Keluarga merupakan
sesorang yang selalu ada jika saat kita kesusahan. Apalagi seorang ibu sebagai
sosok perempuan yang sangat mencintai anak-anaknya. Ibu rela mengorbankan waktu
dan tenaganya hanya untuk merawat anaknya. Bahkan ia juga rela jika nyawanya menjadi
taruhan untuk anaknya. Ibu adalah orang yang patut kita bahagiakan. Apalagi
bagi Anda yang sebagai suaminya harusnya Anda lebih memperhatikan seorang ibu
yang sudah menjaga anak atau buah hatinya. Sebenarnya sebagai suami yang
mengerti tentang kehidupan istri dan seorang ibu tentu merasa sangat beruntung
sekali jika melihat perempuan yang selalu tulus dalam menjalankan semua
pekerjaan yang ia lakukan. Perhatian harus kita berikan pada seorang istri yang
telah merawat anak kita menjadi anak yang sudah besar dan pandai serta mengerti
tentang agama. Suatu anak yang baik memang tidak lepas dari dukungan seorang
ibu. Jangan pernah menyakiti seorang wanita karena wanita hanya lah manusia
yang lemah dan hanya bisa menangis. Perlakukan istri Anda sebagai wanita yang
paling sempurna di dunia ini. Untuk itu jangan pernah mengangap seorang istri
sebagai ibu yang tidak baik bagi anak Anda.
KUNCI untuk melahirkan anak-anak
yang tajam pikirannya, jernih hatinya dan kuat jiwanya adalah mencintai ibunya
sepenuh hati. Kita berikan hati kita dan waktu kita untuk menyemai cinta di
hatinya, sehingga menguatkan semangatnya mendidik anak-anak yang dilahirkannya
dengan pendidikan yang terbaik. Keinginan besar saja kadang tak cukup untuk
membuat seorang ibu senantiasa memberikan senyumnya kepada anak. Perlu penopang
berupa cinta yang tulus dari suaminya agar keinginan besar yang mulia itu tetap
kokoh.
Uang yang berlimpah saja tidak cukup. Saat kita
serba kekurangan, uang memang bisa memberi kebahagiaan yang sangat besar.
Lebih-lebih ketika perut dililit rasa lapar, sementara tangis anak-anak yang
menginginkan mainan tak bisa kita redakan karena tak ada uang. Tetapi ketika
Allah Ta’ala telah memberi kita kecukupan rezeki, permata yang terbaik pun
tidak cukup untuk menunjukkan cinta kita kepada istri. Ada yang lebih berharga
daripada ruby atau berlian yang paling jernih. Ada yang lebih membahagiakan
daripada sutera yang paling halus atau jam tangan paling elegan.
Apa itu? Waktu kita dan perhatian kita.
Kita punya waktu setiap hari. Tidak ada perbedaan
sedikit pun antara waktu kita dan waktu yang dimiliki orang-orang sibuk di
seluruh dunia.
Kita juga mempunyai waktu luang yang tidak sedikit.
Hanya saja, kerapkali kita tidak menyadari waktu luang itu. Di pesawat
misalnya, kita punya waktu luang yang sangat banyak untuk membaca. Tetapi karena
tidak kita sadari –dan akhirnya tidak kita manfaatkan dengan baik—beberapa
tugas yang seharusnya bisa kita selesaikan di perjalanan, akhirnya mengambil
hak istri dan anak-anak kita. Waktu yang seharusnya menjadi saat-saat yang
membahagiakan mereka, kita ambil untuk urusan yang sebenarnya bisa kita
selesaikan di luar rumah.
Bagaimana kita menghabiskan waktu bersama istri di
rumah juga sangat berpengaruh terhadap perasaannya. Satu jam bersama istri
karena kita tidak punya kesibukan di luar, berbeda sekali dengan satu jam yang
memang secara khusus kita sisihkan. Bukan kita sisakan.
Menyisihkan waktu satu jam khusus untuknya akan
membuat ia merasa lebih kita cintai. Ia merasa istimewa. Tetapi dua jam waktu
sisa, akan lain artinya.
Sayangnya, istri kita seringkali hanya mendapatkan
waktu-waktu sisa dan perhatian yang juga hanya sisa-sisa. Atau, kadang justru
bukan perhatian baginya, melainkan kitalah yang meminta perhatian darinya untuk
menghapus penat dan lelah kita. Kita mendekat kepadanya hanya karena kita berhasrat
untuk menuntaskan gejolak syahwat yang sudah begitu kuat. Setelah itu ia harus
menahan dongkol mendengar suara kita mendengkur.
Astaghfirullahal ‘adziim….
Lalu atas dasar apa kita merasa telah menjadi suami
yang baik baginya? Atas dasar apa kita merasa menjadi bapak yang baik,
sedangkan kunci pembuka yang pertama, yakni cinta yang tulus bagi ibu anak-anak
kita tidak ada dalam diri kita.
Sesungguhnya, kita punya waktu yang banyak setiap
hari. Yang tidak kita punya adalah kesediaan untuk meluangkan waktu secara
sengaja bagi istri kita.
Waktu untuk apa? Waktu untuk bersamanya. Bukankah
kita menikah karena ingin hidup bersama mewujudkan cita-cita besar yang sama?
Bukankah kita menikah karena menginginkan kebersamaan, sehingga dengan itu kita
bekerja sama membangun rumah-tangga yang di dalamnya penuh cinta dan barakah?
Bukan kita menikah karena ada kebaikan yang hendak kita wujudkan melalui
kerja-sama yang indah?
Tetapi…
Begitu menikah, kita sering lupa. Alih-alih
kerja-sama, kita justru sama-sama kerja dan sama-sama menomor satukan urusan
pekerjaan di atas segala-galanya. Kita lupa menempat¬kan urusan pada tempatnya
yang pas, sehingga untuk bertemu dan berbincang santai dengan istri pun harus
menunggu saat sakit datang. Itu pun terkadang tak tersedia banyak waktu, sebab
bertumpuk urusan sudah menunggu di benak kita.
Banyak suami-istri yang tidak punya waktu untuk
ngobrol ringan berdua, tetapi sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan
TV. Seakan-akan mereka sedang menikmati kebersamaan, padahal yang kerapkali
terjadi sesungguhnya mereka sedang menciptakan ke-sendirian bersama-sama.
Secara fisik mereka berdekatan, tetapi pikiran mereka sibuk sendiri-sendiri.
Tentu saja bukan berarti tak ada tempat bagi suami
istri untuk melihat tayangan bergizi, dari TV atau komputer (meski saya dan
istri memilih tidak ada TV di rumah karena sangat sulit menemukan acara
bergizi. Sampah jauh lebih banyak). Tetapi ketika suami-istri telah terbiasa
menenggelamkan diri dengan tayangan TV untuk menghapus penat, pada akhirnya bisa
terjadi ada satu titik ketika hati tak lagi saling merindu saat tak bertemu
berminggu-minggu. Ada pertemuan, tapi tak ada kehangatan. Ada perjumpaan, tapi
tak ada kemesraan. Bahkan percintaan pun barangkali tanpa cinta, sebab untuk
tetap bersemi, cinta memerlukan kesediaan untuk berbagi waktu dan perhatian.
Ada beberapa hal yang bisa kita kita lakukan untuk
menyemai cinta agar bersemi indah. Kita tidak memperbincangkannya saat ini.
Secara sederhana, jalan untuk menyemai cinta itu terutama terletak pada bagaimana
kita menggunakan telinga dan lisan kita dengan bijak terhadap istri atau suami
kita. Inilah kekuatan besar yang kerap kali diabaikan. Tampaknya sepele, tetapi
akibatnya bisa mengejutkan.
Tentang bagaimana menyemai cinta di rumah kita,
silakan baca kembali Agar Cinta Bersemi Indah (Gema Insani Press, 2002, edisi
revisi insya Allah akan diterbitkan Pro-U Media). Selebihnya, di atas cara-cara
menyemai cinta, yang paling pokok adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu
dan memberi perhatian. Tidak ada pendekatan yang efektif jika kita tak bersedia
meluangkan waktu untuk melakukannya.
Nah.
Jika istri merasa dicintai dan diperhatikan, ia
cenderung akan memiliki kesediaan untuk mendengar dan mengasuh anak-anak dengan
lebih baik. Ia bisa memberi perhatian yang sempurna karena kebutuhannya untuk
memperoleh perhatian dari suami telah tercukupi. Ia bisa memberikan waktunya
secara total bagi anak-anak karena setiap saat ia mempunyai kesempatan untuk
mereguk cinta bersama suami. Bukankah tulusnya cinta justru tampak dari
kesediaan kita untuk berbagi waktu berbagi cerita pada saat tidak sedang
bercinta?
Kerapkali yang membuat seorang ibu kehilangan rasa
sabarnya adalah tidak adanya kesediaan suami untuk mendengar cerita-ceritanya
tentang betapa hebohnya ia menghadapi anak-anak hari ini. Tak banyak yang
diharapkan istri. Ia hanya berharap suaminya mau mendengar dengan
sungguh-sungguh cerita tentang anaknya –tidak terkecuali tentang bagaimana
seriusnya ia mengasuh anak—dan itu “sudah cukup” menjadi tanda cinta. Kadang
hanya dengan kesediaan kita meluangkan waktu untuk berbincang berdua, rasa
capek menghadapi anak seharian serasa hilang begitu saja. Seakan-akan tumpukan
pekerjaan dan hingar-bingar tingkah anak sedari pagi hingga malam, tak berbekas
sedikit pun di wajahnya.
Alhasil, kesediaan untuk secara sengaja menyisihkan
waktu bagi istri tidak saja mem¬buat pernikahan lebih terasa maknanya, lebih
dari itu merupakan hadiah terbaik buat anak. Perhatian yang tulus membuat
kemesraan bertambah-tambah. Pada saat yang sama, menjadikan ia memiliki
semangat yang lebih besar untuk sabar dalam mengasuh, mendidik dan menemani
anak.
Ya… ya… ya…, cintailah istri Anda sepenuh hati agar
ia bisa menjadi ibu yang paling ikhlas mendidik anak-anaknya dengan cinta dan
perhatian. Semoga!
Demikian tadi mengenai
cerita sosok seorang ibu yang harus kita beri perhatian yang sudah setia
merawat dan mendidik anak kita menjadi anak yang pintar dan mengerti agama.
Sebgai suami yang baik yang harus Anda lakukan jaga istri Anda selagi Anda bisa
menjaganya sampai akhir hanyat atau kematian Anda. Jangan pernah membuat ibu
dari anak-anak Anda merasakan sakit hati. Wanita sebagai makhluk yang di ciptakan
sebagai pasangan Anda. Seabaai suami harusnya menjaga sebuah keluarga agar
tetap harmonis dan tetap rukun dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah
sekalipun. Memperlakukan wanita dengan perilaku yang baik akan membuat istri
Anda semakin senang dan bangga mempunyai suami yang telah perhatian terhadapnya.
Untuk itu jangan pernah menyakiti seorang ibu yang sudah merawat anak Anda dari
kecil hingga dewasa.
Sumber :
Hidayatullah.com
0 Response to "Seorang Ibu bagi Anak Kita"
Post a Comment