“kami bukan bermaksud menjalin hubungan yang tidak sah, tetapi kami ingin mengenal dulu satu-sama lain agar kami bersiap dan lebih memahami watak pasangan kami kelak”
“Bagaimana bisa langgeng nanti, kalau pasangan kita kelak tidak kita kenal wataknya, tidak pernah berdua, tidak pernah jalan bareng dan tidak pernah sekedar mencicip kemesraannya”
Atau yang lebih parah,
“Bagaimana nanti saya tahu dia bisa memuaskan saya kalo tidak dicoba dan dirasa, masalah itu masalah besar, banyak yang cerai hanya karena masalah itu, masa’ mau beli makanan ga dicicip sedikit?”
Ini adalah alasan klasik zaman purba untuk melegalkan yang haram. Alasan yang jika dicari dari surat Al-Fatihah sampai An-Nas maka ia tidak terdeteksi, jika dicari dalam rangkaian shahih, sunan, musnad dan Jami’ maka ia tidak termaktub. Dan jika dicari dalam setiap jilidan benang kitab-kitab ulama maka ia tidak diwariskan. Bagaimana mungkin, karena alasan ini tidak bisa diterima dengan akal sehat. Karena saat-saat terlarang tersebut mereka berdua memakai topeng di balik penutup wajah, menampakkan senyuman padahal ia sedang menjerit, menampakkan kebajikan padahal ia kebinasaan.
Ini hanyalah alasan yang dicari-cari, kami khawatir sebagaimana kekhwatiran para sahabat terhadap orang-orang munafik dimana Allah Ta’ala berfirman,
“Janganlah kalian mencari-cari alasan, sesungguhnya kamu telah kafir sesudah beriman.” [Al-Ankabut: 66]
Jika sebelum sahnya sang lelaki berkata kepada wanita,
“Duhai bintangku, apapun akan kulakukan demi merasakan sekedar tetesan air liur cintamu. Jika kau memintaku menjemput, maka aku akan berlomba dengan sang angin, jika engkau meminta sari pati bunga maka aku akan bergelut dengan lebah memperebutkannya. Dan jika engkau meminta rembulan maka aku meredam panas api untuk merampasnya dari matahari”
Berlalulah zaman yang tidak panjang, ketika sang lelaki menjelma menjadi suami wanita tersebut, sang istri berkata,
“mas, tolong temani aku belanja ya!”
Spontan suami menjawab sembari melupakan puisinya,
“Halah, belanja saja sendiri, sudah aku capek cari duit buat kamu, lagian sudah sering saya antar dulu, bosan ah”
Begitu juga sang wanita, jika dahulu sebelum sahnya, tatkala bersua dengan sang lelaki maka ia berlimau parfum bermandikan za’faran, bening dan sinar wajahnya membuat rebulan sungkan dan minder untuk menemani sang malam. Pakaian dan perhiasannya membuat dongeng keindahan gaun Cinderella terlupakan sementara. Akan tetapi tidak lama berlalu zaman setelah janur kuning melengkung layu, Sang suami memprotes,
“kemana cantikmu yang dulu istriku? Mengapa sekarang engkau berlimau minyak goreng bermandikan minyak gosok, mengapa ada rembulan dengan kawah-kawahnya di wajahmu, mengapa engkau sudah tidak pernah memakai gaun indahmu? Aku hanya mendapati aroma khasmu di antara lipatan lenganmu”
Dan yang paling terpenting adalah mereka berdua tidak peduli terhadap seruan Raja atas segala Raja. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa : 32]
Sekedar mendekati saja tidak diperkenankan, adakah dari golongan mereka berdua yang tidak pernah sekedar memegang tangan? Padahal penunjuk jalan kita, Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya no.1282, Ath-Thobrany 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishohihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah no. 226]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat Bukhari-Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan”. [HR. Bukhari Muslim, muttafaqun ‘alaih]
Inilah cinta kadaluarsa, sudah berjamuran dan sudah habis manis dan gurihnya. Ditambah lagi ramuan dan bahannya serta waktu pengolahannya yang tidak sesuai dengan aturan syariat. Yang tersisa hanyalah ampas-ampas yang berlumuran dan tidak diindahkan. Kita tidak perlu membahas ampas dampaknya, aborsi, pelecehan seksual, gangguan belajar dan pikiran hanya karena permainan perasaan yang menipu. Jika ingin mengenal calon pasangan abadi kelak, maka dengan ta’aruf yang benarlah sebaik-baik cara yang ditempuh.
Yang paling dirugikan adalah wanita yang tertipu dan haus belaian. Sedangkan bagi sang lelaki ia cukup berganti pakaian yang baru.Kami jadi ingat perkataan salah seorang ustadz kami,
“hubungan sebelum nikah itu, ceweknya itu seperti kerupuk yang kecelup ke dalam got kotor, kerupuk hancur terburai dan bercampur kotoran, nah buat yang cowok seperti emas kecelup dalam got, tinggal diambil dan dibersihkan, makanya ada Mas Parto, Mas Joko dan Mas Joni.”
Semoga bermanfaat !!
0 Response to "Cinta kadaluarsa yang bersisa ampas berlumuran"
Post a Comment