Jadi memang wawasan fiqih Syafi’i jauh lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia daripada wawasan fiqih madzhab lain, seperti Hanafi, Maliki atau juga Hanbali. Contohnya: Orang Indonesia kenalnya puasa Syawal 6 hari itu sunnah, padahal Maliki dan Hanafi bilang itu Makruh. Ada lagi, kalau adzan Jumat itu dimulai setelah masuk waktu Zuhur, padahal buat kalangan Hanbali adzan Jumat boleh saja dimulai sebelum masuk waktu Zuhur.
Karena itu juga, orang Indonesia lebih kenal babi itu sebagai najis besar (Mughollazhoh) yang harus dihindari, karena memang sejak awal masuk pengajian ustadz-ustzad selalu menjadikan babi korban “bully”, najis besar.
Masalahnya karena babi selalu saja dikelompokkan bersama anjing yang memang najis besar, menyentuhnya najis harus bersuci 7 kali dengan debu salah satu cuciannya. Padahal Imam Malik punya pandangan berbeda bahwa anjing dan babi itu suci ketika masih hidup.
Dan kalau kita teliti ternyata yang ada dalilnya itu hanya kenajisan anjing, yang dalam hadits disebutkan bahwa jilatan anjing itu jika terkena bejana atau anggota tubuh maka bagian yang terkena itu dicuci sebanyak 7 kali, salah satunya dicampur dengan debu atau tanah.
Dan tidak ada dalil kenajisan babi, kalau dalil keharaman makan dagingnya, iya itu ada. Jelas ada! Dan semua madzhab menyepakati itu. Kalau kenajisannya, nanti dulu. Tidak ada dalil yang jelas untuk itu.
Jadi apa dosa babi sehingga disebut-sebut sebagai najis?
Bahkan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ (2/658), yang merupakan kitabnya madzhab Syafi’i (walau bukan satu-satunya yang mu’tamad), beliau mengatakan:
وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِه
“Dan kami tidak punya dalil yang jelas atas kenajisan babi ketika hidupnya”
Sedangkan ayat 145 surat Al-An’am yang mengatakan bahwa babi itu [رجس] Rijs (Najis), itu Muhtamal (ada kemungkinan tafsir lain) berbeda. Karena dalam ayat disebutkan Lahm Al-Khinziir [لحم الخنزير] (Daging Babi).
Ulama memperdebatkan apakah kata [رجس] Rijs (Najis) itu kembali ke Lahm (daging), atau kembali ke Khinziir (babi) itu sendiri. Kalau kembali ke daging, maka yang najis itu dagingnya saja, haram dimakan. Adapun ketika ia masih hidup ya tidak najis. Tapi kalau kembali ke babi itu sendiri, maka konsekuensinya babi itu seluruhnya najis, hidup atau mati.
Karena memang dalil yang digunakan itu ada Ihtimal (ada kemungkinan), maka tidak bisa dijadikan hujjah/dalil. Dan itu sudah menjadi kaidah dalam ilmu ushul bahwa teks syariah yang ada punya kemungkinan-kemungkinan tidak bisa dijadikan dalil. Dalil haruslah dari teks syariah yang tidak multi tafsir.
Mafhum Al-Muwafaqah
Dalil yang digunakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah untuk menjadikan babi itu najis ialah [القياس الأولوي] Al-Qiyaas Al-Awlawi, atau yang biasa juga disebut dengan istilah Mafhuum Al-Muwafaqah [مفهوم الموافقة].
Babi tidak ada dalilnya yang mengatakan itu najis, maka karena tidak ada, disandingkan dengan anjing yang ada dalil kenajisannya. Kalau anjing yang seperti itu najis dan najisnya besar, maka jauh lebih najis babi karena ia jauh lebih buruk keadaannya daripada anjing, dan jauh lebih jorok. Anjing sering menjulurkan lidahnya dan mencecerkan liurnya, dan itu jorok sekali, babi jauh lebih jorok daripada itu.
Dan terlebih lagi bahwa babi termasuk hewan yang diperintahkan dibunuh jika memang keberadaannya membahayakan. Itu yang sering kita dapati dari kitab-kitab syafi’iyah.
Maka kalau kita buka kitab-kitab Syafi’iyah, selalu redaksi yang muncul untuk mengatakan najisnya babi ialah: [لأنه أسوأ حالا من الكلب] Liannahu Aswa’u Haalan minal-Kalbi (Karena babi jauh lebih buruk keadaannya daripada anjing).
Dan [القياس الأولوي] Al-Qiyaas Al-Awlawi, atau yang biasa juga disebut dengan istilah Mafhuum Al-Muwafaqah [مفهوم الموافقة] ini termasuk sumber dalil yang dipegang kuat oleh ulama syafiiyah, walaupun bukan sumber hukum yang muttafaq (disepakati), sebagaimana ulama-ulama Maliki yang memegang kuat ‘Amal Ahli Madinah (pekerjaan penduduk Madinah) sebagai sumber dalil setelah Al-Quran dan Sunnah Mutawatirah.
Wallahu A'lam
Pembela babi ni ye . . .
ReplyDeleteKelihatan sekali tidak mau dikritik, nunggu approval, Innalillahi wa'inna ilaihi rozi'un. . .
ReplyDelete