Ternyata begitu cepat angin kemarau mencabut kelembaban
tanah di musim penghujan, hingga tak tersisa kecuali retakan-retakannya
dan dedaunan kering yang bersembunyi di balik celah-celahnya. Begitu
cepat zaman mengubah keadaan. Seorang Da’i (baca: aktivis da’wah)
berubah dan berlaku bak seorang Qodhi, begitu mudahnya mengeluarkan
vonis sesat, fasiq, ahlul bid’ah, ahlul hawa hingga sederet gelar yang
menyesakkan hati lainnya.
Padahal yang dituduhnya adalah saudaranya juga, sesama muslim yang mungkin sebagian dari mereka adalah orang awam yang tak tahu apa-apa. Tentu tidak sepantasnya seorang da’i begitu mudah bahkan secara serampangan melemparkan tuduhan demikian kepada mad’u-nya karena sejatinya da’i itu mengajak, bukan memvonis.
Sungguh masyarakat (baca: objek da’wah) tak butuh celaan, apalagi sederet la’nat yang dialamatkan padanya bahkan kepada orang yang jelas-jelas salah sekalipun. Dahulu ketika ada seseorang yang mencela peminum khomr yang telah menjalani hukuman karena perilaku buruknya itu, orang tersebut mengatakan:
أَخْزَاكَ اللهُ
“(semoga) Allah menghinakanmu.”
Ketika mendengar perkataan tersebut, Rosulullah SAW justru melarangnya, dengan mengatakan:
لاَ تَقُولُوا هَكَذَا، لاَ تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ
“Janganlah kalian mengatakan seperti itu, janganlah kalian membantu syetan atasnya.”(Shahih Al-Bukhory hadits no. 6777).
Bahkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad ada tambahan redaksi agar orang tersebut mendoakannya (bukan malah mencelanya),
وَلَكِنْ قُولُوا: رَحِمَكَ اللَّهُ
“Tetapi katakanlah (semoga) Allah merahmatimu.”(Musnad Ahmad hadits no. 7985, As-Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan isnadnya shohih sesuai syarat Al-Bukhory dan Muslim).
Entah apa yang menyebabkan sederet vonis itu begitu mudah keluar dari lisan mungil ini. Apakah kita merasa suci? Karena terlahir dan hidup serta belajar di lingkungan orang-orang sholih, kemudian menganggap orang lain sebagai orang yang menjijikkan yang tidak pantas mendapatkan hidayah? Ataukah takabbur telah memenuhi ruang hati karena merasa telah memiliki ilmu yang tinggi? Tentu tiada sedikitpun yang pantas kita sombongkan di dunia ini, karena sejatinya terlihat baik oleh orang lain, bukan semata-mata karena kebaikan yang kita miliki, melainkan karena Allah SWT masih menutupi aib dalam diri ini. Jadi apa yang pantas disombongkan? Allah SWT berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kalian menganggap diri kalian suci, Dialah (Allah) yang lebih tahu tentang orang yang bertaqwa.”(An-Najm:32)
Rosulullah SAW juga mengingatkan kita tentang orang yang hanya bisa mencela-cela dan merasa paling baik, dengan mengatakan:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
“Apabila seseorang mengatakan: orang-orang itu telah rusak maka dialah yang lebih rusak dari mereka.”(Shohih Muslim hadits no. 2623).
Al-Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin-nya mengatakan bahwa larangan dalam hadits ini adalah bagi orang yang mengatakan perkataan tersebut dengan maksud membanggakan dirinya, merendahkan manusia, dan menganggap dirinya itu tinggi dari mereka, maka inilah yang haram. (Riyadhush Sholihin, hal. 350, Daar Al-Aqiidah, Mesir)
Selaksa celaan bahkan hingga berjuta-juta sekalipun tak kan pernah mampu mengubah keadaan. Karena yang mereka butuhkan bukanlah itu, melainkan nasihat bijak nan lembut yang tak kenal putus asa, dan tentunya doa yang tulus dari kita sebagai saudaranya sesama muslim, agar mereka mendapatkan hidayah. Daripada mencela gelap gulita lebih baik menyalakan lentera, daripada mencela keadaan, lebih baik berbuat sekarang juga dengan tindakan yang nyata. Karena sampai kapanpun, celaan itu tak kan pernah bisa mengubah gelap menjadi terang. Wallahu a’lam….
Faridi Abdul Mukti, Aktivis KAMMI UMS
Editor : SCE
Padahal yang dituduhnya adalah saudaranya juga, sesama muslim yang mungkin sebagian dari mereka adalah orang awam yang tak tahu apa-apa. Tentu tidak sepantasnya seorang da’i begitu mudah bahkan secara serampangan melemparkan tuduhan demikian kepada mad’u-nya karena sejatinya da’i itu mengajak, bukan memvonis.
Sungguh masyarakat (baca: objek da’wah) tak butuh celaan, apalagi sederet la’nat yang dialamatkan padanya bahkan kepada orang yang jelas-jelas salah sekalipun. Dahulu ketika ada seseorang yang mencela peminum khomr yang telah menjalani hukuman karena perilaku buruknya itu, orang tersebut mengatakan:
أَخْزَاكَ اللهُ
“(semoga) Allah menghinakanmu.”
Ketika mendengar perkataan tersebut, Rosulullah SAW justru melarangnya, dengan mengatakan:
لاَ تَقُولُوا هَكَذَا، لاَ تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ
“Janganlah kalian mengatakan seperti itu, janganlah kalian membantu syetan atasnya.”(Shahih Al-Bukhory hadits no. 6777).
Bahkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad ada tambahan redaksi agar orang tersebut mendoakannya (bukan malah mencelanya),
وَلَكِنْ قُولُوا: رَحِمَكَ اللَّهُ
“Tetapi katakanlah (semoga) Allah merahmatimu.”(Musnad Ahmad hadits no. 7985, As-Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan isnadnya shohih sesuai syarat Al-Bukhory dan Muslim).
Entah apa yang menyebabkan sederet vonis itu begitu mudah keluar dari lisan mungil ini. Apakah kita merasa suci? Karena terlahir dan hidup serta belajar di lingkungan orang-orang sholih, kemudian menganggap orang lain sebagai orang yang menjijikkan yang tidak pantas mendapatkan hidayah? Ataukah takabbur telah memenuhi ruang hati karena merasa telah memiliki ilmu yang tinggi? Tentu tiada sedikitpun yang pantas kita sombongkan di dunia ini, karena sejatinya terlihat baik oleh orang lain, bukan semata-mata karena kebaikan yang kita miliki, melainkan karena Allah SWT masih menutupi aib dalam diri ini. Jadi apa yang pantas disombongkan? Allah SWT berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Maka janganlah kalian menganggap diri kalian suci, Dialah (Allah) yang lebih tahu tentang orang yang bertaqwa.”(An-Najm:32)
Rosulullah SAW juga mengingatkan kita tentang orang yang hanya bisa mencela-cela dan merasa paling baik, dengan mengatakan:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
“Apabila seseorang mengatakan: orang-orang itu telah rusak maka dialah yang lebih rusak dari mereka.”(Shohih Muslim hadits no. 2623).
Al-Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin-nya mengatakan bahwa larangan dalam hadits ini adalah bagi orang yang mengatakan perkataan tersebut dengan maksud membanggakan dirinya, merendahkan manusia, dan menganggap dirinya itu tinggi dari mereka, maka inilah yang haram. (Riyadhush Sholihin, hal. 350, Daar Al-Aqiidah, Mesir)
Selaksa celaan bahkan hingga berjuta-juta sekalipun tak kan pernah mampu mengubah keadaan. Karena yang mereka butuhkan bukanlah itu, melainkan nasihat bijak nan lembut yang tak kenal putus asa, dan tentunya doa yang tulus dari kita sebagai saudaranya sesama muslim, agar mereka mendapatkan hidayah. Daripada mencela gelap gulita lebih baik menyalakan lentera, daripada mencela keadaan, lebih baik berbuat sekarang juga dengan tindakan yang nyata. Karena sampai kapanpun, celaan itu tak kan pernah bisa mengubah gelap menjadi terang. Wallahu a’lam….
Faridi Abdul Mukti, Aktivis KAMMI UMS
Editor : SCE
0 Response to "Sejuta Celaan Tak Kan Mampu Mengubah Gelap Menjadi Terang"
Post a Comment