Syaikh yang agung Izzudin bin Abdis Salam menduduki jabatan hakim tertinggi. Ketika beliau memegang jabatan ini, beliau menegaskan bahwa para kepala daerah dan pimpinan militer tidak berasal dari penduduk Mesir. Mereka bukanlah orang yang merdeka secara mutlak, tetapi mereka didatangkan dan dibeli oleh Raja’ dari uang kas negara. Kala itu mereka masih kanak-kanak, lalu mereka belajar bahasa Arab, ilmu-ilmu agama, ketangkasan berkuda, dan ilmu perang. Ketika mereka tumbuh dewasa, maka sang sultan menentukan jabatan untuk mereka. Jadi, mereka adalah budak-budak yang jadi pejabat. Dengan demikian, mereka tidak memiliki hak-hak orang merdeka. Mereka tidak dapat menikahi perempuan-perempuan merdeka. Mereka tidak boleh menjual, membeli atau melakukan transaksi kecuali sebagaimana yang dilakukan oleh budak.
Sampailah hal tersebut ke telinga para pejabat sehingga menjadi berita besar dan masalahnya semakin gawat, namun sang syaikh tutup telinga. Beliau tetap tidak mengabsahkan jual-beli dan pernikahan mereka. Dengan demikian kemaslahatan mereka menjadi terabaikan.
Pejabat yang termasuk di antara mereka ialah wakil sultan yang amarahnya meluap-luap. Lantas mereka berkumpul dan mengirim surat kepada Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam. Mereka berkata kepadanya, “Apa yang engkau inginkan?” Syaikh menjawab, “Kami akan mengadakan persidangan untuk kalian dan saya akan memanggil kalian untuk dijual demi mengisi kas negara. Dan kemerdekaan kalian semua diperoleh melalui cara syar’i.”
Akhirnya mereka melaporkan hal ini kepada sultan. Selanjutnya Sultan memerintahkan agar Syaikh dibawa menghadap beliau tetapi Syaikh tidak mau mencabut pernyataannya. Sehingga terlontar kata-kata kasar dari mulut Sultan. Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam pun marah, lalu sang Syaikh memuatkan perbekalannya pada seekor keledai dan menaikkan keluarganya pada keledai lain. Beliau berjalan di belakang keluarganya keluar dari kota Kairo menuju Syam (Suriah). Beliau sampai separuh perjalanan dari lokasi yang dituju, beliau disusul oleh sebagian besar kaum muslimin. Hampir tidak ada yang ketinggalan, baik dari kalangan perempuan, anak-anak, lelaki dewasa, para ulama, orang-orang shalih, dan para pedagang.
Kejadian ini pun sampai ke telinga sultan. Dikatakan kepada beliau, “Ketika Syaikh berangkat, maka lenyaplah kerajaanmu.” Lantas sultan sendiri menunggang kendaraan untuk menyusul Syaikh Izzudin bin Abdis Salam untuk meminta ridhanya dan melunakkan hatinya. Sang syaikh pun bersedia kembali dan disetujui memanggil para pejabat untuk dijual.
Selanjutnya sang sultan mengirim wakilnya untuk bersikap lemah lembut kepada Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam, tetapi syaikh tidak mau menerima. Sikap lemah lembut itu tidak ada gunanya bagi Syaikh. Wakil Sultan pun cemas dan dia berkata, “Bagaimana mungkin syaikh ini memanggil kita dan menjual kita padahal kita ini yang menguasai bumi. Demi Allah, saya akan memenggalnya dengan pedang saya ini.”
Wakil sultan pun menunggang kendaraan dan mendatangi rumah Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam dengan pedang terhunus di tangannya. Setelah sampai, dia mengetuk pintu dan keluarlah putra Syaikh untuk menemuinya. Tatkala melihat wakil sultan, dia kembali kepada Ayahnya dan menceritakan apa yang barusan dia lihat. Tetapi, Syaikh Izzuddin tak menggubris dan tidak sedikit pun gentar menghadapi hal tersebut. Beliau berkata, “Hai anakku! Paling-paling ayahmu terbunuh di jalan Allah.” Kemudian beliau keluar.
Sudah menjadi kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika Syaikh menatap mata wakil sultan, tiba-tiba tangan wakil sultan menjadi gemetar dan semua sendinya bergetar sehingga pedangnya terlepas dari tangannya. Dia menangis dan memohon kepada Syaikh agar mendoakannya.
Dia berkata, “Wahai tuanku Syaikh! Pilihlah apa saja yang hendak engkau lakukan.”
Syaikh menjawab, “Saya ingin memanggil kalian dan menjual kalian.”
Dia bertanya, “Lantas kemana engkau akan menyalurkan uang hasil penjualannya?”
“Untuk kemaslahatan umat Islam,” jawab Syaikh.
Dia bertanya lagi, “Siapa yang akan menerima uangnya?”
Syaikh menjawab, “Saya sendiri.”
Akhirnya apa yang diinginkan Syaikh tercapai juga. Beliau memanggil pejabat satu persatu. Dia mematok harga mahal, menerima uangnya, dan menyalurkannya untuk kemaslahatan. Belum pernah terdengar bahwa selain beliau pernah melakukan hal seperti ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati dan meridhainya.
Abdullah bin Al-Hakam berkata kepada Imam Syafi’i ketika berkunjung ke Mesir, “Jika engkau hendak bertempat tinggal di Mesir, hendaknya engkau mempunyai makanan pokok setahun dan rekomendasi dari sultan untuk menguatkanmu.” Imam Syafi’i menanggapi, “Wahai Abu Muhammad! Orang yang tidak dikuatkan oleh ketakwaan, maka tiada kekuatan baginya. Sungguh, saya dilahirkan di Gaza, saya dididik di Hijaz. Saya hanya mempunyai makanan pokok untuk semalam. Akan tetapi, saya tidak pernah sama sekali semalaman kelaparan.”
Sultan Abdul Aziz datang ke Mesir dan mengunjungi Universitas al-Azhar ditemani oleh al-Khudaiwi Isma’il. Al-Khudaiwi melihat seorang syaikh universitas tidak mempedulikan sang sultan. Dia menyandarkan punggungnya sambil menyelonjorkan kakinya. Al-Khudaiwi bergegas menjauhkan sultan dari syaikh tersebut. Kemudian al-Khuldaiwi memerintahkan anak buahnya agar memberi bungkusan berisi uang kepada syaikh tersebut agar dia tahu diri dan pergi. Ketika utusan tersebut mendatangi syaikh untuk memberikan bungkusan, maka syaikh menahan tangannya dan berkata, “Katakan kepada orang yang mengutusmu, ‘Sesungguhnya orang yang menyelonjorkan kakinya tidak akan menjulurkan tangannya.”
Orang-orang pada masa Bani Marwan memerintahkan seseorang untuk berteriak dalam pelaksanaan ibadah haji. Tidak ada yang memberi fatwa pada masa itu kecuali Atha bin Rabah Radhiyallahu Anhu. (Beliau merupakan tokoh Tabi’in senior)
Atha merupakan bekas budak milik seorang perempuan dari Makkah. Orangnya berkulit hitam, buruk rupa, hidungnya pesek, lumpuh, pincang, buta, rambutnya keriting dan hidungnya seperti kacang. Sulaiman bin Rafi’ berkata, “Saya pernah masuk ke dalam masjidil haram, ternyata banyak orang sedang mengerumuni seseorang, lalu saya lihat. Ternyata Atha bin Abi Rabah sedang duduk bagaikan buruk gagak hitam. Pernah diceritakan bahwa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan kedua putranya menemui Atha. Mereka duduk di hadapan Atha. Ketika Ataha telah selesai shalat, maka dia menoleh kepada mereka. Mereka bertanya kepadanya secara terus-menerus tentang manasik haji. Dia mengubah tengkuknya ke arah mereka. Setelah selesai, Sulaiman berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah wahai anakku! Janganlah kalian bermalas-malasan menuntut ilmu. Sungguh, saya tidak akan melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.”
(Kisah ini menunjukkan kemuliaan ilmu dan pemilik ilmu).
Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
0 Response to "Dijualnya Pejabat dan Keagungan Ulama"
Post a Comment