Nama lengkap beliau adalah Abdul Wahab bin Taqiyuddin ‘Ali bin Abdul Kafi al-Subki. Lahir di Kairo Mesir pada tahun 727 H / 1327 M, namun tumbuh besar di Damaskus. Ia lahir dari keluarga ulama dan lingkungan pecinta ilmu. Beliau adalah putra Imam Taqiyuddin al-Subki, seorang ulama besar dan juga hakim di Damaskus. Sementara kakeknya, Syeikh Zianuddin Abdul Kafi, juga seorang ulama. Saudaranya, Bahauddin, juga menjadi seorang Syaikh.
Tajuddin al-Subki mendapatkan perhatian besari dari ayahnya, Syeikh Taqiyuddin al-Subki. Setiap kali Tajuddin al-Subki pulang dari menghadiri majelis guru-gurunya, ayahnya selalu mengecek pelajarannya dan menanyakan, “Apa yang telah engaku dapat dari al-Syaikh?”. Ayahnya memang seorang ulama kesohor di Kairo. Jabatannya seorang hakim Negara, menulis banyak karya di bidang fikih, ushul fikih dan tasawwuf.
Perjalanan menimba ilmu dimulai di Mesir kepada sejumlah masyayikh. Kemudian ayahnya membawa dia ke Negeri Syam tepatnya ke kota Damskus, dimana pada waktu itu Damaskus adalah kota ilmu. Ia belajar hadis kepada Syaikh al-Mizzi. Juga berguru kepada Imam al-Dzahabi.
Guru-gurunya adalah, Syaikh Ali bin Abdul Kafi Taqiyyudin al-Subki (ayahnya), Imam al-Dzahabi, Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi al-Syafi’i,
Pada umur 18 tahun Imam Tajuddin diberi izin oleh gurunya Syaikh Syamsuddin al-Naqib untuk mengajar dan memberi fatwa. Bahkan ia pun lantas diangkat menjadi hakim dan khatib di Masjdi Umawiy Damaskus. Di usia yang masih muda mampu mengemban tugas sebagai ulama, Qadhi dan Imam besar di Damaskus. Sebuah prestasi luar biasa yang sudah cukup jarang ditemui pada masa ini.
Ia merupakan hakim paling terkemuka di masanya, juga termasuk pakar sejarah dan ilmuwan peneliti. Syihabuddin bin Hajji mengatakan bahwa as-Subky adalah seorang ulama’ yang menguasai berbagai ilmu, mulai dari ilmu fiqh, Ushul Fiqh, Hadist, Balaghah, dan ahli membuat syair.
Ketika menjabat sebagai Qadhi dan Imam besar, ia pernah mendapat fitnah pemerintah sehingga mengakibatkan ia dipenjara selama delapan puluh hari. Ibnu Katsir menceritakan bahwa, Imam Tajuddin al-Subki mengalami cobaan-cobaan berat yang belum pernah dialami oleh qadhi sebelumnya. Namun ia pun menjabat suatu jabatan yang belum pernah dicapai orang sebelumnya di Damaskus. Jabatan hakim dia pegang beberapa kali.
Selain sibuk menjadi hakim di Damaskus, Tajuddin al-Subki mengajar di beberapa madrasah di Damskus, seperti Madrasah al-‘Azizah, Madrasah al-‘Adiliyyah al-Kubro, Madrasah al-Ghazaliyah, Madrasah al-‘Udzrawiyah, Madrasah al-Nashiriyah, dan Madrasah al-Aminiyyah.
Ia dikenal sebagai hakim yang ahli balaghah, pandai membuat syair. Ia juga dikenal pemurah dan sabar. Sebagai seorang hakim, ia menguasai fikih dan ushul fikih.
Imam Tajuddinas-Subki banyak mengarang kitab-kitab, di antaranya:
Thabaqatus Syafi’iyah al-Kubra
Thabaqatus Syafi’iyah al-Wustha.
Thabaqatus Syafi’iyah al-Sughra.
4. Jam’ul Jawami’
5. Man’ul Mawani’ ‘Ala Jam’ul Jawami’.
6. Al-Asybah wan Nadha’ir.
7. Raf’ul Hajib dari Mukhtashar Ibnu Hajib.
Syarh Minhaj Baidlawi dalam bidang Ushul Fiqh yang kemudian diberi nama al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj.
9. Qawa’idud Diin wa ‘Umdatul Muwahiddin.
10. Al-Fatawa.
Al-Dalalah ‘Ala ‘Umumir Risalah.
Kitab Thabaqatu al-Syafi’iyyah al-Kubro cukup masyhur. Imam Fakhruddin al-Razi memujinya dengan mengatakan: “Ini adalahrisalah akidah Ahlussunnah yang paling terakhir ditulis (hingga pada masa as-Subkisendiri), dan segala bahasan yang ada di dalamnya tidak ada yang diingkari olehsiapapun yang beraliran Ahlussunnah”.
Kitab Thabaqatu al-Syafi’iyyah al-Kubro berisi biografi para ulama madzhabasy-Syafi’i terkemuka dari berbagai aspeknya, dan beberapa risalah Ahlissunnah yang telah ditulis oleh mereka, di antaranya yang ditulis adalah seperti risalah karya al-Imâm Ibn Asakir.
Sedangkan kitab al-Asbah wa al-Nadzair merupakan kitab ushul fikih yang diajarkan di kalangan pesantren di Indonesia. Selain kitab al-Asbah wa al-Nadzair, Imam Tajuddin al-Subki juga menulis ushul fikih dalam kitab Jam’ul Jawami’. Kitab ini juga banyak dikaji pada pondok-pondok pesantren. Dari sekian karya kitabnya, memang banyak berkaitan dengan fikih madzhab syafi’i dan ushul fikih. Hal ini karena memang ia menjabat sebagai seorang qadhi.
Kitab ini banyak dikaji oleh ulama fikih setelahnya. Ada yang mensyarah dan ada yang membuatnya dalam bentu nadzam (syair), untuk memudahkan untuk menghafalnya. Di antara ulama-ulama yang menggubahnya menjadi nadzam adalah: Imam Jalaluddin al-Suyuthi dan Imam Muhammad al-Ghazi.
Imam Tajuddin al-Subki meninggal pada tanggal 7 Dzulhijjah tahun 771 H pada usia yang masih terbilang muda yaitu 44 tahun. Sebelum meninggal ia menderita penyakit keras hingga akhir hayatnya.
Oleh : Kholili Hasib – anggota MIUMI Jawa Timur, Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Surabaya.
0 Response to "Tajuddin al-Subki, Teladan Hakim yang Handal"
Post a Comment