Manusia merupakan makhluk yang dilengkapi dengan hawa napsu yang
selalu bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan
karakteristiknya yang tidak pernah merasa puas, sehingga transaksi – transaki yang
halalpun susah didapatkan karena disebabkan keuntungannya yang sangat minim,
maka harampun jadi (riba). Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal,
biasanya transaksi sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana
kreditor meminta tambahan dari moda; asal kepada debitor. Dalam ilmu fiqih yang
dimaksud dengan riba adalah tambahan khusus yang dimilki salah satu pihak yang
terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Dalam al qur’an sudah jelas bahwa
adanya riba sangat dilarang dan termasuk dalam dosa besar. Sejak zaman Nabi
Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat – ayat yang menyatakan
larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan masa danm
periode turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas
tentang riba. Bahkan istilah dan persepsi tentang riba begitu mengental dan
melekat di dunia islam.
Banyak jalan yang ditempuh untuk menjadi kaya. Meskipun
dengan cara yang haram. Tak apalah mencari pinjaman atau utang riba, yang
penting bisa tentram dan hidup mewah. Itulah prinsip sebagian muslim di zaman
modern seperti ini.
Hidup dengan yang Halal Lebih Tentram
Suatu yang haram asalnya tidak menentramkan jiwa. Dosa
selalu menggelisahkan. Sama halnya dengan utang riba. Awalnya meminjam dalam
keadaan butuh, namun selanjutnya gelisah yang diperoleh karena dikejar-kejar
debitur atau pemilik utang untuk melunasi utang. Karena hakekat riba adalah
setiap utang piutang yang ada keuntungan atau manfaat di dalamnya.
Dari Nawas bin Sam’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia. Sedangkan
kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika kejelekan
tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah
manusia.” (HR. Muslim no. 2553)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dosa
selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan bagi jiwa. Di hati pun akan tampak
tidak tenang dan selalu khawatir akan dosa.”
Karena ingat meminjam uang dengan cara riba juga terkena
laknat. Jika demikian, nasabah yang meminjam uang dengan cara riba pun terkena
dosa.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا
وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan
riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba
(sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau,
“Semuanya sama dalam dosa.”
(HR. Muslim no. 1598).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam
hadits ada penegasan haramnya menjadi pencatat transaksi riba dan menjadi saksi
transaksi tersebut. Juga ada faedah haramnya tolong-menolong dalam kebatilan.”
(Syarh Shahih Muslim, 11: 23)
Milikilah Sifat Qona’ah
Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah,
itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya
biasa, namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal,
mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh. Dan
kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang
memakai istilah syar’i sekali pun seperti murabahah. Menggunakan handphone
biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor yang memang lebih pas
untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di
rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat
ini. Cobalah kita belajar untuk memiliki sifat qona’ah, selalu merasa cukup
dengan rizki yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak selalu melihat
indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun masih terasa
sejuk.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى
غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia.
Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no.
6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada
segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu
berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)”
(Lihat Fathul Bari, 11: 272).
Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam
hal dunia, itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan akan
selalu merasa cukup. Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang yang
lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا
إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah
harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu
(dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan
nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى
بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Ya Allah, anugerahkanlah padaku yang halal dan jauhkanlah
aku dari yang haram dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu. (HR. Tirmidzi no. 3563, hasan)
Demikianlah pemaparan
tentang hidup mewah dengan riba, semoga dengan penjabaran diatas dapat
memberikan manfaat kepada kita semua untuk lebih memahami lagi tentang hukum
riba dalam agama islam .
Sumber : rumayso.com
0 Response to "Hidup Mewah dengan Riba"
Post a Comment