Tidak Ada Batasan Jumlah Istri Dalam Nikah Mut’ah
Dari Abubakar bin Muhammad Al Azdi dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Hasan tentang mut’ah, apakah termasuk dalam pernikahan yang membatasi empat istri?” Dia menjawab, “Tidak.” (Al-Kafi, Jilid:5 Hal. 451).
Wanita yang dinikahi secara mut’ah adalah wanita sewaan, jadi diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan 1000 wanita sekaligus, karena akad mut’ah bukanlah pernikahan. Jika memang pernikahan maka dibatasi hanya dengan empat istri.
Dari Zurarah dari Ayahnya dari Abu Abdullah, “Aku bertanya tentang mut’ah pada beliau apakah merupakan bagian dari pernikahan yang membatasi 4 istri?” Jawabnya, “Menikahlah dengan seribu wanita, karena wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan.” (Al-Kafi, Jilid: 5, Hal. 452).
Begitulah wanita bagi imam maksum Syiah, wanita adalah barang sewaan yang dapat disewa lalu dikembalikan lagi tanpa ada tanggungan apa pun. Tidak ada bedanya dengan mobil yang setelah disewa dapat dikembalikan. Alangkah malangnya kaum wanita jika demikian. Sudah saatnya pada zaman emansipasi ini wanita menolak untuk dijadikan sewaan, namun kita masih heran, mengapa masih ada mazhab yang menganggap wanita sebagai barang sewaan.
Syarat Utama Nikah Mut’ah
Dalam nikah mut’ah yang terpenting adalah waktu (masa pernikahan) dan mahar. Jika keduanya telah disebutkan ketika akad, maka sahlah akad nikah mut’ah laki-laki dan perempuan yang akan mut’ah ini. Karena seperti yang akan dijelaskan kemudian bahwa hubungan pernikahan mut’ah berakhir dengan selesainya waktu yang disepakati. Jika pernikahan ini tidak memiliki tenggat waktu yang harus disepakati, maka nikah mut’ah tidak memiliki perbedaan dengan pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam.
Dari Zurarah bahwa Abu Abdullah berkata, “Nikah mut’ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2 perkara; waktu tertentu dan bayaran tertentu.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.455). Sama seperti barang sewaan, misalnya mobil. Jika kita menyewa mobil harus ada dua kesepakatan dengan si pemilik mobil, berapa harga sewa dan berapa lama kita ingin menyewa.
Batas Minimal Mahar Mut’ah
Telah disebutkan bahwa rukun akad mut’ah adalah adanya kesepakatan atas waktu dan mahar. Berapa batas minimal mahar nikah mut’ah?
Dari Abu Bashir dia berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah tentang batas minimal mahar mut’ah, lalu beliau menjawab bahwa minimal mahar mut’ah adalah segenggam makanan, tepung, gandum, atau kurma.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal. 457).
Semua tergantung kesepakatan antara dua belah pihak. Sangat cocok bagi mereka yang berkantong terbatas, bisa memberikan mahar dengan mentraktir makan siang di McDonald, KFC, atau nasi uduk pun jadi.
Tidak Ada Talak Dalam Mut’ah
Dalam nikah mut’ah tidak dikenal istilah talak (cerai), karena demikianlah nikah mut’ah yang merupakan pernikahan yang tidak lazim dalam Islam. Jika hubungan pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam pernikahan berakhir dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak. Adapun nikah mut’ah, hubungan pernikahan selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti yang diterangkan dalam riwayat di atas, kesepakatan atas jangka waktu mut’ah adalah salah satu rukun/elemen penting dalam mut’ah selain kesepakatan atas mahar.
Dari Zurarah, dia mengatakan, “Masa iddah bagi wanita yang mut’ah adalah 45 hari. Seakan saya melihat Abu Abdullah menunjukkan tangannya tanda 45. Jika selesai waktu yang disepakati, maka mereka berdua terpisah tanpa adanya talak.”
Jangka Waktu Minimal Mut’ah
Dalam nikah mut’ah tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya mut’ah. Jadi boleh saja nikah mut’ah dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
Dari Khalaf bin Hammad, dia berkata, “Aku mengutus seseorang untuk bertanya pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut’ah. Apakah diperbolehkan mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan suami istri?” Jawabnya, “Ya (boleh ed.). (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460).
Orang yang melakukan nikah mut’ah diperbolehkan melakukan apa saja layaknya suami istri dalam pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam, sampai habis waktu yang disepakati. Jika waktu yang disepakati telah habis, mereka berdua tidak menjadi suami istri lagi, dan kembali ke hukum semula yang haram dipandang, disentuh, dan lain sebagainya. Bagaimana jika terjadi kesepakatan mut’ah atas sekali hubungan suami istri? Padahal setelah berhubungan layaknya suami istri mereka sudah bukan suami istri lagi, yang mana berlaku hukum hubungan pria wanita yang bukan mahram? Tentunya diperlukan waktu untuk berbenah dan mengenakan pakaian sebelum keduanya pergi.
Dari Abu Abdillah, ditanya tentang orang nikah mut’ah dengan jangka waktu sekali hubungan suami istri. Jawabnya, “Tidak mengapa, tetapi jika selesai berhubungan hendaknya memalingkan wajahnya dan tidak melihat pasangannya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460
Nikah Mut’ah Berkali-kali Tanpa Batas
Diperbolehkan nikah mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama. Hal ini seperti diterangkan oleh Abu Ja’far, Imam Syiah yang ke empat, karena wanita mut’ah bukannya istri, tapi wanita sewaan. Sebagaimana barang sewaan, orang dibolehkan menyewa sesuatu dan mengembalikannya lalu menyewa lagi dan mengembalikannya berulang kali tanpa batas.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja’far, “Seorang laki-laki nikah mut’ah dengan seorang wanita dan habis masa mut’ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa mut’ahnya, lalu nikah mut’ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga selesai masa mut’ahnya tiga kali dan nikah mut’ah lagi dengan 3 lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama?” Jawab Abu Ja’far, “Ya dibolehkan menikah mut’ah berapa kali sekehendaknya, karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut’ah adalah wanita sewaan, seperti budak sahaya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.460)
Wanita Mut’ah Diberi Mahar Sesuai Jumlah Hari yang Disepakati
Wanita yang dinikah mut’ah mendapatkan bagian maharnya sesuai dengan hari yang disepakati. Jika ternyata wanita itu pergi maka boleh menahan maharnya.
Dari Umar bin Handhalah dia bertanya pada Abu Abdullah, “Aku nikah mut’ah dengan seorang wanita selama sebulan lalu aku tidak memberinya sebagian dari mahar.” Jawabnya, “Ya, ambillah mahar bagian yang dia tidak datang, jika setengah bulan maka ambillah setengah mahar, jika sepertiga bulan maka ambillah sepertiga maharnya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.452).
Bayaran harus sesuai dengan hari yang disepakati, supaya tidak ada “kerugian” yang menimpa pihak penyewa.
Jika ternyata wanita yang dimut’ah telah bersuami ataupun seorang pelacur, maka mut’ah tidak batal.
Jika seorang pria hendak melamar seorang wanita untuk menikah mut’ah dan bertanya tentang statusnya, maka harus percaya pada pengakuan wanita itu. Jika ternyata wanita itu berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis tapi ternyata telah bersuami maka menjadi tanggung jawab wanita tadi.
Dari Aban bin Taghlab berkata, “Aku bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami atau barangkali dia adalah pelacur.” Jawabnya, “Ini bukan urusanmu, percayalah pada pengakuannya.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.462).
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan: Masalah 260: “Dianjurkan nikah mut’ah dengan wanita beriman yang baik-baik dan bertanya tentang statusnya, apakah dia bersuami ataukah tidak. Tapi setelah menikah maka tidak dianjurkan bertanya tentang statusnya. Mengetahui status seorang wanita dalam nikah mut’ah bukanlah syarat sahnya nikah mut’ah.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.82).
So, tidak usah membuang waktu dengan bertanya, langsung tawar dan bayar
Nikah Mut’ah dengan Gadis
Dari Ziyad bin Abil Halal berkata, “Aku mendengar Abu Abdullah berkata, ‘Tidak mengapa bermut’ah dengan seorang gadis selama tidak menggaulinya di qubulnya, supaya tidak mendatangkan aib bagi keluarganya’.” (Al-Kafi, Jilid:5, Hal.462).
Nikah Mut’ah dengan Pelacur
Diperbolehkan nikah mut’ah walaupun dengan wanita pelacur. Sedangkan kita telah mengetahui di atas bahwa wanita yang dinikah mut’ah adalah wanita sewaan. Jika boleh menyewa wanita baik-baik tentunya diperbolehkan juga menyewa wanita yang memang pekerjaannya adalah menyewakan dirinya.
Ayatollah Udhma Ali Al Sistani mengatakan: Masalah 261: “Diperbolehkan menikah mut’ah dengan pelacur walaupun tidak dianjurkan, ya jika wanita itu dikenal sebagai pezina maka sebaiknya tidak menikah mut’ah dengan wanita itu sampai dia bertaubat.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.8)
Pahala yang Dijanjikan Bagi Nikah Mut’ah
Dari Sholeh bin Uqbah, dari ayahnya, aku bertanya pada Abu Abdullah, “Apakah orang yang bermut’ah mendapat pahala?” Jawabnya, “Jika karena mengharap pahala Allah dan tidak menyelisihi wanita itu, maka setiap lelaki yang mut’ah berbicara pada perempuan mut’ah pasti Allah menuliskan kebaikan sebagai balasannya. Setiap dia mengulurkan tangannya pada wanita itu, pasti diberi pahala sebagai balasannya. Jika menggaulinya, pasti Allah mengampuni sebuah dosa sebagai balasannya. Jika dia mandi, maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak jumlah rambut yang dilewati oleh air ketika sedang mandi.” Aku bertanya, “Sebanyak jumlah rambut?” Jawabnya, “Ya, sebanyak jumlah rambut.” (Man La yahdhuruhul faqih, Jilid:3, Hal. 464)
Abu Ja’far berkata “Ketika Nabi sedang isra’ ke langit Nabi mengatakan, ‘Jibril menyusulku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, Allah berfirman, ‘Sungguh Aku telah mengampuni wanita ummatmu yang mut’ah’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, Jilid:3, Hal.464)
Hubungan Warisan
Ayatullah Udhma Ali Al Sistani dalam bukunya menuliskan: Masalah 255: “Nikah mut’ah tidak mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini.” (Minhajushalihin, Jilid:3, Hal.80).
Nafkah
Wanita yang dinikah mut’ah tidak berhak mendapatkan nafkah dari suami.
Masalah 256: “Laki-laki yang nikah mut’ah dengan seorang wanita tidak wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya walaupun sedang hamil dari bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah disepakati pada akad mut’ah atau akad lain yang mengikat.” (Minhajus shalihin, Jilid:3, Hal.80). [sumber; hakekat]
nau'udzubillah.......nastagfirullah.....
ReplyDeletenau'udzubillah.......nastagfirullah.....
ReplyDeleteaudzubillah... jijik sangat mbacanya
ReplyDeleteBathil, Munkar bin Dholallah, wa dholallatin fin naar
wallahu'alam