Halal-haram adalah standar bagi seorang muslim. Biasakan dengan gaya hidup halal agar semua aktivitas kita mendapat keberkahan, doa kita dikabulkan dan akhirat kita terselamatkan. Tidak hanya makanan, segala sesuatu yang kita gunakan dan manfaatkan juga haruslah melihat kembali standar di atas.
Tentang plasenta sebagai salah satu substansi kosmetika yang sering kita gunakan,nampaknya perlu kita kritisi. Apa yang menempel pada tubuh kita, termasuk yang mempercantik penampilan kita akan ditanyakan nanti di yaumil hisab.nah, sahabat kita simak yuk bahasan pagi ini tentang penggunaan plasenta dalam kosmetika, dari mana asalnya, fungsi dan status hukumnya dalam pandangan islam.
Plasenta (Jawa: ari-ari; Arab: al-masyiimah) adalah organ yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk janin dalam kandungan. Plasenta kaya akan kandungan darah, protein, hormon, dan zat lain yang dibutuhkan bayi sebagai makanan, karena janin belum mampu makan dan minum sebagaimana manusia yang sudah lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi pertumbuhannya, maka Allah menciptakan plasenta sebagai sumber makanannya. Pemasukan nutrien (zat gizi) ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui saluran plasenta yang bermuara pada pusar.
Awalnya plasenta digunakan dalam farmasi karena plasenta memiliki fungsi luas. Misal untuk terapi immunodefisiensi, kehilangan protein akut akibat luka bakar, infeksi bakteri, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, plasenta digunakan dalam pembuatan kosmetik karena ekstrak plasenta dapat menjadi sumber protein yang berfungsi memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah degenerasi sel.
Kosmetika berplasenta memiliki efek yang signifikan untuk mencegah penuaan kulit, serta mampu meremajakan kulit, mengatasi keriput kulit, menghaluskan dan melembutkan kulit, dan membuat kulit lebih nampak segar sebagaimana layaknya kulit bayi. Produk-produk kosmetika yang mengandung ekstrak plasenta antara lain sabun mandi, lotion pelembab kulit, krim pemutih wajah, dan bedak.
Penggunaan plasenta untuk kosmetika, memiliki beberapa status hukum syariah. hal ini tergantung dari sumber plasenta yang dipakai. Jika plasenta yang digunakan berasal dari plasenta manusia maka hukumnya haram. Sebab plasenta manusia termasuk najis, sesuai kaidah fiqih : Kullu maa`i`in kharaja min al-sabilain najisun illa al-maniy (setiap cairan yang keluar dari dua jalan [dubur dan kemaluan] adalah najis, kecuali mani). (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/64). Padahal memanfaatkan najis dilarang oleh syara’, sesuai firman Allah SWT (artinya): “Maka jauhilah dia [rijsun/najis] agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 90). Najisnya plasenta ini adalah salah satu pendapat madzhab Syafi’i. Ada pendapat lain dalam madzhab Syafi’i yang menyatakan plasenta itu suci, tidak najis. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 37/282; Imam Nawawi, Al-Majmu’, II/563-564; Imam Syarbaini Khatib, Mughni Al-Muhtaj, I/130; Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, I/98). Namun meski dikatakan tak najis, plasenta manusia tetap tak boleh dimanfaatkan. Sebab bagian tubuh manusia yang telah terpisah atau terpotong, misal tangan yang terpotong karena hukum potong tangan, hanya ada satu perlakuannya, yaitu ditanam (dikuburkan), bukan yang lain, sebagai penghormatan akan kemuliaan manusia (karamah al-insan). Jadi pemanfaatan plasenta manusia tidak boleh karena bertentangan dengan prinsip kemuliaan manusia. (QS Al-Isra` [17] : 70). (Imam Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, III/139; Al-Fahkhrur Razi, At-Tafsir Al-Kabir, II/89; Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi, II/229; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, V/117; Imam Nawawi, Al-Majmu’, III/139. Dikutip oleh Ahmad Syarafuddin, Al-Ahkam Al-Syar’iyah Li Al-A’mal Al-Thibbiyah, hlm. 102).
Jika plasenta yang dipakai berasal dari plasenta hewan maka hukumnya boleh, dengan dua syarat; pertama, hewannya suci dan halal dimakan, seperti sapi. Maka tak boleh menggunakan plasenta dari hewan najis dan haram dimakan, seperti babi. Kedua, hewannya telah mati melalui cara penyembelihannya yang syar’i. Sebab organ yang terpisah dari hewan yang masih hidup, adalah bangkai yang najis. Dalilnya sabda Nabi SAW, ”Apa saja bagian yang dipotong dari binatang ternak, sedang binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hadits no 3690, hlm. 1700; Imam Shan’ani, Subulus Salam, I/28).
Nah, sahabat, saatnya kita beralih ke kosmetika halal ya dan tetap kritis terhadap produk kosmetika disekitar kita.
Sumber: http://halalcornerjatim.blogspot.com/
0 Response to "Plasenta Pada Produk Kosmetika, Halal Kah?"
Post a Comment