala pun akan
mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan
sang anak tidak dibanding amalan orang tua.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
“Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka
yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath
Thuur: 21).
Maka disini, Allah ta’ala memasukkan
anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka,
betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga
sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak
sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun
Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena
keshalehan kedua orang tuanya.
Betapa pentingnya hal ini, yaitu menjadikan pribadi
kita, yaitu orang tua, menjadi pribadi yang shalih, sampai-sampai salah seorang
yang shalih pernah mengatakan,
يا بني إني لأستكثر من الصلاة لأجلك
“Wahai anakku, sesungguhnya aku memperbanyak shalat
karenamu (dengan harapan Allah akan menjagamu).”
Ada seorang tabi’in yang bernama Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah juga
pernah berkata,
إني لأصلي فأذكر ولدي فأزيد في صلاتي
“Ada kalanya ketika aku shalat, aku teringat akan
anakku, maka aku pun menambah shalatku (agar anak-anakku dijaga oleh Allah
ta’ala).”
Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi
yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah
dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan harapan nantinya Allah ta’ala menjaga
dan memelihara anak-anak kita.
Demikianlah penjelasan tentang pentingnya pendidikan
seorang anak untuk membentuk pribadi yang berahklak karimah dan taat dengan
ajaran Allah SWT. Semoga dengan penjelasan di atas dapat membuka mata hati kita
bahwasannya pendidikan merupakan kebutuhan pokok yang harus kita dapatkan dalam
menjalani kehidupan.
0 Response to "Siapakah Yang Mananggung Pendidikan Seorang Anak"
Post a Comment